Friday, November 30, 2012

Soedarpo Sastrosatomo : Ali Sadikin, Bapak Armada Dagang Indonesia


Soedarpo Sastrosatomo
(lahir: Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara, 30 Juni 1920
wafat: Jakarta, 22 Oktober 2007).
sumber:wikipedia
Tahun 1964 Presiden Soekarno memutuskan bahwa sebagai negara kepulauan Indonesia memerlukan armada dagang yang kuat dan tangguh. Begitulah ’Panglima Tertinggi’ itu menciptakan Kementerian Pelayaran dan menunjuk Ali Sadikin sebagai penanggungjawabnya.

Sadikin meminta nasihat pada orang-orang dari kalangan industri ini. Kami menjelaskan bahwa bongkar-muat kapal dan keagenan merupakan sumber devisa, karena keduanya dibayar sebagai bagian muatan, tetapi kita harus menyerahkan pendapatan itu kepada Lembaga Alat-alat Pembayaran Luar Negeri untuk ditukar dengan rupiah dengan kurs resmi yang rendah. Tidak ada jalan sebaliknya, sebab mereka tahu nilai pembayaran untuk bongkarmuat dan keagenan. Kita tak bisa membuat faktur palsu. Jadi di sini kita kehilangan banyak uang.

Saya katakan kepada Sadikin bahwa kalau ia ingin agar kami membeli kapal, ia harus memberikan kepada kami kebebasan untuk menggunakan devisa.

Sadikin bukannya pergi menemui Menteri Keuangan, tetapi Presiden, dan mengatakan, ’Bapak telah memerintahkan bahwa Bapak menginginkan adanya armada dagang. Kalau Bapak memberikan perintah ini, saya jamin kita akan punya armada dagang.’ Dan itulah yang terjadi. Ia mengumumkan Dekrit Pemerintah No. 5 Tahun 1964 yang menentukan bahwa semua kegiatan pelayaran harus dilaksanakan oleh perusahaan pelayaran: keagenan, bongkar-muat, dan pergudangan. Ia juga merasionalisasi jumlah perusahaan pelayaran dan menciptakan kantor pemesanan untuk menjamin faktor muatan bagi perusahaan-perusahaan pelayaran dalam perdagangan domestik maupun luar negeri.

Bersamaan dengan itu, ia memberlakukan peraturan agar setiap perusahaan pelayaran, domestik maupun luar negeri, memiliki surat izin bongkar-muat, dan inilah asal mula SKU yang ’tidak populer’ (surat izin muat— dibatalkan dengan Inpres No. 4/1985). Itulah asal-usul pemesanan muatan: semua muatan untuk proyek pemerintah harus diangkut di bawah bendera Indonesia, dan jika kapal berbendera asing mencoba mengangkut muatan demikian, kepadanya tidak akan diberikan SKU.

Dalam salah satu pidato saya untuk memperingati perusahaan kami, saya katakan bahwa Ali Sadikin adalah Bapak Armada Dagang Indonesia. Pernyataan saya ini tidak begitu diterima umum, tetapi itu benar.

Inilah satu-satunya keberhasilan Orde Lama.

sumber:
Thee Kian Wie, 2003. Recollections: The Indonesian Economy, 1950s – 1990s = Pelaku Berkisah : Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005. hlm. 149-150.

Thursday, November 29, 2012

A.M. Fatwa : Saya Banyak Belajar dari Kepemimpinan Ali Sadikin

A.M. Fatwa


Saya ditugaskan membantu Gubernur Ali Sadikin oleh Komandan Pusat KKO AL Mayjen Moch. Anwar sejak 1 Januari 1970. sebelumnya saya menjabat wakil kepala Dinas Rohani Islam Komando Wilayah Timur KKO AL di Surabaya. Menjelang penugasan itu Mayjen Anwar melakukan semacam tes uji coba, menyuruh saya menghubungi sedikitnya sepuluh tokoh Islam kaliber nasional untuk meminta pendapat dan komentarnya tentang rencana penugasan saya itu. Sebagian besar sependapat dan mendukung serta berharap dapat membantu kebijakan dan pandangan Gubernur Ali Sadikin tentang agama dan masyarakat agama, khususnya masalah judi.

Masyarakat Islam di Jakarta banyak yang menentang program judi itu termasuk tokoh senior Moh. Natsir, ketua umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan mantan perdana menteri. Tetapi saya ingat betul, tokoh Islam dan diplomat politikus senior, Mr. Moh. Roem, dalam catatan wawancara saya, dengan kalimat yang hati-hati menyatakan bahwa dia dapat memahami kebijaksanaan Gubernur Ali Sadikin tentang hal itu. Waktu itu Gubernur Ali Sadikin terkenal dengan ucapan kerasnya: "Kalau pihak-pihak yang tak setuju dengan judi hendak ke luar rumah, pakai helikopter saja, karena jalan raya di Jakarta ini kebanyakan saya bangun dari hasil judi." Tentu saja ucapan itu menimbulkan reaksi keras pada masyarakat luas. Demikian pula dengan ucapan keras Gubernur Ali Sadikin ketika akan memindahkan pekuburan Arab di Tanah Abang ke pinggiran kota, karena di lokasi tersebut akan dibangun fasilitas umum. Kata Ali Sadikin, "Mana yang lebih penting, orang hidup atau orang mati. Kalau tidak setuju perkuburan tersebut dipindah untuk efisiensi karena kita kekurangan lokasi tanah, apakah tidak sebaiknya jenazah dikubur berdiri atau dibakar saja?"

Timbulnya reaksi keras dari masyarakat atas sikap dan ucapan-ucapan Gubernur Ali Sadikin saya rasakan sebagai tantangan besar, dan untuk itu saya pun mencoba berpikir dan bekerja keras mencari cara pendekatan agar tercipta suasana harmonis, sehingga lebih kondusif bagi Gubernur untuk melaksanakan gagasan-gagasan besarnya dalam membangun Ibukota Jakarta. Ucapan jenazah dikubur berdiri atau dibakar sesungguhnya hanya sekadar manuver dan strategi untuk memancing dan mengukur reaksi. ternyata Buya Hamka, misalnya, memberikan reaksi wajar dan sekaligus memberikan input tentang kuburan tumpang tindih dengan mengambil contoh makam Bagi Disamping Masjid Nabawi di Madinah. Pak Ali Sadikin pun, saat Ibu Nani Sadikin meninggal, mengumumkan, bila dia meninggal agar dimakamkan secara tumpang tindih di makam istrinya itu.

Pada tahun 1972 DKI Jakarta mendapat giliran menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Tingkat Nasional V. Saya ditunjuk menjadi sekjen dalam panitia nasional. Pengalaman berorganisasi dan bermasyarakat yang saya miliki memudahkan saya dalam mendampingi ketua umum panitia, Kolonel H. A. Ruchiyat, mengelola peristiwa nasional ini sehingga dapat berlangsung dengan sukses. Pesta besar umat Islam di ibukota ini membawa citra positif tersendiri bagi Pemda DKI Jakarta di bawah Gubernur Ali Sadikin. Dari peran yang saya lakukan dalam kegiatan nasional inilah Gubernur Ali Sadikin mulai mengenal prestasi saya. Ketika Pak Ali Sadikin harus berada di Nederland mendampingi istrinya yang sedang berobat, dia tetap mengendalikan Pemerintahan DKI Jakarta. Saya termasuk yang rajin mengirimkan laporan kegiatan yang selalu ditanggapinya dengan disposisi-disposisi yang memberikan arah, dorongan, dan semangat.

Disposisi Gubernur Ali Sadikin selalu singkat dan jelas arahnya, kadang-kadang menggelikan Misalnya disposisi untuk seseorang yang mengajukan surat permohonan bantuan uang yang tidak masuk akal; disposisi itu berbunyi: "Memangnya duit itu berak; atau cukup satu kata, "Sontoloyo."

Rupanya Pak Ali Sadikin selalu membaca semua surat yang masuk dengan cermat. Disediakannya waktu khusus malam hari, di rumah, untuk membaca surat-surat itu, sehingga pagi-pagi pukul 07. 00 disposisi-disposisinya yang khas, ditulis dengan spidol merah, sudah beredar di semua bagian kantor.

Anak buah yang banyak ide dan keberanian serta berjiwa dinamis biasanya ditandai oleh Pak Ali Sadikin. Mereka ini sering dipanggil dan diberi tugas. Karena itu disposisi untuk penugasan selalu ditujukan langsung kepada orangnya, bukan jabatan, dengan tetap memperhatikan hierarki dan etika birokrasi.

Selesai pelaksanaan MTQ Nasional V di Jakarta saya mengajukan dua gagasan. Pertama, pelembagaan kegiatan MTQ melalui surat keputusan Gubernur tentang pembentukan lembaga MTQ tingkat DKI Jakarta yang mendapatkan anggaran dari APBD. Inilah sejarah awal pelembagaan MTQ, yang baru pada MTQ Nasional tahun 1976 di Samarinda, setelah melalui perjuangan sengit dari MTQ Nasional yang satu ke MTQ Nasional yang lain, diterima secara nasional. Konsep dasar pelembagaan itu berasal dari DKI Jakarta yang dimodifikasi namanya menjadi Lembaga Pembina Tilawatil Qur'an (LPTQ) Lembaga ini dibentuk di seluruh Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Gagasan kedua, agar segera diwujudkan Pondok Karya Pembangunan (PKP) di Jakarta, berdasarkan rekomendasi dari musyawarah para ketua kontingen MTQ Nasional V di Jakarta bahwa pada setiap penyelenggaraan MTQ Nasional harus ditindaklanjuti dengan proyek monumental. Konsep dasar PKP ini berasal dari Letjen H. Sudirman yang diolah di Yayasan PTDI. Alhamdulillah PKP yang cukup megah sekarang ini masih ada dan berkembang pesat di lahan 18 ha di Cibubur, Jakarta Timur.
Bang Ali saat menunaikan ibadah Haji.
sumber: Sisi lain Bang Ali : Sebuah potret. Jakarta : Kriyakom, 2006.
Pada musim haji 1974 Gubernur Ali Sadikin naik haji. Saya salah seorang yang turut mendampinginya. Selain kegiatan ibadah di Mekah, Arafah, dan Mina, Pak Ali Sadikin juga aktif meninjau pemondokan jamaah haji Indonesia. Dalam suatu pertukaran pikiran sehabis sholat subuh di Masjidil Haram, kami berempat -- H. Ghazali Sahlan (tokoh Muhammadiyah), H. Hartono Mardjono (anggota DPRD DKI), H. Idid Junaidi (seorang pengusaha), dan saya-- menggagas untuk mempertemukan Pak Natsir dengan Pak Ali Sadikin. Kami lebih dahulu menemui Pak Ali Sadikin di Hotel Makkah, memberi tahu bahwa Pak Natsir ingin datang bersilaturahim. Pak Ali Sadikin menjawab, "Jangan, Beliau kan orang tua, biar saya saja yang datang menemuinya." Segera kami menemui Pak Natsir yang sedang menghadiri sidang tahunan Rabithah Alam Islamy di Mina, memberi tahu bahwa Gubernur Ali Sadikin ingin datang bersilaturahim kepada Pak Natsir. Pak Natsir pun menjawab, "Jangan begitu, biar saya yang datang menemuinya karena dia seorang pejabat negara." Akhirnya kami mengambil jalan tengah, mempertemukan Pak Natsir dan Pak Ali Sadikin di sebuah pondokan milik seorang syaikh di pinggiran kota Mekah. Acaranya, berbincang-bincang tanpa suatu topik tertentu sambil minum teh dan makan kambing guling. ternyata pertemuan ramah-tamah itu telah mencairkan ketegangan di antara keduanya di tanah air. Hubungan mereka menjadi akrab, dan kelak pertemuan di Mekah ini berlanjut dengan pertemuan-pertemuan lanjutan di Jakarta.

Selanjutnya Pak Ali Sadikin mengemukakan rencananya untuk mengadakan seminar pemantapan perjalanan haji Indonesia. Saya ditugaskan mempersiapkan seminar itu berikut makalahnya, yang intinya ialah bahwa pemberangkatan perjalanan haji yang jumlahnya mencapai puluhan ribu bahkan nantinya sampai ratusan ribu orang haruslah diorganisasi dengan mengambil contoh cara menggerakkan divisi pasukan militer ke suatu wilayah pertempuran - mengatur penempatan pasukan di medan tempur, dan selanjutnya mengatur mereka kembali ke markas setelah memenangkan pertempuran. Gagasan Gubernur Ali Sadikin yang disampaikan dalam seminar tersebut disampaikan sebagai rekomendasi ke Departemen Agama. Gagasan itu merupakan embrio dibentuknya kafilah-kafilah haji termasuk kelompok terbang (kloter). Sedangkan untuk DKI Jakarta sendiri Gubernur Ali Sadikin langsung mengeluarkan surat keputusan bahwa pada setiap awal musim haji DKI Jakarta membentuk kafilah haji DKI Jakarta, dipimpin oleh seorang pejabat senior, dan biaya pengorganisasiannya dari APBD tanpa mengganggu biaya ONH. Satu hal lagi patut dicatat, kalau Bung Karno dulu mengusulkan agar tempat Sa'i di Masjidil Haram dibuat bertingkat seperti wujudnya sekarang, Pak Ali Sadikin mengusulkan penanaman pohon-pohon seperti yang kita lihat sekarang di sepanjang jalan raya di Mekah, Madinah, Jedah, khususnya di Padang Arafah tempat wuquf.

Ada pun tindak lanjut pertemuannya dengan Pak Natsir di Mekah, Gubernur Ali Sadikin menugaskan saya untuk melakukan kontak-kontak dengan berbagai kalangan agama, khususnya ulama-ulama dan tokoh Islam. Menurut Pak Ali, apabila hubungan kita baik dengan kalangan agama, semua problem kemasyarakatan akan mudah diselesaikan.

Saya pun menciptakan forum-forum seminar dan dialog dengan masyarakat agama dari kalangan akar rumput, dan Gubernur Ali Sadikin dengan sendirinya harus tampil berpidato dan membuka pertemuan-pertemuan keagamaan itu. Lama kelamaan Gubernur Ali Sadikin menjadi akrab, tidak tampak asing dan canggung lagi dengan masyarakat agama dari kalangan akar rumput sebagaimana masa awal-awal pemerintahannya. Sebagai ketua umum Koordinator Da'wah Islam (KODI), suatu organisasi semiofficial yang disubsidi oleh Pemda DKI Jakarta, saya tak sulit menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam ini. KODI dirintis berdirinya oleh H. M. CH. Ibrahim, anggota Dewan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan tokoh PSII. Pembentukan Majelis Ulama DKI pun segera direalisasikan satu tahun mendahului berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Posisi saya sebagai sekretaris Majelis Ulama DKI Jakarta memudahkan hubungan Gubernur Ali Sadikin dengan kalangan ulama melalui MUI. Majelis ini sendiri terdiri dari ulama-ulama berbagai aliran dan kelompok. Gubernur Ali Sadikin memberikan kehormatan tersendiri kepada MUI DKI Jakarta : harus berkantor di lingkungan kompleks Balaikota, dan sidang-sidangnya dilaksanakan di ruang rapat Gubernur.

Satu lagi instrumen penting yang dibentuk oleh Gubernur Ali Sadikin dalam hubungan dengan masyarakat Islam yang sekaligus untuk membangun potensi kemampuan ekonomi umat Islam dalam mengorganisir kewajiban zakat, infaq dan sadakah, yaitu menerbitkan surat keputusan pembentukan Badan Amil Zakat, lnfaq dan Sadakah (BAZIS). Model BAZIS ini kemudian dikembangkan di provinsi-provinsi, dan selanjutnya dijadikan kebijakan nasional dengan terbentuknya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).

Sistem politik yang berlaku pada masa itu menjadikan presiden, menteri dalam negeri, Gubernur, bupati, dan walikota berfungsi sebagai pembina politik, baik secara nasional maupun lokal. Pula, para pejabat tersebut resmi menjabat sebagai pembina Golkar menurut tingkatan pemerintahan Meskipun Gubernur Ali Sadikin sebagai pembina Golkar, dalam kebijakan umumnya ia memperlakukan sama terhadap dua parpol lainnya yaitu PPP dan PDI. Kebetulan pada Pemilu 1977 PPP menang cukup signifikan di wilayah pemilihan DKI Jakarta. Gubernur Ali Sadikin secara politis memikul tanggung jawab atas kekalahan Golkar di wilayahnya, karena itu Kolonel Wiryadi, kepala Direktorat Politik DKI Jakarta yang ditugaskan dari Kodam Jaya langsung ditarik oleh Panglima Kodam Jaya. Gubernur Ali Sadikin pun tersinggung karena itu merupakan tanggung-jawabnya sebagai kepala daerah.

Setelah saya dipecat dari Pemda DKI Jakarta, saya segera bergabung dengan Pak Ali Sadikin (yang habis masa jabatannya pada 11 Juli 1977) dengan berbagai kegiatannya, dan selanjutnya bersama-sama di Petisi 50. Mungkin karena saya sekretaris Pak Ali Sadikin saya sekaligus ditunjuk sebagai sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50, karena rapat-rapat Petisi 50 selalu diadakan di rumah Pak Ali Sadikin di jalan Borobudur 2, Jakarta.

Sebagai sekretaris Petisi 50 siang-malam saya sibuk, termasuk sibuk menelepon dan menerima telepon. Rupanya kegiatan per telepon ini disadap intelijen. Maka pesawat telepon di rumah dimatikan oleh Telkom. Pak Ali Sadikin mengirim surat kepada dirut PT. Telkom dan mengancam bahwa pemiliknya akan memperkarakan penutupan tanpa alasan itu. Berbisiklah pihak Telkom bahwa pihaknya terpaksa melakukan itu atas perintah Laksusda Jaya yang mengatakan bahwa pesawat telepon tersebut selalu dipakai untuk pembicaraan politik.

Pegawai kantor Pak Ali Sadikin/Sekretariat Petisi 50 di gedung Ratu Plaza bernama Mansur juga "dikerjain". Suatu pagi ia diikat kaki dan tangannya ke meja, mulutnya disumpal kain. Pada hari lainnya Mansur diciduk saat meninggalkan kantor sore hari, kemudian dibuang di sawah di pinggir kota. Demikian halnya pengawal pribadi saya bernama Udin, juga diculik, dan baru beberapa hari kemudian dilepaskan. Pak Ali Sadikin menyediakan pengawal pribadi untuk saya karena demikian gencarnya teror-teror yang saya hadapi sehingga saya sulit bekerja sebagai Sekretaris Petisi 50.

Awal kelahiran Petisi 50 dan rapat-rapat persiapannya diadakan di gedung Granadha, kantor Sekretariat Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat (Posko AD) yang sehari-hari dipimpin oleh Mayjen TNI (Purn) Ahmad Sukendro, dan sekjennya, Letjen TNI (Purn) H. R. Dharsono (almarhum). Resminya, Petisi 50 berpayung pada Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, yayasan yang didirikan pada 1978 oleh antara lain Bung Hatta, Jend. A.H. Nasution, dan para tokoh nasional pejuang demokrasi. Setelah Petisi 50 disorot tajam, ditekan, dan dianggap disiden oleh penguasa sehingga tidak bisa lagi mengadakan rapat-rapat di Granadha (kini Balai Sarbini), Pak Ali Sadikin menyediakan rumah kediamannya di jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat. Beliau juga mengusahakan satu ruangan kantor di gedung Ratu Plaza lantai 30 jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Bersama Chris Siner Key Timu, Saya memimpin kegiatan kesekretariatan di ruang tersebut.

Setiap hari, dalam perjalanan masuk dan pulang kantor, di belakang mobil saya dua motor intel membuntuti. Karena saya bersikap tidak peduli, lalu intel itu beralih membuntuti mobil Pak Ali Sadikin. Tentu saja Pak Ali Sadikin jengkel. Suatu kali dibelokannya mobilnya ke halaman rumah Laksamana Sudomo. Hari berikutnya dua intel yang membuntutinya dipanggil masuk ke rumahnya, lalu dikasih makan sepuasnya, kemudian dinasihatinya. Sesudah itu para intel itu berhenti membuntutinya.
Semangat Bang Ali melawan ketidakadilan.
sumber: Sisi lain Bang Ali : Sebuah potret. Jakarta : Kriyakom, 2006.


Pada Idul Fitri dan Idul Adha 1980, berturut-turut saya ditahan dan disiksa oleh aparat intelijen Laksus Kopkamtibda Jaya hingga saya gegar otak. Pak Ali Sadikin tampil membela saya, menyembunyikan saya di rumahnya, lalu membawa saya melapor di rumah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Pasalnya, saya diancam akan diculik dari RS Islam, sehingga direktur utamanya, Dr. Sugiat, pada tengah malam membawa lari saya keluar dari Rumah Sakit. Pak Ali Sadikin pun mengirim surat protes kepada Pangkopkamtib Laksamana Soedomo, sehingga Pangkopkamtib melakukan teguran tertulis kepada Pangdam Jaya Letjen Norman Sasono, dan melakukan mutasi dan tindakan administratif kepada beberapa pejabat bawahannya, termasuk Assintelnya, Danramil Setiabudi Letda Sukarman, perwira operasi Kodim Jakarta Selatan, dan Kapten Thomas, perwira satgas intel Laksusda Jaya.
Karena saya menuntut perdata terhadap Pangkopkamtib, kembali lagi aparat Kopkamtib melakukan percobaan pembunuhan, berusaha membacok leher saya dengan clurit, yang terkena wajah saya. Pak Ali Sadikin bersama Mayjen Aziz Saleh dan Letjen H. R. Dharsono kembali tampil membela saya di pengadilan setelah semua pengacara senior dan profesional --Lukman Wiradinata, Djamaluddin Dt. Singomangkuto, Sukardjo Adidjoyo, dan Hotma Sitompul-mengundurkan diri karena diteror aparat Kopkamtib. Mereka diancam, rumahnya dilempari batu.

Panglima Kodamar memerintahkan RSAL sebagai instansi militer melakukan pengamanan khusus terhadap pasien yang diancam. Untuk menunjukkan solidaritas, Pak Ali Sadikin bersama Letjen H. R. Dharsono sengaja "mengambil alih" tugas perawat: mendorong dipan pembaringan saya keluar-masuk kamar operasi. Demikian juga waktu keluar dari RSAL, sengaja Pak Ali Sadikin menjemput saya, dan beliau sendiri yang menyetir mobil.

Para Perwira dan Pengawal di RSAL itu terheran-heran. Tiga hari setelah peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, Petisi 50 mengadakan rapat dan membentuk tim kecil untuk merumuskan suatu Lembaran Putih berdasarkan fakta-fakta di lapangan. Fakta-fakta dikumpulkan bersama YLBHI. Isinya, antara lain, agar dibentuk komisi pencari fakta karena pernyataan Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani tentang jalannya peristiwa dan jumlah korban tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pernyataan kritis Petisi 50 itu menjadikan penguasa semakin marah.

Sebagai sekretaris Petisi 50 saya dianggap sebagai konseptor Lembaran Putih peristiwa Tanjung Priok, dan itulah yang dijadikan alasan penangkapan terhadap saya dan sekaligus sebagai dakwaan primer yang memberatkan hukuman saya. Pak Ali Sadikin tampil sendirian di pengadilan sebagai saksi a de charge yang dijadikan pertimbangan Majelis Hakim untuk meringankan hukuman terhadap saya: dari tuntutan hukuman penjara seumur hidup menjadi menjadi 18 tahun penjara.

Banyak orang bertanya-tanya, mengapa Pak Ali Sadikin tidak diapa-apakan, padahal dialah yang dianggap tokoh utama yang menggerakkan Petisi 50 dan rapat rutin diadakan di rumahnya. Letjen (Purn) H. R. Dharsono, kolega Soeharto dan pernah menjadi asisten personilnya ketika Soeharto menjabat KSAD, juga ditangkap dan dihukum penjara. Menurut Manai Sophian, mengapa Pak Ali Sadikin tidak ditahan, karena faktor Ibu Tien Soeharto yang melihat jasa-jasa Gubernur Ali Sadikin membantu pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), khususnya dalam menghadapi demo mahasiswa yang menentang pembangunan TMII.
Ali Sadikin memaparkan rencana TMII kepada Tien Soeharto, 1972.
sumber: Sisi lain Bang Ali : Sebuah potret. Jakarta : Kriyakom, 2006.

Selama saya di dalam penjara Pak Ali Sadikin memberikan bantuan hidup dan perlindungan keamanan kepada istri dan anak-anak saya. Pak Ali Sadikin juga memelopori kunjungan rutin secara bergantian ke penjara, baik ketika saya di penjara Salemba, Cipinang maupun ketika saya dipindah ke penjara Cirebon, Sukamiskin (Bandung) dan penjara Bogor Pak Ali Sadikin tetap dengan setia menjenguk saya Disamping tokoh-tokoh lain.

Ketika saya terpilih sebagai wakil ketua DPR pada 1999, tokoh pertama yang saya datangi untuk silaturrahim Pak Ali Sadikin. Karena saya datang dengan stelan jas, naik mobil Volvo disertai ajudan, disambutnya di pintu sambil "menertawai saya" dan setelah kami berada di ruang tamu "diplonconya" lagi saya. Pak Ali menyuruh saya berdiri sambil mengatakan, "Wah gagah benar kamu." Saya pun teringat ketika Jenderal M. Jusuf mempersilakan penggantinya Jenderal L.B. Moerdani duduk di kursi Menhankam/Pangab, sejenak disuruhnya berdiri dan dikomentarinya "Wah gagah juga kamu." Dan adegan itu ditayangkan televisi.

Sekarang, kalau saya datang sekali-sekali, Pak Ali mengantar saya pulang sampai di pintu, menepuk bahu, dan berpesan: "Sikap politikmu dan pernyataan-pernyataanmu saya ikuti semua di surat kabar. Jangan bikin malu saya ya!" pernah suatu ketika sehabis saya menyampaikan kata sambutan sebagai wakil ketua MPR pada suatu acara dan saya menyinggung perlunya kita mencari tokoh panutan yang berani untuk memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan saya menyebut nama Pak Ali Sadikin, begitu saya turun dari mimbar Pak Ali berteriak dari kursinya: "Jangan didengarin omongan Si Fatwa itu." Hadirin menyambut teriakan itu dengan "geeeer" Saya pun menelepon sekretaris Pak Ali, Mia, "Tolong bilang sama Pak Ali, saya jangan diteriaki di forum resmi." Pak Ali Sadikin pun menyampaikan pesan: "Maafkan, [saya] lupa."

Pak Ali Sadikin punya pembawaan yang sangat peduli dan setia kepada bawahan ataupun bekas anak buah. Misalnya, ketika Pak Wardiman diangkat menjadi menteri Pendidikan Nasional, Pak Ali meneleponnya, mengucapkan selamat sambil berpesan: "Wardiman, selama tiga bulan jangan dulu banyak bicara, kuasai dulu masalah."

Belum lama ini saya ditanya Pak Ali Sadikin tentang pangkat kepegawaian saya sewaktu dipecat, setelah diketahuinya pangkat saya tetap III/b sejak tahun 1975 sampai nama saya direhabilitasi pada 1998. Jadi selama 24 tahun saya tidak pernah naik pangkat, padahal sudah sekian lama saya menjadi pejabat tinggi negara.

Sampai sekarang Pak Ali masih suka menelepon saya langsung, baik untuk menyampaikan pujian atas suatu hal, atau menyampaikan hal yang tidak disukainya. Misalnya, ketika saya di Solo, untuk menerima gelar kehormatan kanjeng pangeran dari Paku Buwono XII di keraton Surakarta Hadiningrat. Pak Ali menelepon saya dari Jakarta sambil menertawai saya: "Kamu ikut-ikutan pula menerima gelar dari raja Solo." Saya menjawab dengan ketawa juga.

Satu hal lagi yang ingin saya katakan, kepada siapa saja yang dekat dengannya, kalau bertemu yang diperhatikan pertama kali oleh Pak Ali adalah perut -- "tidak boleh gendut" Dia selalu pesankan tiga hal yang harus diperhatikan dalam penampilan: rambut harus rapi, gigi harus bersih, dan perut harus lurus tidak gendut.

Dari sekian banyak pemimpin dan tokoh nasional yang memberikan didikan dan pengalaman pada diri saya, Pak Ali Sadikin-lah yang paling mendalam bekas dan kesannya. Dari padanya-lah saya mendapatkan "ilmu komandan" yang biasa saya terapkan dalam menangani berbagai permasalahan terutama yang bersifat praktis di lapangan. Lebih daripada itu jasa beliau saya rasakan sebagai utang budi. Semoga Allah SWT meridhoi semua itu. Amien.

Wallahu a'lam bisshawab Jakarta, 7 Juni 2006

Sumber:
Fatwa, Andi Mapetahang, 2006. "Saya Banyak Belajar dari Kepemimpinan Ali Sadikin" dalam Empu Ali Sadikin 80 Tahun. Jakarta : IKJ Press bekerjasama dengan keluarga besar H. Ali Sadikin. hlm. 39-47.

Wednesday, November 28, 2012

Pajak Judi: Ada undang-undangnya, ada sasarannya


Satu hal yang pernah menggegerkan sewaktu kami menggali sumber keuangan untuk kepentingan masyarakat itu, yakni judi: Mulanya saya tahu, bahwa judi itu ada di Jakarta. Saya tahu pasti. Malahan saya tahu persis bahwa di belakangnya ada oknum-oknum tertentu yang melindunginya, yang hidup daripadanya, tanpa bayar pajak pula.

Maka saya bicara dengan Pak Djumadjitin. Saya tanyakan kepadanya apakah ada aturan-aturan dan hukum-hukumnya mengenai judi di Jakarta ini.

"Ada," jawab Pak Djumadjitin.

Dari Pak Djumadjitin saya pun jadi tahu, bahwa Pak Sumarno, bekas Gubernur, juga sudah pernah punya rencana untuk mengadakan judi, mengadakan Lotto. Tapi, rupanya, beliau ragu, menenggang Bung Karno waktu itu, sehingga beliau tidak sempat melaksanakannya.

"Mengenai judi," kata Pak Djumadjitin yang ahli hukum itu, "kekuasaannya ada pada Kepala Daerah, sesuai dengan perundang-undangan."

Saya merasa mempunyai kekuatan. Saya merasa diberi pegangan, mempunyai dasar hukumnya dengan mendengar keterangan dari Pak Djumadjitin. Terbuka pikiran saya. "

Saya akan menertibkan perjudian itu," kata saya di depan Pak Djumadjitin. "Dari judi saya akan pungut pajak," tambah saya.

Pak Djumadjitin mengangguk. Membenarkan.

"Itu semua legal, kan?" kata saya.

"Legal. Ada hukumnya. Boleh. Bisa," Pak Djumadjitin meyakinkan. "Ada undang-undangnya. Ada peraturannya." Ada Undang-Undang No. 11 tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas izin perjudian. Hanya Gubernur-Gubernur lain tidak berani melakukannya.

"Saya berani," kata saya. "Untuk keperluan rakyat Jakarta, saya berani."

Saya berpikir kemudian mengenai caranya. Bagaimana caranya? Itu yang saya pertanyakan.

"Mesti orang Cina," kata Pak Djumadjitin. "Undang-undang menetapkan, bahwa Kepala Daerah bisa memberikan izin kepada seorang bandar Cina, karena judi dianggap sudah merupakan budaya Cina. Dan yang boleh berjudi itu hanya orang Cina."

"Jadi lebih baik disahkan saja daripada dibiarkan liar dan tidak menghasilkan apa-apa untuk pemerintah, untuk rakyat. Kan begitu?" kata saya.

Pak Djumadjitin membenarkan.

Keterangan berikutnya menetapkan pikiran saya, bahwa saya tidak perlu menghubungi Menteri, misalnya Menteri Sosial waktu itu untuk hal ini. Tidak perlu.

Langkah berikutnya saya menemui Penjabat Presiden Soeharto untuk melaporkan saja, bahwa saya akan mengesahkan judi di Jakarta, karena undang-undangnya ada. Saya tidak meminta persetujuan.

Walikota Sudiro dulu juga pernah berkeinginan mengadakan casino di Pulau Edam, di teluk Jakarta, tapi partai-partai agama gigih menolaknya. Gubernur Dr. Sumarno Sosroatmodjo juga mengatakan bahwa tiap Gubernur menginginkan diadakannya casino di wilayah Jakarta untuk pembangunan Jakarta. Dr. Sumarno pernah mempelopori usaha Lotto. "Tapi Ali Sadikin berhasil menggolkannya," katanya. Memang pada masa jabatannya sekitar tahun 60-an, usaha-usaha yang dikatakan maksiat itu sangatlah tidak menarik hati orang, serta merta mendapatkan tentangan.

Saya menjelaskan, ada empat atau lima tempat di Jakarta yang menjadi tempat perjudian, yang dilindungi oleh oknum-oknum ABRI yang mencemarkan nama ABRI.

Saya sengaja tidak meminta persetujuan Penjabat Presiden untuk usaha judi, dengan pikiran, bahwa saya tidak mau memberatkan Penjabat Presiden dalam hal ini. Saya pikir, kalau nanti terjadi apa-apa berhubungan dengan soal judi ini, maka ini adalah tanggung jawab saya sebagai Gubernur yang mensahkannya. Saya mau menyelamatkan orang-orang lain dan tidak mau menyeret orang lain.

Benar, keputusan saya mengenai judi itu banyak yang menentang. Saya akui juga, bahwa judi itu haram. Agama apa pun mengatakan begitu. Tetapi, judi ini saya atur hanya untuk kalangan tertentu. Orang-orang yang dalam way of life-nya tak bisa hidup tanpa judi. Dan untuk itu mereka pergi ke Macao. Nah, saya pikir, untuk apa mereka menghambur-hamburkan uang di Macao. Lebih baik untuk pembangunan di Jakarta saja. Dan waktu itu saya jelaskan, bahwa DKI memerlukan dana untuk membangun jalan, sekolah, puskesmas, pasar dan lain-lain. Tapi, yang tidak setuju toh tetap ada. Kepada mereka saya bilang, "Bapak-bapak, kalau masih mau tinggal di Jakarta, sebaiknya beli helikopter. Karena jalan-jalan di DKI dibangun dengan pajak judi." Nah, cara semacam itu, yang membuat orang kemudian tertawa.


Jadi tak selamanya harus keras.

Juga saya tidak minta persetujuan dari DPRD mengenai hal ini. Tidak, tidak pernah. Pikir saya, kalau meminta persetujuan DPRD, malahan akan menyulitkan mereka.

Secara politis dan secara moral para anggota DPRD itu tentunya tidak akan menyetujui tindakan saya. Saya paham benar. Jadinya, saya cuma memberitahukan saja kepada mereka.

Lotto (Lotere Totalisator)
sumber: Djakarta through the ages, hlm. 121
Maka kemudian saya lakukan. Saya sahkan judi itu. Mulai dengan Lotere Totalisator, Lotto, mencontoh dari luar negeri. Lalu dengan macam-macam judi lainnya. Sampai kepada Hwa-Hwe. Dalam pada itu saya jelaskan, bahwa hanya orang Cina yang dibolehkan judi. "Orang kita tidak boleh judi. Apalagi orang Islam!" seru saya. "Haram bagi orang Islam main judi!" Jadi judi yang diselenggarakan Pemerintah DKI hanya bagi golongan tertentu saja.

Jelas, berulang kali saya jelaskan: "Kalau ada umat Islam yang berjudi, itu bukan salah Gubernur, tetapi keislaman orang itu bobrok. Dan sebagai umat Islam saya sendiri sama sekali tidak pernah berjudi."

Ternyata orang-orang Indonesia pribumi tidak bisa mengendalikan diri sehingga ikut bermain Hwa-Hwe yang sebenarnya diperuntukkan bagi warga negara asing (atau orang-orang keturunan Cina yang biasa berjudi).

Sementara itu saya mesti mengakui bahwa volume pembangunan ibukota di akhir 1969 itu tidak sebesar dulu ketika Hwa-Hwe masih dibuka.

Yang patut diingat benar adalah, bahwa hasil judi itu saya masukkan ke dalam APBD, dalam kelompok penerimaan khusus. Dan para anggota DPRD bisa mengontrol ke mana hasil judi itu larinya. Hasil judi itu dipakai untuk kepentingan masyarakat Jakarta. Semua menikmatinya, karena pajak dari sana dipakai untuk pembiayaan pembangunan, pembangunan di bidang pendidikan, di bidang sosial, di bidang sarana, dan di pelbagai macam bidang, sampai-sampai di bidang pembangunan mental dan kerohanian. Dan bukan untuk pembiayaan rutin. Dengan uang itu Pemerintah DKI bisa membangun gedung-gedung sekolah dasar yang pada waktu itu sangat dirasakan kurang, perbaikan dan pemeliharaan jalan, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas perkotaan, fasilitas kebudayaan dan lain-lain.

Izin judi dilakukan melalui tender, dengan tujuh orang yang mengikutinya. Baru si Apyang dengan si Yo Putshong muncul menjadi pemenang. Saya tidak pernah mengenal mereka sebelumnya.

Waktu saya ke Manila, dua kali saya diterima oleh Presiden Marcos. Pertama kali ia sedang mengadakan pertemuan dengan para walikota dan Gubernur. Saya diterima di ruang sidang, di istananya, dan didudukkan Disampingnya, diperkenalkan kepada hadirin dengan disebutkan bahwa saya ini adalah Mr. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Jakarta Raya, Ibukota Republik Indonesia. Di situlah Presiden Marcos bicara mengenai soal casino di Jakarta, karena waktu itu di Philipina hal itu masih tabu, karena Katolik berkuasa di sana. Maka saya jelaskan apa adanya. Pertama saya memerlukan duit untuk mengelola Jakarta, untuk pembangunan, dan kedua judi itu memang sudah ada di Jakarta, dan undang-undangnya juga ada. Daripada kami tidak menarik apa-apa dari judi yang ada itu, kata saya, lebih baik kami sahkan saja tapi bisa menarik untung untuk pemerintah dan dipakai untuk pembangunan. Presiden Marcos manggut-manggut. Maka selanjutnya Marcos mengundang pertama-tama orang Hongkong. Dan kemudian membuka perjudian di sana. Begitulah Manila meniru Jakarta. Kedua kali, malamnya, saya diundang makan. Mr. Farolan, Dubes Philipina hadir di sana. Kemudian, diajak ke "Taman Mini" Manila dan untuk ketiga kalinya saya bertemu dengan Presiden Marcos dan ibunya Marcos.

Berpikir mengenai judi, di tahun '71 saya suka ingat pada keadaan di Malaysia. Dan itu saya kemukakan juga. Mengapa umat Islam di Kuala Lumpur tampak seperti mempunyai pandangan yang lebih luas mengenai judi? Mereka seperti lebih dewasa dalam hal ini.

Setelah saya mengizinkan judi, menerbitkan perjudian dan memungut pajak dari sana, orang yang tidak suka kepada kebijaksanaan saya itu menyebut saya "Gubernur Judi" atau malahan "Gubernur Maksiat". Malahan sampai-sampai ada yang menyebut isteri saya "Madam Hwa-Hwe". Apalah kesalahan isteri saya dengan kebijaksanaan yang saya ambil? Isteri saya "kena getahnya". Tetapi, apa boleh buat. Kalau berani berbuat, harus berani pula bertanggung jawab. Saya harus berani berkorban untuk menyelamatkan orang banyak ini semua karena saya ingin menciptakan pembangunan buat Jakarta. Tidak mau melihat anak-anak keluyuran tidak sekolah. Tidak mau menyaksikan jalan-jalan bopeng, saluran-saluran mandek, beberapa rumah sakit seperti mau runtuh, dan sebagainya.

Di tahun '73, judi di Jawa Tengah dan di Jawa Barat dinyatakan dilarang oleh Kopkamtib.

Maka para wartawan menemui saya. Mereka bertanya apa reaksi saya dengan dilarangnya judi di propinsi-propinsi lain oleh Kopkamtib itu.

"Soal itu tergantung pada Kopkamtib," jawab saya. Tapi saya didorong-dorong terus, dan hati saya meluap jadinya.

"Kalian seperti beo saja," kata saya menjawab dorongan mereka. "Pemerintah bicara judi, kalian juga ikut-ikut bicara soal judi. Apa maunya?"

Saya tidak menunggu orang bicara lagi. Memang saya merasa didesak. Lalu saya berkata, "Judi dan perjudian di kota Jakarta ini resmi berdasrkan undang-undang. Dus, legal. Lebih baik perjudian itu resmi daripada sembunyi-sembunyi. Kalau secara gelap-gelapan, siapa yang mengambil untungnya? Ayo, jawab. Siapa yang untung kalau gelap-gelapan?"

Saya dengar ada yang menjawab, dan dia tepat. Tentunya yang mem-back-nya, oknum yang bergantung pada yang punya kekuasaan.

Lalu saya berondongkan isi hati saya. Dari hasil pajak judi. itu Pemerintah Daerah Jakarta bisa membangun gedung SD sekian, SLP sekian, SLA sekian, memperbaiki kampung, membikin jalan dan lain-lain. Dan kalau judi dihapus di Jakarta, apakah sanggup Pusat menyediakan uang bermilyar-milyar, kurang lebih 20 milyar rupiah sebagai gantinya? Jangankan yang itu, soal perimbangan keuangan yang diminta oleh DKI saja masih belum berhasil, kata saya.

"Masalah membangun dan mensukseskan PELITA tidak cukup hanya dengan sekedar gembar-gembor saja. Itu mesti dengan uang," teriak saya.

"Coba, apakah itu anak-anak muda yang menamakan dirinya generasi muda sanggup kentut yang bisa menghasilkan uang bermilyar rupiah? Ayo, coba!" saya marah. Memang saya merasa didorong dan menjadi marah.

Waktu itu saya ingat, kemarinnya ada beberapa orang anak muda yang menamakan dirinya sebagai "Generasi Muda" mendatangi Kopkamtib, menyatakan dukungan dan terima kasih, sebab Kopkamtib telah melarang judi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lalu mereka pergi ke Senayan.

Sementara itu saya ingat, bahwa di Sydney, Australia, dibolehkan orang menyelenggarakan judi. Sebagai satu-satunya kota di Australia, kota Sydney dibolehkan mengadakan judi.

Jakarta punya sifat khusus yang tidak sama dengan Bandung, tidak sama dengan Semarang, tidak sama dengan Surabaya. Nah, di Jakarta bisa saja dibolehkan judi, kan? pikir saya.

Saya jalan, hendak masuk kamar kerja. Tapi unek-unek saya masih terasa. Saya membalikkan muka lagi dan berkata kepada para wartawan itu: "Dua orang pernah bilang, daripada judi lebih baik pakai zakat fitrah saja guna mencari uang buat pembangunan. Tapi apa hasilnya? Cuma dapat berapa? Tidak lebih dari lima belas juta rupiah tahun lalu (1972). Setelah saya kerja keras, jumlahnya naik jadi Rp. 75 juta lebih. Cuma sebegitu."

Di kota Sydney, satu-satunya kota di Australia yang boleh mengadakan judi, ada kurang lebih 5.000 mesin jackpot. Tapi untuk Jakarta, saya batasi mesin jackpot itu, tidak boleh lebih dari 500 buah mesin.

Begitulah kenangan mengenai judi di Jakarta di antara banyak lagi pengalaman yang terlupakan selama menceritakannya.

Sumber:
Ramadhan, K.H., "Pajak judi: ada undang-undangnya, ada sasarannya" dalam Bang Ali : Demi Jakarta 1966-1977. hlm. 63-68. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992.

Tuesday, November 27, 2012

Gita Jaya 9F2 Kebijaksanaan Pengawasan


IX.F. Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Kebijaksanaan Pengawasan (sambungan)

Pengawasan Keuangan dan Materiil: Sejak beberapa tahun terakhir ini terdapat perubahan-perubahan yang besar dalam ketentuan pengelolaan keuangan daerah. Kenyataan ini ditambah dengan peningkatan-peningkatan anggaran dari tahun ke tahun. Sampai tahun 1972 pengurusan, pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan daerah masih berpedoman kepada: Province ordonantie (Stbl. 1924 No. 78), Regentschaps ordonantie (Stbl. 1924 No. 79), dan Stadsgements ordonantie (Stbl. 1924 No. 365). Ketentuan-ketentuan tersebut dirasakan sudah tidak memenuhi kebutuhan tertib administrasi masa kini.

Pada tahun 1972/1973 telah diterbitkan peraturan-peraturan pemerintah yang baru. (31) Dengan berlakunya peraturan tersebut maka dengan sendirinya pengelolaan keuangan daerah serta sistim pengawasannya diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan yang baru itu. Pada permulaan berlakunya sistim tersebut sangat dirasakan sulit pelaksanaan perubahannya. Karena sistim administrasi yang tadinya menganut azas "Virement Stelsel" menjadi azas "Kas Stelsel". Tetapi kesulitan itu kenyataan berlaku hanya sebentar saja. Oleh karena pada tahun-tahun selanjutnya keluar ketentuan perundang-undangan baru yang lebih sesuai. (32) Sehubungan dengan itu sistim pengawasan keuangan daerah saya adakan penyesuaian yang diperlukan; termasuk penyesuaian ketentuan pelaksanaan sistim pengawasan yang berlaku di wilayah DKI Jakarta yang kemudian saya keluarkan PP No. 5 Tahun 1975 Pasal 51.

Pengaturan-pengaturan tersebut antara lain dilakukan terhadap tata cara pengelolaan keuangan di Dinas-dinas termasuk di dalamnya pemakaian buku-buku kas, buku pembantu pengiriman Surat Pertanggyngan Jawab (SPJ) dan sebagainya dan penilaian persyaratan terhadap mereka yang akan diangkat menjadi bendaharawan. Mereka harus memenuhi persyaratan-persyaratan antara lain lulus Kursus A (Kursus Bendaharawan). Disamping adanya ketentuan-ketentuan yang saya keluarkan tersebut, terdapat pula ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan keuangan yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. Misalnya Surat Keputusan Presiden yang tiap tahun di terbitkan untuk pedoman penyelenggaraan Keuangan Negara; Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang tiap tahun juga diterbitkan tentang Penyelenggaraan Keuangan Daerah serta beberapa Surat Keputusan Menteri Keuangan yang berhubungan dengan pengelolaan keuangan. (33)

Semua ketentuan-ketentuan tersebut diatas mendasari segala program-program pengawasan yang berlaku untuk pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah. Disamping itu terdapat pula hasil-hasil rapat kerja para Inspektur Wilayah Daerah seluruh Indonesia yang mendasari segala program-program pengawasan khususnya dalam -pembuat laporan-laporan hasil pemeriksaan. Saya berpendapat perpaduan antara ketentuan-ketentuan yang berlaku dengan program-program pengawasan yang selalu berkembang, harus tetap dibina mengingat perkembangan keadaan yang terus meningkat. Meningkatnya program pengawasan itu harus dinilai pula sebagai tanggapan langsung saya pada permintaan masyarakat, agar dilakukan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan uang negara. Saya menilai positif sikap masyarakat yang kritis terhadap tindak-tanduk aparat Pemerintah DKI Jakarta. Mereka merupakan pengawasan tingkat pertama yang saya perhatikan pengamatannya. Karena mereka mengetahui keterbukaan dan sikap tanggapan saya terhadap laporan masyarakat hal ini dapat dilihat melalui banyaknya surat yang saya terima. Surat-surat itu tentang tata cara penggunaan uang yang mereka nilai tidak wajar.

Mekanisme Pengawasan: Sasaran pengawasan meliputi semua unit kerja Pemerintah DKI Jakarta termasuk di dalamnya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Direktorat, Biro, Dinas, Suku Dinas, Walikota, Kantor, Kecamatan dan Kelurahan dan secara keseluruhannya berjumlah 392 obyek pemeriksaan. Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan tersebut ditempuh dua macam pendekatan: pengawasan on the spot:, yaitu petugas pengawas melakukan pemeriksaan di tempat dimana obyek tersebut berada; pengawasan tidak langsung, yaitu dengan jalan meneliti semua laporan-laporan pertanggungan jawab keuangan yang disampaikan.

Selain penelitian terhadap surat pertanggung jawaban keuangan tugas lain yang cukup berat yang harus dilakukan ialah pemeriksaan terhadap perhitungan anggarim. Pemeriksaan terhadap perhitungan anggaran ini dilakukan sejak mulai tahun anggaran yang bersangkutan berjalan. Sebagaimana kita ketahui, bersama perhitungan anggaran adalah pertanggung jawaban Gubernur Kepala Daerah kepada masyarakat terhadap pelaksanaan anggaran melalui DPRD. Perhitungan anggaran yang merupakan surat pertanggung jawaban keuangan sebelum disampaikan kepada Dewan, terlebih dahulu diteliti dan diperiksa oleh Inspektorat Wilayah Daerah. Dalam penelitian dan pemeriksaan tersebut oleh Inspektorat dibuat Berita Acara Pemeriksaan yang ditujukan kepada Dewan. Dengan berita acara tersebut Dewan membahas perhitungan anggaran itu untuk dibuatkan tanda persetujuan melalui pembahasan oleh Panitia Anggaran, Fraksi dan Komisi-komisi. Proses pemeriksaan perhitungan anggaran Pemerintah DKI tiap tahun dilakukan oleh Inspektorat mulai dari tahun 1969 dan seterusnya.

Pengawasan Administrasi Keuangan Proyek Pembangunan: Mekanisme pengawasan administratif sebenarnya dimulai sejak adanya usulan sampai dengan selesainya pelaksanaan suatu proyek. Melalui koordinasi dengan hasil penelitian BAPPEDA sebagai unsur perencana, pengawasan administratif oleh Inspektorat Wilayah Daerah cukup dimulai dari tahap persiapan pelaksanaan proyek. Jika dalam tahap usulan dan penyediaan anggaran (DUP dan DIP) timbul masalah, barulah diiadakan konsultasi dengan BAPPEDA dan penanggung jawab proyek yang bersangkutan.

Dalam tahap persiapan pelaksanaan proyek, pengawasan dilakukan terhadap jalannya pelaksanaan tender/pelelangan, ini dilakukan dengan memeriksa persyaratan bagi para peserta tender, meninjau lokasi proyek untuk dapat mengawasi jumlah volume pekerjaan dan mengawasi perhitungan biaya proyek. Peninjauan lokasi proyek juga dimaksudkan untuk menghindarkan adanya proyek-proyek fiktif.

Selain pengawasan dari jauh dengan mengikuti data-data yang masuk seperti: Kontrak, SKO, SPMU dan Laporan Triwulan dari Penanggung Jawab Proyek, dilaksanakan juga pemeriksaan langsung ke Penanggung Jawab Proyek. Dalam hal ini sasaran pemeriksaan adalah Dinas, Walikota dan unit-unit lain di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta.

Pemeriksaan ini disebut juga pemeriksaan administrasi keuangan, untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan administratif suatu proyek dan sejauh mana penyerapan anggaran dan hambatan-hambatan yang mungkin dihadapi. Pemeriksaan administrasi keuangan ini dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik untuk membandingkan realisasi keuangan dengan realisasi fisik proyek. Selain pemeriksaan langsung ke tiap-tiap Penanggung Jawab Proyek, juga diadakan pemeriksaan terhadap realisasi keuangan secara keseluruhan yang akhirnya menjadi perhitungan anggaran tahun yang berjalan. Pengawasan ini dimaksudkan untuk menjamin kebenaran dari perhitungan anggaran yang dilaksanakan.

Pengawasan fisik proyek pembangunan: Pengawasan fisik maksudnya pengawasan ke lokasi proyek, baik proyek fisik maupun proyek non fisik (seperti Pusdiklatnil dan lain-lain.) Pengawasan flsik dilaksanakan dengan cara: periodik, insidentil, sejalan dengan pemeriksaan administrasi keuangan dan Pengawasan fisik secara periodik (per triwulan) dilakukan bersama-sama dengan BAPPEDA dan Direktorat IV /Pembangunan tiap 3 bulan sekali.

Dari hasil peninjauan atas perkembangann proyek di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan pengecekan atas realisasi keuangannya; apakah realisasi tersebut sesuai dengan penyelesaian fisik yang terjadi. Khusus untuk proyek-proyek yang sudah selesai didalam triwulan tersebut oleh Inspektorat Wilayah Daerah sekaligus dilanjutkan dengan mengadakan pemeriksaan menyeluruh. Sedangkan untuk proyek-proyek yang belum selesai dapat dianalisa perkembangan fisik dan realisasi keuangannya. Dengan demikian jika terdapat hal-hal yang menyimpang dari ketentuan maupun prosedure yang seharusnya, akan dapat diambil tindakan-tindakan dan jalan pemecahannya.

Hasil-hasil pengawasan secara periodik ini oleh Pemerintah Daerah tetap dilaporkan tiap triwulan kepada DPRD-DKI Jakarta, untuk dibahas.

Pengawasan secara insidentil dilakukan jika berdasarkan data-data yang ada dirasa perlu untuk melihat pelaksanaan fisik suatu proyek. Atau jika saya keluarkan instruksi khusus karena pengaduan masyarakat atau pemberitaan dalam surat kabar. Adanya pengaduan-pengaduan ataupun kritik -kritik dari masyarakat atas jalannya pelaksanaan pembangunan proyek DKI yang disinyalir kurang baik atau menyimpang dari yang sebenarnya atau yang dapat mengganggu kelancaran pekerjaan masyarakat setempat dan lain-lainnya selalu mendapat perhatian saya. Untuk itu Inspektorat Wilayah Daerah selalu diinstruksikan untuk mempelajari pengaduan-pengaduan tersebut dan sekaligus mengacjakan penelitlan maupun pemeriksaan setempat dan melaporkan hasil-hasil pemeriksaan. Dengan demikian dapat diambil pemecahan atas setiap persoalan yang terjadi di dalam proses pembangunan.

Pengawasan yang sejalan dengan pemeriksaan keuangan dilakukan untuk membandingkan realisasi keuangan (yang diperiksa) dengan realisasi fisiknya. Pengawasan ini merupakan pengawasan rutin atas pelaksanaan Pembangunan sesuai dengan program-program Inspektorat Wilayah Daerah DKI Jakarta. Hasil-hasil pemeriksaan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan fisik proyek-proyek pembangunan dan administrasi keuangan proyek-proyek sudah semakin tertib. Kesan saya telah dapat dirasakan manfaat usaha Inspektorat Wilayah Daerah dalam pembinaan-pembinaan para bendaharawan setiap unit Pemerintah DKI tentang cara-cara pelaksanaan administrasi keuangan yang baik. Demikian juga pelaksanaan fisik mendapat pengawasan yang ketat agar sesuai dengan peraturan-peraturan maupun ketentuanketentuan yang berlaku.

Disamping pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat Wilayah Daerah DKI Jakarta sebagai internal audit. Juga ada pengawasan yang dilakukan oleh instansi-instansi pengawas dari luar seperti: Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Inspektorat Jenderal Departeman Dalam Negeri dan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN). Pengawasan oleh masing-masing instansi tersebut dilakukan sedikitnya satu kali dalam setahun. Inspektorat Wilayah Daerah DKI Jakarta ditunjuk sebagai pendamping yang membantu kelancaran pemeriksaan dan pengawasan tersebut.

Pada tahun terakhir ini sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang terakhir, tugas-tugas Irwilda (Inspektorat Wilayah Daerah) tidak hanya terbatas pada pengawasan di bidang keuangan materiil, pembangunan dan Perusahaan-perusahaan Daerah tetapi saya tugaskan juga untuk melaksanakan tugas-tugas pengawasan bidang pemerintahan, pertanahan, kepegawaian, sosial dan politik. (34)

(31) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 36 tahun 1972 tgl. 29 Desember 1972 tentang Penyusunan Pertanggung jawaban dan Pengawasan Keuangari Daerah.
(32) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5 Tahun 1975 tgl. 26 Pebruari 1975 tentang Pengurusan, Pertanggung jawaban dan Pengawasan keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 1975 tgl. 26 Pebruari 1915 tentang Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata-Usaha Keuangan Daerah dan Perhitungan APBD.
(33) Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.Kep.330/NIV/9/1968 tanggal 26 September 1968 tentang Pedoman penata usahaan Kas Milik Negara, Cara Pengawasan dan Pemeriksaan, Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No.Kep.331/N/V/9/1968 tanggal 26 September 1968 tentang Pedoman bagi pegawai yang diberi tugas melakukan pemeriksaan umum kas pada para Bendaharawan/Pemegang Kas dan SK. Menteri Keuangan RI No.Kep.332/MIV/9/68 tanggal 26 September 1968 tentang Buku Kas Umum.
{34) SK. Menteri Dalam Negeri No. 226 tahun 1975 tanggal 22 Oktober 1975. Op.cit (29).

Sumber:
Ali Sadikin. "Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Penggunaan Dana Bagi Pembiayaan Daerah" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.) hlm. 358-367.

Monday, November 26, 2012

Gita Jaya 9F Kebijaksanaan Pengawasan


IX.F. Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Kebijaksanaan Pengawasan

Saya sering mendengar kritik yang dialamatkan kepada era pemerintahan saya di DKI Jakarta sebagai kurang pengawasan dan pengendalian atas pembantu-pembantu saya. Jika pengawasan diartikan rangkaian kegiatan untuk meneliti, apakah suatu kegiatan dapat berjalan sesuai dengan rencana, maka kritik itu tidak tepat alamatnya. Karena justru dengan pola pengelolaan yang seperti telah saya jelaskan semua kegiatan dipacu dan diluruskan agar sesuai dengan rencana. Lebih-lebih bagi Jakarta yang sejak semula mengutamakan dipedomaninya secara ketat Rencana Induk yang pagi-pagi telah dirumuskan.

Jika ada kesan semacam itu saya menduga letak salah tafsirannya adalah pada pendekatan penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang saya anut. Sejak semula saya gariskan bahwa pendekatan administrasi yang saya pilih ialah, yang mengabdi pada pembaharuan, modernisasi dan perobahan.

Dalam literatur, hal ini lazim disebut administrasi pembangunan. Karena itu tujuan daripada pengawasan di lingkungan. Pemerintah Daerah adalah untuk mengetahui apakah segala peraturan, perundang-undangan, kebijaksanaan-kebijaksanaan serta ketentuan-ketentuan lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah terlaksana atau tidak dapat dilaksanakan. Dengan pengawasan tidak hanya untuk mencegah terjadinya penyimpangan, pemborosan dan penyalah gunaan wewenang dan tanggung jawab tetapi juga untuk mengetahui apakah ketentuan-ketentuan itu sudah saatnya diperbaharui, agar tidak menghambat pembangunan.

Pengawasan, dalam adrhinistrasi Pembangunan tidak sematamata mencari kesalahan, akan tetapi untuk peningkatan effisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas. Dalam pengertian itu, saya menyadari pentingnya peranan pengawasan di dalam mengemban tugas saya sehari-hari. Sejak awal masa jabatan saya, pengawasan dan pemeriksaan pada seluruh aparat dalam lingkungan Pemerintah DKI Jakarta tetap diadakan. Saat itu, sebagai langkah pertama untuk mewujudkan tujuan pengawasan, saya mencari pembantu yang benar-benar ahli dan berpengalaman dalam bidang pengawasan seperti telah saya uraikan di atas. Saya mendapatkan seorang Akuntan senior yang berpengalaman, untuk menduduki jabatan Kepala Inspektorat Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan DKI Jakarta. Langkah ini sendiri sangat inkonvensionil dalam sistim administrasi dan kepegawaian Pemerintah Daerah, sebab tenaga itu baru diangkat untuk langsung menduduki jabatan tertinggi di DKI Jakarta.

Aparat pengawasan yang ada pada Pemerintah Daerah waktu saya mulai menjabat Gubernur, terbagi dua. Masing-masing melaksanakan tugasnya secara terpisah dan berdiri sendiri; Inspeksi Keuangan, bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan rutin Pemerintah Daerah. Dan, Biro Akuntansi, bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan Perusahaan-perusahaan Daerah.

Langkah pertama, dari pembaharuan itu saya tempuh dengan menyatukan kedua aparat tersebut dalam satu wadah dan menambah satu unit Organisasi dan Metode kerja dengan Surat Keputusan Gubernur tanggal 22 Juni 1966 No. B.6/6/52/1966 yang tercantum dalam Lembaran Daerah No. 6 tahun 1966. Dengan penyatuan itu Inspektorat Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, mempunyai unit organisasi yaitu Biro Inspeksi Keuangan, Biro Akuntansi dan Biro Organisasi dan Metode. (26)

Sesudah dibentuk Inspektorat tersebut mulailah penertiban aparat-aparat dalam lingkungan Pemerintah DKI Jakarta diadakan. Pedoman pelaksanaan keuangan daerah disusun, dilakukan serta diajarkan kepada para Bendaharawan. Pada tahun anggaran 1968/1969 oleh Inspektorat Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan Daerah diadakan kursus Bendaharawan angkatan I bagi para bendaharawan keuangan dan stafnya. Maksud daripada kursus tersebut untuk penertiban aan penyempurnaan sistim administrasi keuangan dan materiil serta adanya keseragaman dalam pengurusan keuangan daerah.

Mulai tahun 1971/1972 dan selanjutnya pelaksanaan kursus keuangan tersebut, dilaksanakan dengan kerja sama Inspektorat, Pusat Pendidikan dan Latihan Personil Pemerintah DKI Jakarta (Pusdiklatnil) dan Departemen Keuangan. Dengan dimulainya Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA I) pada tahun 1969, lingkup pengawasan semakin bertanibah, karena harus pula mengawasi proyek-proyek pembangunan. Tugas Inspektorat meluas dengan pengawasan terhadap pelaksanaan proyek-proyek pembangunan. Titik berat pengawasan pada tahap itu adalah pengawasan atas pelaksanaan lelang pada saat-saat proyek dilelangkan, Inspektorat juga sekaligus mengadakan pemeriksaan pada pemborong-pemborong yang mengikuti lelang, apakah mereka benar-benar memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan. Dalam perhitungan harga pelelangan, Inspektorat mengadakan pengawasan sampai selesainya pelelangan tersebut. Sesudah proyek-proyek selesai dikerjakan, diadakanlah pemeriksaan administrasi dan fisik proyek, apakah dilaksanakan sesuai dengan DIP dan hasil pelelangan.

Sejak adanya pengawasan dalam proyek-proyek pembangunan, dirasakan kekurangan tenaga pengawas baik kwantitatif maupun kwalitatif. Untuk itu secara bertahap diadakan penambahan personil dan diadakan penataran bagi petugas-petugas yang telah ada. Mereka disertakan, dalam program-program kursus yang ada maupun diselenggarakan sendiri sesuai dengan kebutuhan. Mengingat luasnya lingkup pengawasan dan terbatasnya jumlah personil pengawas pada Inspektorat, saya manfaatkan sistem "build in control". Sistem ini dilaksanakan oleh setiap unit dan aparat dalam lingkungan Pemerintah DKI Jakarta untuk membantu Inspektorat di dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasan.

Sejak tahun 1972 pengawasan terhadap pembinaan organisasi dan metode kerja di pisahkan dari Inspektorat dengan membentuk Biro VII/Organisasi dan Ketatalaksanaan yang berdiri sendiri. Kebijaksanaan tersebut diambil mengingat masalah-masalah yang berhubungan dengan pembinaan organisasi dan metode kerja, saya anggap penting dan perlu dikembangkan. Kebijaksanaan tersebut ternyata sejalan dengan kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri. (27) Dalam keputusan tersebut antara lain ditentukan bahwa fungsi-fungsi yang berhubungan dengan pembinaan pengembangan managemen ditampung dalam wadah Biro tersendiri. Dengan keluarnya pedoman Menteri Dalam Negeri tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Daerah, maka Inspektorat Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan saya sesuaikan fungsi dan namanya menjadi Inspektorat Daerah DKI Jakarta. (28)

Sesuai dengan pedoman Menteri Dalam Negeri tersebut, jangkauan pengawasan dikelompokkan ke dalam pengawasan umum (pemerintahan, agraria, kepegawaian), pengawasan keuangan dan materiil, pengawasan perusahaan daerah dan pengawasan pembangunan. Dengan keluarnya undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang baru maka dilakukan penyesuaian lagi atas fungsi dan tugas Inspektorat. (29)

Tugas pokok Inspektorat Wilayah Daerah Propinsi adalah untuk melakukan pengawasan umum atas jalannya pemerintahan daerah, dan pelaksanaan tugas Departemen Dalam Negeri di daerah agar dapat berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan yang berlaku; baik tugas yang bersifat rutin maupun pembangunan. Kini dengan tugas pokok yang baru itu jangkauan pengawasan Inspektorat dibagi dalam pengawasan-pengawasan untuk. Bidang Pemerintahan dan Agraria, Bidang Keuangan dan Peralatan, Bidang Sosial Politik dan Kepegawaian; Bidang Pembangunan dan Bidang Umum. Mengingat luasnya ruang lingkup pengawasan perusahaan daerah di Jakarta maka unsur Inspektorat itu saya tambah lagi dengan Bidang Perusahaan Daerah. Seperti diketahui Jakarta memiliki 48 buah perusahaan, baik yang berbentuk perusahaan daerah, PT. joint maupun usaha-usaha lain yang berstatus otorita, yayasan dan badan-badan lain. Perusahaan-perusahaan itu dalam rangka pengawasan dikategorikan sebagai Perusahaan Daerah.

Dengan keluarnya SK Mendagri No. 226 Tahun 1975, lingkup pengawasan Inspektorat Wilayah Daerah ternyata masih dirasa perlu untuk diperluas lagi. Kini lingkup itu meliputi: Pengawasan keuangan dan materiil, pengawasan proyek-proyek pembangunan, pengawasan Perusahaan-perusahaan Daerah, pengawasan dalam rangka pembinaan pemerintahan umum, pengawasan dalam rangka pembinaan otonomi daerah, pengawasan dalam rangka pembinaan sosial politik, pengawasan agraria dan pengawasan kepegawaian. (30)

Dalam melakukan pengawasan terhadap instansi-instansi/aparat-aparat yang bersifat teknis, bila dianggap perlu Inspektorat dapat minta bantuan tenaga-tenaga ahli dari instansi-instansi dalam lingkungan Pemerintah DKI Jakarta. Disamping itu Inspektorat bersama-sama dengan Badan Perencana Pembangunan Daerah dan Direktorat IV/Pembangunan secara triwulan mengadakan peninjauan proyek-proyek. Kegiatan ini membantu Inspektorat dalam melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan. Proyek-proyek pembangunan dan kegiatan rutin Pemerintah Daerah juga diawasi dan diperiksa oleh instansi-instansi pemeriksa dari Pemerintah Pusat, seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pengawasan Departemen Keuangan. Untuk itu saya kembangkan mekanisme koordinasi pengawasan dengan Inspektorat Wilayah Daerah. Bila satu instansi baru saja diperiksa oleh Inspektorat Daerah, unit tersebut tidak akan diperiksa lagi tetapi untuk itu diminta tembusan laporan hasil pemeriksaan bagi kepentingan aparat pengawas dan pemeriksaan dari Pemerintah Pusat.

Sebagai catatan akhir yang saya anggap penting adalah bantuan keuangan Pemerintah DKI Jakarta dalam membiayai proyek-proyek Pemerintah Pusat selama masa jabatan saya sebagai Gubernur yang dapat diikuti melalui tabel berikut:

REKAPITULASI: URUSAN-URUSAN PUSAT YANG PELAKSANAANNYA DIBIAYAI DARI ANGGARAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

bersambung...
(26) SK. Gubernur KDKi Jakarta tanggal 22 Juni 1966 No. B.6/6/52/1966 tentang Susunan Organisasi Sekretariat Daerah DKI Jakarta. Op.cit. (8)
(27) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 113 tahun 1972 tanggal 28 September 1972 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Tingkat I.
(28) Keputusan Mendagri No. 100 tahun 1972 tanggal 30 Juni 1972 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Daerah dan SK. Gubernur tanggal 1 April 1973 No.B.III.b.3/1/1/73 tentang Penetapan Inspektorat Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi Inspektorat Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(29) Keputusan Mendagri No. 226 Tahun 1975 tanggal 22 Oktober 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata KerjaInspektorat Wilayah Daerah Propinsi.
(30) Ibid.

Sumber:
Ali Sadikin. "Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Penggunaan Dana Bagi Pembiayaan Daerah" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.) hlm. 358-367.

Tuesday, November 20, 2012

Gita Jaya 9E Perkembangan Keuangan


IX.E. Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Perkembangan Keuangan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dari tahun ke tahun meningkat dengan pesat. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari tuntutan kebutuhan yang telah diprogramkan menurut tahapan-tahapan pelaksanaan. Anggaran tidak lagi disusun berdasarkan pada jumlah perkiraan pendapatan riil semata-mata, tetapi disusun lebih banyak menurut target-target program yang ingin dicapai. Ini dilakukan untuk segera dapat mengatasi masalah pokok yang mendesak seperti ketertinggalan-ketertinggalan di berbagai bidang seperti prasarana ekonomi, sosial dan fasilitas-fasilitas perkotaan lainnya, yang keadaannya sangat menyedihkan.

Dalam kenyataannya penyusunan anggaran dengan cara yang demikian telah merangsang gairah aparat daerah dan masyarakat untuk lebih meningkatkan penerimaan. Tabel-tabel berikut ini akan memberikan gambaran dari berbagai aspek perkembangan keuangan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dari tahun ke tahun.

Anggaran Pembangunan: Yang dimaksud dengan anggaran pembangunan adalah biaya-biaya yang disediakan bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan berupa proyek-proyek yang telah disusun lebih dahulu. Dalam PELITA Satu DKI Jakarta 1969/1970-1973/1974 proyek-proyek Pembangunan DKI digolong-golongkan menurut pembidangan sebagai berikut:
A. Bidang Pemerintahan.
B. Bidang Keamanan dan Ketertiban.
C. Bidang Kesejahteraan Rakyat.
D. Bidang Prasarana.
E. Bidang Perekonomian.
F. Bidang Perbaikan Perkampungan.

Besarnya seluruh anggaran PELITA adalah sebagai berikut:

Sejak tahun anggaran 1971/1972 pembidangan kegiatan bertambah satu bidang yakni: P.O.N. VIII. Besarnya anggaran pembangunan untuk masing-masing bidang tergantung, kepada program-program, proyek-proyek dan volume kegiatan yang akan dilaksanakan dalam bidang bersangkutan.

Berikut ini perbandingan prosentasenya anggaran pembangunan untuk masing-masing bidang dalam periode 1969/1970 sampai 1973/1974.

Dalam periode selanjutnya yakni 1974/1975 terjadi perubahan dalam pembidangan kegiatan-kegiatan pembangunan. (24) Sejak periode ini pembidangan yang berlaku adalah: Bidang Ekonomi, Bidang Sosial, dan Bidang Umum.

Kebijaksanaan penyusunan anggaran juga mengalami perubahan dari sistim defisit aktif menjadi sistim berimbang yang dinamis. Demikian pula dalam kebijaksanaan alokasi anggaran rutin ditempuh prinsip-prinsip prioritas. Prinsip ini perlu ditempuh agar pengarahan penggunaan anggaran rutin dapat mencapai sasaran dan ikut mendukung program-program pembangunan. Hal ini terutama dikaitkan dengan pemeliharaan sarana kota yang telah diselesaikan pada tahun-tahun sebelumnya.

Pada anggaran dengan prinsip defisit aktif, terlebih dahulu ditetapkan jumlah-jumlah pengeluaran sesuai dengan target menurut urutan skala prioritas program-program dan proyek-proyek. Baru kemudian ditunjuk sumber-sumber pendapatan yang riil maupun potensiil untuk menutup pengeluaran-pengeluaran yang direncanakan itu. Sedangkan pada anggaran dengan prinsip berimbang yang dinamis terlebih dahulu diperkirakan jumlah-jumlah penerimaan, kemudian baru ditetapkan jumlah-jumlah pengeluaran yang sesuai dengan perkiraan penerimaan tersebut. Namun tetap membuka kemungkinan untuk dapat memperbesar jumlah pengeluaran sebanding dengan besarnya pertambahan pendapatan. (25)

Anggaran Rutin: Seperti halnya dengan anggaran pembangunan, anggaran rutinpun merupakan bagian dari seluruh anggaran pendapatan dan belanja DKI Jakarta yang ditetapkan pada setiap tahun anggaran. Yang dimaksud dengan anggaran rutin adalah biaya-biaya yang diperuntukkan bagi pelaksanaan umum pemerintah di luar kegiatan-kegiatan pembangunan dalam bentuk proyek. Dibandingkan dengan seluruh anggaran pendapatan dan belanja DKI Jakarta, sampai dengan tahun 1973/1974 anggaran rutin masih tetap di bawah 50%.

Besarnya anggaran rutin tahun dinas 1974/1975 s/d 1977/1978 adalah sebagai berikut:

Sejak tahun anggaran 1974/1975, beban anggaran rutin tidak lagi dapat dipertahankan di bawah 50%. Peningkatan kesejahteraan pegawai, pemeliharaan sarana yang telah banyak dibangun menurut porsi yang lebih besar dari anggaran belanja daerah.

Perbandingan antara anggaran Pembangunan dan Rutin:

Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, sejak dilaksanakannya program-program rehabilitasi maupun pembangunan di DKI Jakarta, dalam menyusun RAPBD saya selalu berpedoman kepada perbandingan anggaran pembangunan dan rutin yang lebih dan kurang dari 50%. Berikut ini daftar perbandingan kedua anggaran tersebut dibandingkan dengan jumlah seluruh Anggaran Pendapatan dan Belanja DKI dalam periode 1969/1970 sampai 1977/1978 menurut realisasinya:


(24) Perubahan ini sesuai dengan Pedoman yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri. Lihat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 tahun 1974.
(25) Lihat Nota Keuangan Pemerintah DKI Jakarta tahun 1974/1975.

Sumber:
Ali Sadikin. "Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Penggunaan Dana Bagi Pembiayaan Daerah" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.) hlm. 353-358.

Thursday, November 15, 2012

Gita Jaya 9D Usaha Perbaikan Administrasi Keuangan


IX.D. Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Usaha Perbaikan Administrasi Keuangan

Sejalan dengan usaha-usaha yang dilaksanakan sebagai intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber keuangan daerah, saya mengusahakan perbaikan dan penyempurnaan administrasi keuangan. Usaha ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna penerimaan yang ada. Usaha perbaikan administrasi keuangan dilaksanakan sejalan dan bersamaan pula dengan usaha-usaha serupa secara keseluruhan di semua bidang kegiatan.

Kenaikan penerimaan pajak-pajak daerah selama tahun 1966 sampai dengan tahun 1975 dengan realisasi yang jauh melampaui rencana, terutama disebabkan tindakan-tindakan intensifikasi pemungutan dan perbaikan administrasi. Usaha itu antara lain berupa tindakan-tindakan pencegahan terhadap usaha-usaha menghindarkan diri atau usaha meringankan diri dari pembayaran pajak. Dengan tindakan-tindakan tersebut usaha-usaha menjaring subyek pajak dapat berhasil baik. Mengenai peningkatan disiplin kerja, usaha-usaha yang dilaksanakan adalah melalui kegiatan Inspektorat Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan.

Mulai tahun 1973/1974 administrasi keuangan pemerintah DKI Jakarta mulai merintis pemakaian komputer. Program ini meliputi perluasan program aplikasi dan meneruskan program pendidikan/persiapan tenaga-tenaga yang diperlukan untuk melayani kegiatan komputerisasi administrasi keuangan. Program aplikasi yang dilaksanakan sebelumnya adalah aplikasi untuk administrasi personill aplikasi PAM yang meliputi rekening penagihan piutang dan pengawasan persediaan barang, aplikasi pajak yang meliputi SWP3DI BBN dan pajak tontonan, aplikasi inventarisasi pemerintah DKI, aplikasi administrasi keuangan yang meliputi anggaran, pembukuan serta pengawasan pembiayaan proyek.

Disamping program aplikasi, usaha lain dalam perbaikan administrasi keuangan antara lain juga penetapan-penetapan besarnya retribusi daerah maupun penerimaan Dinas. Untuk itu telah dikeluarkan beberapa peraturan daerah: Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1973 tentang Penetapan Besarnya Pungutan untuk Izin Penggunaan Tanah Makam berdasarkan pembagian perpetakan tanah makam untuk tiap-tiap tempat pemakaman umum; Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1974 tentang Penetapan dan Penyesuaian besarnya tarip pungutan Dinas Tata Kota dan Pengawasan Bangunan Kota Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat; Peraturan Daerah No. 4 Tahun 1974 tentang Penetapan dan Penyesuaian besarnya tarip pungutan yang diselenggarakan Dinas/Instansi Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat. Untuk merealisir target penerimaan sebagaimana yang direncanakan dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sejak tahun anggaran 1973/1974 dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Beberapa pajak tertentu seperti Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Sumbangan Wajib Pemeliharaan Pembangunan Prasarana Daerah (SWP3D), Pajak Pembangunan II Pajak Tontonan/Pajak atas Kendaraan Tidak Bermotor, Pajak Reklame dan Pajak Bangsa Asing dilakukan penagihan intensif. Intensifikasi ini ditempuh secara administratif akan tetapi juga secara operasionil dengan bekerjasama dengan instansi-instansi lain. Khusus untuk pajak-pajak kendaraan bermotor diadakan tindakan operasionil di tiap wilayah. Tindakan operasi tersebut dilakukan sepanjang tahun dengan memperhatikan waktu-waktu yang tepat untuk melakukan penagihan bagi masing-masing jenis pajak.

Dalam pada itu mengingat perkembangan hotel-hotel dan restauran restauran, saya mengusahakan agar Dinas Pajak dapat menguasai secara administratip pertumbuhan hotel-hotel dan restauran-restauran tersebut. Hal ini erat hubungannya dengan perbaikan dan penyempurnaan penagihan pajak yang bersangkutan. Untuk meningkatkan penerimaan pajak radio mulai tahun 1973/1974 sistim pemungutan jenis pajak ini perlu dirubah. Saya mengambil kebijaksanaan mengadakan operasi-operasi penagihan secara langsung.

Persiapan-persiapan administratip dan operasionil bagi kemungkinan dapat dilaksanakannya pemungutan pajak rumah tangga juga telah dilaksanakan. Agar pada waktunya nanti langsung dapat mengadakan pemungutan.

Usaha lainnya yang juga telah dilaksanakan sebagai usaha perbaikan dan penyempurnaan administrasi keuangan meliputi penyederhanaan formulir-formulir yang berhubungan dengan pemungutan pajak. Disamping itu juga diusahakan untuk menyebar luaskan tempat-tempat penyetoran pajak untuk memudahkan para wajib pajak memenuhi kewajibannya.

Sumber:
Ali Sadikin. "Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Penggunaan Dana Bagi Pembiayaan Daerah" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.) hlm. 351-353.

Tuesday, November 13, 2012

Gita Jaya 9C2 Situasi Pajak Tahun 1966


IX.C. Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Situasi Pajak Tahun 1966 (bagian 2)

Memasuki tahun pertama PELITA Satu, Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan rencana peningkatan pendapatan daerah melalui berbagai usaha: Mempertinggi target penerimaan SWP3D (Sumbangan Wajib Pemeliharaan Pembangunan Prasarana Daerah) melalui penyempurnaan cara pemungutan dengan sistim MPO/MPS dan peninjauan kembali tarip-tarip lama; Mengintensifkan pemungufan atas Iuran Rehabilitasi Daerah (lreda) yang dapat dicapai dengan penyempurnaan sistem administrasi; Melaksanakan pemungutan atas pajak yang baru diserahkan kepada daerah yakni BBN; Mengintensifkan pemungutan pajak-pajak lain termasuk pajak radio; Menyesuaikan tarip dari berbagai jenis pajak dan retribusi dinas-dinas daerah; Meningkatkan penerimaan-penerimaan khusus; Mengusahakan kredit jangka panjang dari dalam dan luar negeri yang akan dipergunakan bagi pelaksanaan perbaikan perkampungan, up-grading jalan-jalan ekonomi, rehabilitasi jalan-jalan lingkungan dan pembangunan gedung-gedung sekolah; Mencari/menggali sumber-sumber pembiayaan baru.

Pendapatan daerah yang bersumber dari penerimaan daerah sendiri merupakan komponen yang paling dominan dari seluruh penerimaan daerah, yakni kurang lebih 75%. Hal ini sesuai dengan kebijaksanaan saya untuk sejauh mungkin mengakumulir dana untuk pembiayaan daerah dari sektor penerimaan sendiri. Sumber penerimaan yang penting dari penerimaan daerah sendiri terletak pada pajak daerah. Oleh karena itu dalam meningkatkan pendapatan daerah, kegiatan-kegiatan lebih banyak diarahkan kepada usaha-usaha intensifi kasi maupun ekstensifikasi dari pemungutan pajak-pajak daerah. (21)

Disamping usaha-usaha intensifikasi pemungutan pajak-pajak daerah, Pemerintah DKI Jakarta juga berusaha untuk mendapatkan sumber-sumber keuangan baru sepanjang dimungkinkan oleh peraturan yang berlaku. Hasil pertama yang dicapai dalam penggalian sumber-sumber keuangan baru ini adalah ditetapkannya pelaksanaan Iuran Rehabilitasi Daerah. (22)

Selain dari itu, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1957, Pemerintah Daerah juga dapat memanfaatkan sumber penerimaan yang sangat potensiil, yakni pajak atas izin perjudian. Mengingat kebutuhan yang sangat mendesak terutama akan sarana-sarana pendidikan, saya berdasarkan undang-undang tersebut pada tahun 1967 telah menyelenggarakan Lotere Totalisator (Lotto). Baik hasil dari Lotere Totalisator tersebut maupun pajak-pajak yang diterima dari izin perjudian merupakan penerimaan-penerimaan daerah yang sah, oleh karena penyelenggaraannya berdasarkan peraturan yang berlaku. (23) Karena itu Pemerintah DKI Jakarta mencantumkan penerimaan tersebut ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah dalam kelompok penerimaan khusus. Penerimaan khusus ini diperuntukkan bagi pembiayaan pembangunan dan tidak untuk pembiayaan rutin. Penggunaannya ahtara lain untuk pembangunan gecjung-gedung sekolah dasar yang pada waktu itu sangat dirasakan kurang, perbaikan dan pemeliharaan jalan, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas perkotaan, fasilitas-fasilitas kebudayaan dan lain-lain.

Usaha peningkatan penerimaan yang berasal dari Pemerintah Pusat juga saya kejar. Salah satu sumber pendapatan dari Pemerintah Pusat yang terpenting adalah subsidi perimbangan keuangan.

(21) Untuk melihat komposisi penerimaan Daerah dari tahun ketahun dapat terpenuhi. Lihat RAPBD dan Nota Keuangan Tahun 1969 sampai dengan tahun 1976/1977.
(22) Keputusan bersama Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Dirjen Keuangan R.I. No. 462/Aik/BKD/67 Dirjen. Keu.D.156-136. tanggal 29 Mei 1967 berlaku tahun phiskal 1967 tentang Peraturan Dasar Pelaksanaan Pungutan Iuran Rehabilitasi Daerah.
(23) Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1957 tanggal 22 Mei 1957; Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1957 tanggal 22 Mei 1957; Peraturan Pemerintah RI No. 5 Tahun 1969; dan Undang-undang No. 10 tahun 1968 tanggal 25 Oktober 1968.

Sumber:
Ali Sadikin. "Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Penggunaan Dana Bagi Pembiayaan Daerah" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.) hlm. 345-351.

Monday, November 12, 2012

Gita Jaya 9C : Situasi Pajak Tahun 1966

IX.C. Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Situasi Pajak Tahun 1966

Saat saya pertama kali menengok keadaan kas kota, pada tanggal 18 Oktober 1966, saya hanya menemukan uang sejumlah Rp. 18.000,- uang lama. Keadaan itu memang sudah saya duga sebelumnya. Karena iklim perpajakan tidak menguntungkan. Kondisi politik dan ekonomi tidak memungkinkan untuk meningkatkan penerimaan daerah. Banyak proyek-proyek pembangunan yang dilakukan di Jakarta langsung ditangani oleh Pemerintah Pusat melalui proyek Mandataris, yang dimaksud proyek Mandataris ialah proyek Pemerintah Nasional yang dipertanggung jawabkan langsung kepada Presiaen selaku Mandataris MPRS.

Keadaan keuangan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada saat saya memasuki masa jabatan sebagai Gubernur tidak dapat dilepaskan dari kondisi seperti itu, Hal tersebut ditambah lagi dengan situasi moneter negara kita yang sedang dilanda inflasi. Pemerintah Pusat saat itu baru melangkah untuk mengambil tindakan-tindakan memerangi inflasi tersebut. Kemelut ini tercermin pula dalam keadaan keuangan Pemerintah DKI Jakarta.

Berdasarkan kondisi di atas, saya segera meletakkan langkah-langkah penertiban dan peningkatan kemampuan keuangan pemerintahan daerah atas dasar perkiraan situasi yang dihadapi. Persoalan pokok dalam bidang keuangan daerah pada saat itu, antara lain berupa runtuhnya sistem dan peraturan perpajakan yang menuntut perombakan dan pembaharuan. Disamping itu juga kondisi aparat perpajakan, baik mutu dan jumlah sangat tidak memadai, dibandingkan dengan besarnya penerimaan yang harus ditingkatkan. Sarana-sarana kerja yang memungkinkan perangkat perpajakan bergerak lebih lincah perlu dikembangkan. Sistem serta tata tertib pemungutan maupun pengelolaan keuangan daerah perlu dikembangkan lebih lanjut, agar peningkatan penerimaan daerah ditunjang dengan administrasi perpajakan yang sehat.


Kondisi umum daripada medan perpajakan saat itu juga dipersulit oleh sikap wajib pajak yang tidak menunjang usaha peningkatan perpajakan. Kesadaran, kemauan dan kemampuan membayar pajak menurun. Yang meningkat justru kegiatan dan upaya untuk menghindarkan pajak. Aparat perpajakan yang bermutu jumlahnya kurang, dan tidak mampu mengatasi kenyataan ini. Menghadapi keadaan semacam itu, sebagai langkah pertama pola penetapan pajak, ialah pengalihan azas penetapan oleh Pemerintah menjadi azas perhitungan pajak oleh para wajib pajak sendiri. Dengan demikian pajak cepat masuk, pasaran pajak dapat diperluas. Hal ini tentu saja menuntut penyesuaian-penyesuaian di dalam tertib administrasi dan pungutan-pungutan. Itulah sebabnya maka langkah selanjutnya yang saya tempuh ialah pengembangan perangkat perpajakan. Memang dalam keadaan seperti itu dibutuhkan kepandaian memanfaatkan situasi. Bagaimana tidak, pada saat itu masyarakat enggan membayar pajak, juga karena pegawai-pegawai upahnya rendah. Apa yang harus saya lakukan untuk menaikkan pajak? Saya memacu pegawai pajak dengan memberi sedikit insentif untuk meningkatkan gairah kerja mereka. Demikian pula wajib pajak saya rangsang dengan peningkatan-peningkatan pelayanan untuk meyakinkan mereka bahwa setiap rupiah pajak yang dibayar, benar-benar kembali dalam bentuk pelayanan.

Sementara itu terdapat pula masalah yang bersumber dari unsur luar Pemerintah Daerah. Kesulitan untuk memperoleh informasi dan bantuan dari instansi di luar Pemerintah Daerah merupakan hambatan pula. Saat itu keterangan dari Polantas, Bea Cukai, Departemen Keuangan, Sekretariat Negara dan lain sebagainya tidak mudah diperoleh. (14)

Bantuan pemberian keterangan semacam ini perlu dalam rangka usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pajak-pajak daerah. Dalam pada itu di masyarakat berkembang "situasi backing-backingan" di bidang pemalsuan, baik yang nyata terlihat maupun yang tidak. Faktor ini telah menghambat penertiban administrasi dan peningkatan penerimaan pajak.

Banyak langkah-langkah perpajakan ini memperoleh tantangan. Usaha-usaha pemalsuan berkembang. Dalam menghadapi tantangan ini penanggulangan tidak hanya melalui operasi-operasi penertiban secara fisik tetapi perlu disertai penertiban sistim administrasi dan tata cara pemungutannya. Langkah penertiban perpajakan secara luas dan menyeluruh hanya saya lakukan setelah terlebih dahulu saya siapkan perubahan sistim secara menyeluruh pula dalam rangka penertiban ini.

Dengan demikian, begitu operasi fisik selesai, usaha pemalsuan tidak muncul kembali, karena sistimnya sudah berubah. Dalam pada itu pengelolaan dan pengkajian tarif perpajakan perlu juga secara terus menerus diadakan, mengikuti perilaku pembayaran pajak. Selalu dicari keseimbangan baru yang menghasilkan pungutan pajak secara optimal. Ambillah contoh pajak kendaraan. Pada tahun 1966 pajak kendaraan pada saat itu sungguh immoral, istilah itulah yang saya pakai saat ini. Pada waktu itu pajak tertinggi untuk kendaraan adalah Rp. 72.000,- {uang lama) per tahun, atau Rp. 72 - (uang baru). (15) Karena rendahnya tarif orang cenderung untuk skeptis terhadap pembayaran pajak. Aparatur enggan untuk meningkatkan tertib pungutan pajak serta administrasi, karena tidak memadai. Menyadari kelemahan sistim perpajakan ini, perombakan diadakan dan disesuaikan dengan kebijaksanaan pembangunan secara umum. Kendati demikian konsep-konsep Sumbangan Wajib Pemeliharaan Pembangunan Pra sarana Daerah (SWP30) yang sudah lama disiapkan tetapi dibekukan karena kondisi sosial, ekonomi dan politik saat itu diungkapkan kembali. Namun sejak itu berturut-turut pajak-pajak lain dikembangkan juga dengan menggunakan azas yang sama, yakni azas penetapan oleh Pemerintah menjadi azas perhitungan oleh para wajib pajak sendiri.

Dalam pada itu status aparatur perpajakan ditingkatkan. Dari satu unit kecil di lingkungan Direktorat Keuangan, menjadi Bagian dan kemudian menjadi Dinas yang berdiri sendiri. Dengan demikian perangkat itu mempunyai kelonggaran untuk mengembangkan kepegawaian, mengadakan hubungan-hubungan dengan instansi luar dan mempunyai anggaran sendiri untuk kepentingan pengembangannya.

Sampai dengan akhir PELITA Satu masalah kekurangan tenaga untuk pemungutan dan administrasi perpajakan di Jakarta merupakan faktor yang paling menghambat. Pengembangan kecakapan ini tidak bisa serta merta diadakan, perlu waktu dan penyesuaian. Pengembangan tarif, sistim dan administrasi pajak, diadakan berlandaskan pada hasil-hasil study perbandingan yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pajak di berbagai negara Asia. Ia mengembangkan berbagai-bagai ukuran yang kemudian dijadikan pedoman untuk menyesuaikan tarif perpajakan. (16)

Demikianlah maka sumber-sumber utama pendapatan daerah berupa pajak tontonan, pajak pembangunan I, SWP3. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Ireda atau Ipeda dikembangkan atas dasar azas yang telah diutarakan di atas. Dengan perkembangan keadaan, penyempurnaan sistim dan administrasi pajak ini terus menerus pula saya adakan, kesulitan bimyak saya hadapi, karena beberapa di antara kewenangan penertiban ini sebenarnya merupakan kompetensi pemerintah pusat.

Ambillah satu contoh. Pajak-pajak seperti Bea Balik Nama Tanah, misalnya akan merupakan sumber potensil di kota. Tetapi sampai saat ini belum digarap sebagaimana mestinya, karena pajak tersebut dianggap sebagai wewenang Pemerintah Pusat untuk memungut.

Pembaharuan di Lapangan Perpajakan: Seperti telah diutarakan, situasi perpaja kan di Jakarta tahun 1966 sungguh sangat menyedihkan. Demikian pula keadaan aparat perpajakan pada waktu itu sangat lemah; baik dari sudut jumfah dan mutu personalia maupun sarana perlengkapan administratif. Di lain pihak terdapat peraturan-peraturan perpajakan yang sama sekali tidak sesuai lagi dengan keadaan, niat dan kesadaran wajib pajak yang rendah sekali, serta kemampuan fiskus yang menurun.

Menghadapi tantangan demikian ini, saya dengan penuh kesungguhan dan secara sistimatis sejak tahun pajak 1966, mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Pembaharuan itu meliputi penyesuaian-penyesuaian sistim pemungutan pajak dan penyesuaian tingkat tarip-tarip pajak dengan perkembangan inflasi dan kemampuan wajib pajak. Langkah-langkah ini diambil serentak dengan usaha meningkatkan kemampuan aparatur perpajakan. Kursus-kursus peningkatan keterampilan dikembangkan. Saya juga mengirimkan pegawai-pegawai pajak untuk dididik pada lembaga-lembaga pendidikan perpajakan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat.

Menyadari keterbatasan kemampuan aparat pada waktu itu, saya usahakan pula menyesuaikan sistim perpajakan dengan penggeseran kewajiban-kewajiban, tata administratip dari aparat perpajakan kepada wajib pajak sendiri. Kebijaksanaan ini membantu mempercepat pemasukan pajak-pajak Daerah. Satu hal yang kiranya perlu dicatat adalah perlunya dikembangkan kemampuan untuk melihat kesempatan yang positif untuk merubah keadaan yang kritis itu.

Pada waktu itu, sambil berjalan segera pula dilaksanakan perbaikan susunan organisasi aparat perpajakan dan ditetapkan tugas-tugas pokok serta tujuannya. Dalam periode pemerintahan saya telah diadakan reorganisasi Bagian Pajak menjadi Urusan pada tahun 1966 dan ditingkatkan lagi menjadi Dinas Pajak dan Pendapatan Daerah pada tahun 1968. (17)

Tugas-tugas pokok yang merupakan tujuan daripada Dinas Pajak DKI Jakarta adalah sebagai berikut: Mengatur pengenaan pajak daerah dengan sebaik-baiknya; Memungut dan memasukkan uang pajak daerah dengan sebaik-baiknya; Mengurus dan menyelesaikan sengketa pajak daerah dengan sebaik-baiknya; Merencanakan peraturan-peraturan pajak daerah.

Untuk mencapai tujuan tugas-tugas pokok tersebut di atas, maka dibentuklah "susunan dan bentuk organisasi" Dinas Pajak DKI Jakarta yang baru. (18)

Pelaksanaan dekonsentrasi pemungutan pajak, kepada unit-unit pelaksana, yang telah dimulai pada tahun 1964 dikembangkan pelimpahannya ke Suku-suku Dinas di tingkat Wilayah Kota pada tahun 1967. Usaha ini disertai pula dengan pembinaan aparat melalui pelaksanaan program pendidikan dan latihan pegawaipegawai. Kegiatan ini terutama ditunjang oleh fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Departemen Keuangan.

Kemudian melalui kerjasama dengan berbagai instansi yang mempunyai hubungan dengan perpajakan, pada tahun 1966 komponen pajak daerah sebagai sumber penerimaan daerah untuk DKI Jakarta telah menjadi sumber-sumber keuangan yang utama di antara sumber-sumber penerimaan lainnya. Bahkan untuk tahun-tahun berikutnya realisasi penerimaan senantiasa melampaui target yang ditetapkan. (19)

Hasil-hasil yang di capai dalam proses pembangunan dan pelayanan masyarakat telah memberikan pengaruh kepada wajib-wajib pajak. Saya buktikan dengan nyata bahwa kewajiban mereka untuk membayar pajak diimbangi dan dikembalikan dengan perbaikan yang nyata dalam pelayanan. Oleh karena itu rehabilitasi dan pembangunan jalan-jalan, sekolah-sekolah dan pembangunan fisik lainnya, kini banyak menempati prioritas utama yang merangsang wajib pajak melunasi hutang pajaknya sebelum jatuh waktunya.

Usaha-usaha rehabilitasi dan pembangunan itu, telah pula menciptakan iklim yang mendorong meluasnya obyek pajak. Jumlah bioskop meningkat dari 33 buah pada tahun 1966 menjadi 125 buah pada tahun 1976. Pertambahan ini dikarenakan rehabilitasi bioskop-bioskop yang sudah ditutup maupun pembangunan-pembangunan baru. Peningkatan jumlah bioskop dan tempat-tempat hiburan lainnya, telah menambah pula jumlah pajak tontonan.

Meningkatnya jumlah kendaraan-kendaraan bermotor baru menambah penerimaan SWP3D dan BBN. Berkembangnya usaha perhotelan dan restoran yang bertaraf internasional, juga menambah penerimaan pajak pembangunan I. Meningkatkan pemasukan pajak yang penting artinya seperti SWP3D & BBN ini tidak lepas dari pengembangan kerjasama dengan instansi lain yang erat hubungannya dengan masalah kendaraan bermotor.

Kerjasama dengan instansi-instansi yang mengurusi kendaraan bermotor seperti Direktorat Bea Cukai Departemen Keuangan, Departemen Luar Negeri dan terutama sekali dengan Kepolisian saya kembangkan dan lembagakan.

Dalam pada itu, untuk mempermudah aparat pajak melaksanakan tugasnya sehingga pelayanan pada wajib pajak lebih cepat, saya sempurnakan cara penyusunan tabel-tabel nilai jual kendaraan bermotor menurut jenis, merek dan tahunnya selengkap mungkin. Kesesuaian angka perpajakan selalu saya amati dengan cara saling mencocokkan angka-angka antara Bendahari Kota, Dinas Pajak dan Kepolisian terhadap pelunasan BBN, sehingga usaha-usaha pemalsuan BBN mudah diketahui.

Intensifikasi dan Ekstensifikasi Sumber Pembiayaan: Intensifikasi perpajakan pada permulaannya mengalami kesukaran terutama dalam bidang administrasi dan pelaksanaannya. Kesukaran-kesukaran itu dapat diatasi dengan mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan serta dengan penerangan-peneranan yang intensif. Harus diakui bahwa iklim perekonomian yang belum baik pada waktu itu telah membatasi usaha-usaha intensifikasi maupun ektensifikasi sumber-sumber keuangan daerah yang berupa pajak-pajak, retribusi dan lain-lain. Menghadapi masalah ini langkah pertama yang saya tempuh ialah mengamati secara seksama seluk-beluk persoalan ini lewat pembantu Panitia Penggali Sumber-sumber Keuangan. (20)

Kemampuan Pemerintah DKI Jakarta dalam usaha menggali sumber-sumber dana masih belum seimbang dengan jumlah kebutuhan pembiayaan yang diperlukan. Khususnya dalam pemeliharaan sarana-sarana kota yang sudah ada, serta pembangunan sekolahsekolah dasar yang pada waktu itu sangat terasa kekurangannya.

(14) Kerjasama dengan Polantas untuk memperoleh data wajib pajak kendaraan bermotor, melakukan penindakan terhadap penunggak pajak bagi Pajak Kendaraan Bermotor; Kerjasama dengan bea cukai dan Sekneg untuk memperoleh data lengkap tentang kendaraan bermotor yang diimpor; Dengan Departemen Keuangan dalam melakukan penyesuaian tarif, bimbingan tentang tertib perpajakan dan sebagainya.
(15) Lihat Peraturan Daerah Kotapraja Jakarta Raya untuk menetap dan memungut Pajak Kendaraan dan Alat Pengangkutan; Penetapan Dewan Perwakilan rakyat Daerah Peralihan Kotapraja Jakarta Raya; Lembaran Daerah No. 23 Tahun 1959 tanggal 14 Agustus 1957.
(16) Lihat Arsyad Siagian, Pajak Daerah sebagai sumber Keuangan Daerah. Suatu Perbandingan Tokyo, Manila, Bangkok, DKI Jakarta, Dinas Pajak & Pendapatan, 1969.
Arsyad Siagian. Prinsip Perpajakan Daerah Organisasi dan Administrasi serta masalah yang ada di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta, Dinas Pajak dan Pendapatan, 1970.
(17) Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 3 Desember 1968 No.lb.3/2/48/68 (Lembaran Daerah No. 82 Tahun 1968) juncto Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 22 Juni 1966 No.8.6/6/52/1966 tentang perubahan struktur Organisasi Sekretariat Daerah Khusus Ibukota Jakarta (LD. No. 6 Tahun 1966).
(18) Terakhir sesuai dengan pengarahan Dep. Dalam Negeri, susunan organisasi ini diatur kernbali dengan SK Gubernur DKI Jakarta tanggal 1 Juli 1976 No. B. VII-5851/a/1/1976 tentang Susunan Organisasi Dinas Pajak DKI Jakarta.
(19) Lihat laporan Dinas Pajak dan Pendapatan DKI Jakarta tahun 1974/1975.
(20) SK. Gubernur tentang Pembentukan peraturan penggali Sumber-sumber Keuangan Daerah.
Lihat: Himpunan Peraturah Perpajakan/Retribusi DKI Jakarta; Proyek Penelitian dan inventarisasi Hukum Pemerintah DKI Jakarta. Jakarta, Biro V, 1975.

Sumber:
Ali Sadikin. "Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Penggunaan Dana Bagi Pembiayaan Daerah" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.) hlm. 345-351.