Monday, September 17, 2012

Gita Jaya 4 : Kerjasama Dalam dan Luar Negeri


Pada bulan April dan Mei 1967 Menteri Dalam Negeri telah mengadakan peninjauan wilayah di seluruh Jawa. Peninjauan ini diikuti pula oleh para Gubernur, serta Pimpinan DPRD se Jawa. Maksud inspeksi ini adalah terutama untuk melihat perkembangan dan mengungkapkan problematik-problematik wilayah secara on the spot, khususnya mengenai daerah pedesaan. Dalam pengamatan itu terbukti bahwa pada hakekatnya pembinaan pemerintahan dalam negeri, tidak dapat dilaksanakan melalui pemecahan secara terpisah-pisah yakni antara pembinaan kehidupan pedesaan, kabupaten dan kotamadya. Oleh karena dalam kenyataan, antara satu dengan lainnya terdapat ikatan yang erat dan saling jalin-menjalin. Dengan pertimbangan itu, terutama dalam fase konsolidasi pelaksanaan program Kabinet Ampera, khususnya bidang Dalam Negeri, yang menekankan perlunya usaha untuk meningkatkan pendayagunaan aparatur pemerintahan daerah - maka seharusnya pembinaan kerjasama antar kotapraja-kotapraja seluruh Indonesia perlu diintensifkan.

Sesuai dengan maksud tersebut maka pada kesempatan peninjauan Menteri Dalam Negeri ke DKI Jakarta pada 12 Mei 1967, antara Gubernur Jawa Timur, Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Jawa Barat dan Gubernur DKI Jakarta serta para Wali Kota seluruh Jawa telah tercapai kata sepakat untuk mengaktifkan kembali Badan Kerja Sama Antar Kotapraja Seluruh Indonesia (BKS-AKSI). Pengaktifan kembali organisasi ini, penting artinya bagi kelancaran pelaksanaan tahap konsoridasi dan menghadapi tahap-tahap selanjutnya dari program Departemen Dalam Negeri, khususnya dalam pembinaan perkotaan.

Kelanjutan daripada itu, pada tanggal 10-15 Nopember 1967 di Bandung diselenggarakan Musyawarah Antar Kotapraja Seluruh Indonesia (MAKSI) ke III. Dalam musyawarah itu telah dihasilkan kata sepakat mengenai kerjasama antara kotapraja seluruh Indonesia tersebut. Dan telah disepakati pula mengenai isi dan pembinaan kerjasama itu.

Dalam Anggaran Dasar BKS-AKSI Gubernur DKI Jakarta ditetapkan secara ex-officio sebagai ketua organisasi tersebut. Hasil nyata dari daya upaya yang telah ditempuh BKS-AKSI selama ini terutama dapat dicerminkan dalam bentuk melembaganya forum-forum konsultatif yang secara periodik, terarah dan intensif selalu diadakan. Dalam forum-forum itu, tidak hanya dibuka kesempatan untuk bertukar pendapat dan informasi serta pengembangan pengetahuan tentang masalah-masalah perkotaan. Tetapi juga diikuti dengan saksama dan penuh perhatian kebijaksanaan dan konsepsi yang dikembangkan oleh instansi-instansi pemerintah. tingkat nasional. Dengan demikian melalui forum itu telah dapat dijembatani bermacam-macam kepentingan pembinaan dan pengembangan pemerintahan kota di satu pihak, dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang sedang atau akan digariskan oleh pemerintah pusat, khususnya yang menyangkut masalah perkotaan di pihak lain.

Lembaga konsultatif tersebut dalam perkembangannya selama ini, telah dapat memperluas jangkauan dan medan sentuhnya pada kalangan lembaga-lembaga penelitian, perguruan tinggi, ilmiawan dan cendekiawan dari berbagai disiplin. Pada rangkaian kegiatan BKS-AKSI akhir-akhir ini telah dapat dirangsang partisipasi dan sumbangan piki ran dari kalangan tersebut, dalam pengembangan informasi dan konsepsi-konsepsi dasar tentang pengelolaan dan pembinaan kota-kota di Indonesia. Dalam rangkaian itu pula, BKS-AKSI telah menerbitkan majalah yang bernama Warta BKS-AKSI yang kini sudah menginjak tahun penerbitan ke VII.

Hasil nyata lainnya ialah, kalau sebelumnya BKS-AKSI hanyalah merupakan suatu badan kontak yang bersifat koordinatif dan konsultatif belaka, maka sejak tahun 1971 dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1971 telah ditetapkan sebagai suatu badan semi offisiil.

Berkat rangkaian kegiatan dan hasil-hasil yang telah dicapai BKS-AKSI sebagaimana diuraikan di atas, organisasi ini telah dikenal tidak hanya di forum nasional, tetapi juga dalam forum internasional. Sejak tanggal 4 Pebruari 1969 dalam rapat Dewan Eksekutif International Union of Local Authorities (IULA) yang diselenggarakan di Itali, BKS-AKSI telah diterima sebagai anggota lembaga internasional tersebut. Dan dalam konggresnya di Teheran tahun 1975 yang lalu, wakil BKS-AKSI mendapat kehormatan untuk dipilih sebagai salah seorang Dewan Pimpinan organisasi tersebut.

Pada saat ini anggota BKS-AKSI berjumlah 54 kotamadya seluruh Indonesia. Selain daripada itu masih ada anggota-anggota luarbiasa, seperti misalnya Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dan sebagainya. Perlu juga digarisbawahi di sini bahwa untuk masamasa mendatang, usaha-usaha BKS-AKSI nampaknya dituntut untuk memperluas jangkauan manfaat dari kegiatan-kegiatan konsultatif dan koordinatif itu. Hal ini perlu diusahakan dengan cara: ke dalam, memperluas forum konsultasi dan koordinasi dengan melibatkan lebih banyak staf teknis dan pelaksana-pelaksana di tiap kota. Sedang ke luar perlu diusahakan dikembangkannya keikutsertaan dan keterlibatan kalangan cendekiawan dari berbagai disiplin dalam merumuskan konsespsikonsepsi dasar bagi pemecahan masalah perkotaan di Indonesia ini.

JAKAM: Gagasan untuk mengadakan kerjasama antara Jakarta dan Amsterdam (JAKAM) diawali ketika Walikota Amsterdam Dr. Ivo Samkalden mengunjungi Jakarta pada tahun 1972. Sebenarnya usaha untuk mewujudkan kerjasama semacam ini telah dirintis sejak tahun 1964, sewaktu pejabat tinggi Walikota Amsterdam Dr. Koets (Wethouder) menjadi tamu pemerintah DKI Jakarta waktu itu. Dari hasil kunjungan Dr. Ivo Samkalden tersebut, telah diusulkan oleh pihak Gemeente Amsterdam untuk mengadakan suatu kerjasama antara dua kota tersebut. Namun sebelum melaksanakan maksud tersebut, perlu diadakan penjajagan pendahuluan mengenai topik-topik atau bidang-bidang yang dimasukkan dalam program bantuan kerjasama teknik luar negeri antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda. Langkah pertama dalam penjajagan itu adalah menyampaikan laporan pendahuluan mengenai maksud kepada Bappenas, Sekretariat Negara dan Departemen Luar Negeri. Sementara itu pihak Gemeente Amsterdam menyampaikan usulan kerjasama itu pada Dienst van International Techniek Hulp (DITH). Langkah berikutnya adalah kemudian antara Pemerintah R.I. dengan Pemerintah Belanda. Hasil dari langkah ini kedua pemerintah setuju untuk memasukkan Proyek kerjasama antara Jakarta dan Amsterdam yang disingkat JAKAM ke dalam Program Kerjasama Teknik. Luar Negeri Pemerintah R.I. dan Pemerintah Belanda. Program JAKAM sebesar Hfl. 1 juta ditetapkan untuk jangka waktu 5 tahun. DITH menentukan sasaran program JAKAM yaitu berupa proyek yang memenuhi syarat-syarat: Dapat menciptakan pertambahan kesempatan kerja warga kota Jakarta; Dan, program tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga dapat mencakup kehidupan manusiawi kedua warga kota Jakarta dan Amsterdam.

Sejak tahun 1973 hingga sekarang ini, telah dikirim 53 pejabat DKI Jakarta secara bertahap ke Amsterdam masing-masing selama 3 bulan dan 23 tenaga ahli Gemeente Amsterdam ke Jakarta selama 4-6 minggu guna mengadakan tukar menukar informasi dan pengalaman di berbagai bidang masalah perkotaan antara lain meliputi: Pembuatan jalan & Jembatan, Laboratorium Mekanika Tanah, Perencanaan Kota & Lalulintas, Pengawasan Pembangunan, Air Minum, Menejemen Perkotaan, Masalah Kebakaran dan Permusiuman.

Secara terperinci pertukaran itu dapat saya susun sebagai berikut :

Di samping itu di dalam Proyek Kerjasama JAKAM ini terdapat pula beberapa Proyek Khusus yang dianggap penting dan bermanfaat bagi Pemerintah DKI Jakarta, yaitu : Laboratorium Mekanika Tanah, Laboratorium Air Minum dan Sekolah Kebakaran. Dari ketiga Proyek Khusus tersebut telah dilaksanakan Proyek Sekolah Kebakaran dengan biaya meliputi Nl.f. 249.000. Diharapkan proyek ini tidak saja untuk mendidik pegawai Dinas Kebakaran DKI, akan tetapi juga pegawai Dinas Kebakaran dari seluruh propinsi di Indonesia.

Dari tahun ke tahun proyek JAKAM berkembang terus, pada waktu ini sedang diusahakan pengembangannya di bidang sosial dan perdagangan. Kesukaran yang dihadapi adalah terbatasnya penyediaan seluruh anggaran yang disalurkan melalui bantuan teknik Kerjasama Pemerintah R.I. dengan Pemerintah Belanda tersebut. pada bulan Maret 1977, Sekretaris Jenderal Amsterdam Promotion Foundation P.Y. Hondius telah mengadakan kunjungan ke Jakarta guna meneliti kemungkinan peningkatan kerjasama Proyek JAKAM di bidang perekonomian. Selama di Jakarta P.Y. Hondius telah mengadakan pembicaraan dengan pejabat DKI, KADI N Jaya dan Badan Pengembangan Ekspor Nasional dalam rangka mencari komoditi yang menarik bagi para pengusaha di Negeri Belanda.

Di samping proyek-proyek tehnis yang disebutkan di atas, pengiriman tenaga ahli Amsterdam dan pejabat Pemerintah DKI Jakarta telah mendorong Pemerintah DKI untuk mendptakan sistim administrasi pelayanan masyarakat antara lain:

a. Multi Project Planning;
b. Pengembangan proyek pemugaran tempat bersejarah;
c. Kearsipan Pemerintah DKI Jakarta;
d. Pengendalian lalu lintas;
e. Pengawasan Pembangunan Kota dan Tata Kota;
f. Jaringan Pertamanan;
g. Jaringan jalan;
h. Perpajakan;
i. informasi Menejemen Pemerintah DKI Jakarta;
j. Administrasi Kependudukan;
k. Pemugaran, khususnya di daerah Menteng.

Sementara itu program-program yang di luar jangkauan pemerintahan tingkat daerah, Amsterdam maupun Jakarta, tapi dipandang sangat penting juga, harus ditempuh melalui saluran Kerjasama Teknik Luar Negeri antara Pemerintah R.I. dengan Pemerintah Belanda. Program-program dimaksud antara lain: Sejak tiga tahun yang lalu telah dirintis melalui Dirjen Perhubungan Laut kerjasama teknik antara Pelabuhan Tanjung Priok dengan Pelabuhan Amsterdam. Melalui Dirjen Perhubungan Udara telah pula ditempuh kerjasama teknik antara Perum "Angkasa Pura" yang berwenang terhadap Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma dengan N.V. Luchthaven Schiphol dalam rangka meningkatkan pelayanan angkutan udara.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW)


Saya selalu menggarisbawahi pentingnya usaha memelihara dan mengembangkan hubungan yang erat antara Pemerintah dengan masyarakat, serta mendorong ke arah pengikut sertaan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, salah satu langkah pertama yang saya tempuh adalah menertibkan pengorganisasian organisasi masyarakat di tingkat terendah.(76) Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengimbangi tuntutan perkembangan masyarakat yang memerlukan penyempurnaan pelayanan.

Pengertian pelayanan dimaksud, termasuk pula kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat yang meliputi aspek-aspek sosial, ekonomi, fisik dan kebudayaan. Disamping itu, sekaligus saya tingkatkan hubungan yang harmonis antara Aparat Pemerintah Daerah dengan Organisasi Rukun Tetangga/Rukun Warga, sehingga dapat menghilangkan kesimpang-siuran dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

Papan Ketua RT di DKI Jakarta
sumber: dok. pribadi
Perlu saya jelaskan, bahwa status organisasi Rukun Tetangga/Rukun Warga, bukan merupakan aparatur administrasi pemerintahan, melainkan semata-mata sebagai organisasi masyarakat nonpolitik, dalam arti tidak dipengaruhi dan tidak menganut ideologi salah satu partai politik.

Untuk menjamin hubungan yang baik antara Pemerintah dan organisasi masyarakat dalam bentuk pembinaan dan bimbingan konstruktif, maka Pemerintah Daerah perlu mengakui serta melindungi dan mengarahkan kegiatan-kegiatan RT/RW. Untuk melaksanakan tugas-tugas ini, saya limpahkan kepada para Lurah dan Camat yang bersangkutan.

Sesuai dengan landasan organisasi masyarakat ini yang didasarkan atas kekeluargaan, maka sebutan Rukun Kampung perlu dirubah menurut jiwa dan maksud pengertian "Kekeluargaan". Perubahan ini juga didasarkan atas pertimbanganpertimbangan sebagai berikut.

* Penggunaan sebutan "Kampung" sudah tidak sesuai dengan susunan kota karena dapat memberikan asosiasi kepada masyarakat yang masih terbelakang.

* Penggunaan sebutan "Kampung" dapat menimbulkan kesukaran psikologis atau konkritnya kurang memberikan daya tarik bagi anggota masyarakat tertentu karena adanya anggapan mengenai tingkatan masyarakat yang inherent dengan sebutan "Kampung" itu.

* Penggunaan sebutan "Kampung" menunjukan unit Wilayah, padahal dasar keanggotaan Rukun Kampung adalah keluarga, bukan wilayah. Sehingga sebutan Rukun Warga lebih mendekati kepada fungsinya sebagai organisasi masyarakat yang beranggotakan keluarga (Warga).

Dengan demikian organisasi Rukun Tetangga/Rukun Warga dibentuk terutama atas dasar ikatan kewargaan/kekeluargaan dengan mengingat batas-batas teritorial. Sebagai organisasi yang diakui dan dilindungi oleh Pemerintah, Rukun Tetangga/Rukun Warga bernaung dibawah bimbingan dan pengawasan langsung dari Lurah dan dalam kegaitan sehari-hari dikoordinir oleh Pembantu Lurah, untuk memungkinkan terciptanya integrasi kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat. Untuk memudahkan pengurusan, pengawasan dan memperlancar pelayanan, saya perlu mengadakan pembatasan jumlah keanggotaan Rukun Tetangga dengan maksimum empat puluh Kepala Keluarga dan tiap Rukun Warga terdiri dari 15-20 Rukun Tetangga. Yang saya maksud dengan Kepala Keluarga adalah mereka yang telah-kawin atau belum, tetapi telah berdiri sendiri. Kenyataan sampai pada saat sekarang ini masih ada kesulitan terhadap Hotel-hotel/Losmen-losmen, Asrama-Asrama dipergunakan sebagai tempat tinggal tetap oleh keluarga-keluarga. Atas dasar pertimbangan ini, maka penghuni tetap di tempat-tempat tersebut dapat membentuk Rukun Tetangga sendiri.

Kebijaksanaan saya dalam mengorganisir, membina dan mengarahkan kegiatan RT/RW ternyata mendapat tanggapan baik dari masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan antara lain, dengan bantuan RT/RW strategi pengendalian administrasi kependudukan yang dilaksanakan oleh Pemerintah DKI. Demikian pula kegiatan swadaya masyarakat di bidang pembangunan, baik fisik, sosial maupun budaya, juga berkembang. Sehingga organisasi RT/RW benar-benar merupakan partner Pemerintah Daerah dalam rangka membantu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, saya berpendapat, bahwa kebijaksanaan pengaturan RT/RW yang telah saya lakukan selama ini sebaiknya tetap diteruskan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan sssial masyarakat.

(76) Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 23 Desember 1966 No. lb. 3/2/14/66 tentang Peraturan Dasar RT/RW di Jakarta.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Hubungan Masyarakat dan Media Masa


Didalam GBHN tidak ada disebut secara jelas-jelas mengenai soal penerangan. Hanya pada Bab V Penutup disebutkan bahwa:

"Berhasilnya usaha-usaha pembangunan pada akhirnya akan terganiung dari tanggapan, pengertian, kesadaran, keterlibatan dan partisipasi Rakyat Indonesia dalam menyambut tantangan pembangunan secara positif guna meratakan jalan bagi generasi yang akan datang untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila".(74)

Ini berarti, tanggapan, pengertian, kesadaran, keterlibatan dan partisipasi itu penting untuk ditimbulkan dan dikembangkan demi berhasilnya usaha-usaha pembangunan. Pentingnya kegiatan penerangan terletak dalam pra anggapan bahwa dia justru merupakan alat untuk membangkitkan tanggapan pengcrtian, kesadaran, keterlibatan dan partisipasi yang dimaksud. Oleh karena itu kegiatan penerangan, khususnya dalam kaitannya dengan pembangunan perlu mendapat perhatian yang cukup.

Sementara itu, dalam masalah penerangan ini, yang sangat menentukan adalah adanya kesatuan bahasa yang keluar dari berbagai aparat penerangan pemerintah yang terdapat didaerah ini. Kalau tidak, kegiatan penerangan itu justru dapat merugikan. Di tahun 1966 saya menemukan disatu pihak adanya Jawatan Penerangan DKI Jakarta yang merupakan Jawatan Vertikal dan dipihak lain ada press officer pada Kantor Gubernur, yang khusus melayani kepentingan Pemerintah Daerah. Dari pengalaman dilain-lain tempat, keadaan yang demikian dapat menimbulkan hal yang tidak sehat. Bisa timbul persaingan antar pejabat penerangan yang tidak menguntungkan. Oleh karena itu saya menghargai pendahulu saya, Gubernur Soemarno Sosroatmodjo, yang telah menyerahkan pekerjaan press officer kepada Kepala Japen DKI Jakarta (sekarang Kepala Kanwil DKI Jakarta). Dengan demikian Kepala Japen tersebut merangkap tugas sebagai press officer Kantor Gubernur, hingga diperoleh kepastian bahwa kedua aparat penerangan itu menggunakan bahasa yang satu.

Secara prinsipiil kebijaksanaan ini saya pegang teguh sampai sekarang dengan sekedar perubahan yang perlu. Sekarang press officer itu sudah berkembang menjadi Hubungan Masyarakat (HUMAS) DKI Jakarta, kepalanya sudah tidak lagi dijabat langsung oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Penerangan. Alasannya adalah teknis belaka. Pekerjaan hubungan masyarakat di Balaikota, seperti halnya tugas-tugas Kantor Wilayah Departemen Penerangan sendiri telah berkembang sedemikian rupa hingga jabatan Kepala Hubungan Masyarakat dan Kepala Kantor Wilayah tidak lagi dapat dirangkap oleh satu orang, tanpa merugikan kedua aparat tersebut. Kebijaksanaan yang sekarang saya tempuh adalah menempatkan seorang pejabat Kantor Wilayah dalam hal ini Kepala Bidang Pers, sebagai Kepala Kantor Hubungan Masyarakat, juga ditingkat Kota Kepala Kantor Departemen Penerangan Kota masih merangkap tugas-tugas Hubungan Masyarakat pada Kantor Walikota. Hal ini dapat dikerjakan karena luasnya tugas pada tingkat ini masih memungkinkan perangkapan tersebut.

Ada dua hal yang saya tekankan dalam soal Hubungan masyarakat ini. Pertama, bahwa Kepala Hubungan Masyarakat bertanggung jawab langsung kepada : Gubernur/Walikota. Kedua, bahwa Kepala Hubungan Masyarakat mempunyai fungsi koordinatif terhadap kegiatan Hubungan Masyarakat baik pada tingkat DKI Jakarta maupun pada tingkat Walikota. Dengan kebijaksanaan ini tugas Hubungan Masyarakat sebagai juru bicara Gubernur/Walikota bisa terlaksana dengan baik. Saya menganggap kegiatan penerangan belum cukup ditangani oleh aparat Kantor Wilayah Departemen Penerangan bila hanya berfungsi sebagai Humas saja. Sebab bidang penerangan mempunyai jangkauan kerja yang luas, seluas jangkauan pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, fungsi Hubungan Masyarakat masih terdapat pada berbagai unit kerja. Disamping itu, saya juga telah mengadakan badan-badan baru berbentuk proyek untuk lebih menyempurnakan pekerjaan dibidang penerangan, seperti Proyek Penerangan Hukum, Proyek Radio Forum, dan lain-lain. Ini adalah hal baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi dan sebagai hal yang baru jelas menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Orang terutama menjadi khawatir apakah kebijaksanaan ini tidak bertentangan dengan keharusan untuk menyatu bahasakan semua aparat penerangan. Jawaban saya adalah bahwa kesatuan bahasa itu dijamin dengan menempatkan unsur Kantor Wilayah Departemen Penerangan dalam kepengurusan proyek yang bersangkutan. Selain dari itu, dengan mengadakan proyek-proyek itu kegiatan penerangan dapat lebih mudah. memperoleh bantuan personil dan materiil dari luar, yang tidak atau kurang dimiliki oleh Kantor Wilayah Departemen Penerangan sendiri.

Dalam bidang penggunaan media kebijaksanaan yang saya tempuh, adalah memanfaat kan media yang ada, baik yang modern dan yang tradisionil. Media massa modern seperti media tercetak maupum media elektronik jelas harus dimanfaatkan, sesuai dengan kondisi kehidupan dikota besar. Saya beranggapan bahwa di Jakarta media masa modern dapat mencapai kalangan luas baik para pemimpin maupun lapisan lainnya didalam masyarakat. Oleh karena itu pembinaan kerjasama dengan media massa, terutama pers merupakan perkara yang teramat penting.

Pembinaan kerjasama ini jangan sekali-kali diartikan sebagai usaha untuk menjadikan pers itu alat dari Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah. Pembinaan kerjasama dimaksud untuk membantu tercapainya pers yang sehat. yang disatu pihak bebas, dan dipihak lain bertanggung jawab.(75) Untuk itu maka saya tempuh pola kebijaksanaan sebagai berikut. Yang pertama saya berusaha agar para wartawan yang menulis tentang DKI Jakarta menjadi spesialis tentang masalah-masalah Jakarta itu sendiri dan masalah-masalah perkotaan pada umumnya. Untuk itu, saya mencoba mendidik mereka, misalnya melalui kursus-kursus dan malahan saya pernah mengirimkan dua rombongan wartawan keluar negeri untuk studi perbandingan. Selain dari itu, saya juga berusaha supaya para wartawan yang menulis tentang Jakarta tidak sebentar-sebentar diganti. Sebab dengan cara ini tidak mungkin mereka menjadi spesialis yang saya maksudkan.

Saya berpendapat seorang wartawan sedikitnya harus berdinas 2 tahun dalam merangkum berita dari Balaikota untuk dapat mencapai tujuan diatas. Dalam hubungan ini, para Pemimpin Redaksi juga tidak saya lupa kan. Kontak dengan mereka saya pelihara melalui pertemuan, baik dalam rombongan maupun sendiri-sendiri. Disamping itu mempererat silaturahmi, pertemuan itu merupakan tempat untuk saling memberikan informasi dan koreksi antara Pers dan Pemerintah Daerah.

Dengan cara demikian, pers dapat dibantu untuk menjalankan profesinya secara benar. Tulisannya akan didasari pengetahuan, baik tulisan itu menyangkut fakta, interpretasi maupun opini. Dengan demikian tulisan-tulisan tersebut juga akan cukup berbobot sebagai bahan bacaan masyarakat untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah Daerah. Itulah pola kebijaksanaan saya mengenai pers yang juga berlaku bagi media massa modern lainnya yakni TV, Radio dan Film; sudah barang tentu dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu.

Sementara itu untuk membantu lingkungan-lingkungan di perkampungan dan pedesaan yang sedang membangun, masih diperlukan media yang pesan-pesannya sudah disesuaikan dengan keperluan pembangunan setempat. Dalam hubungan ini media tradisionil berupa komunikasi tatap muka dan media yang berbentuk pertunjukan rakyat saya anggap yang paling cocok. Forum komunikasi tatap muka saya nilai cukup penting, karena memberikan kesempatan berdialog antara Pemerintah dan warga kota. Dialog semacam ini sangat perlu untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan dilingkungan-lingkungan kecil. Dalam hubungan ini juru-juru penerangan pada tingkat kecamatan mempunyai andil yang pent ing. Saya merasa gembira dapat memotovisir mereka sejak tahun 1976, hingga dengan demikian volume kerja mereka dapat ditingkatkan.

Mengenai pertunjukan tradisionil saya mencatat bahwa penggunaannya untuk kepentingan penerangan masih terbatas. Tetapi saya melihat potensi yang besar dari pertunjukan rakyat setempat untuk ikut mendukung kegiatan pembangunan di kecamatan dan kelurahan. Pertunjukan tradisionil ini, disamping dapat memberikan informasi secara masal, sekaligus juga mampu membawakan hiburan yang pasti diperlukan oleh rakyat banyak, apalagi dalam situasi kehidupan dikota Jakarta. Disamping itu media massa modern dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan dilingkungan kecil. Film, seperti halnya dengan pertunjukan rakyat, mampu membawakan informasi dan hiburan secara massal. Kekurangannya adalah bahwa pesan dari film tidak se lalu cocok dengan lingkungan. Hal ini tidak hanya yang menyangkut film-film hiburan tetapi juga film dokumenter produksi didalam negeri. Oleh karena itu di Jakarta pertunjukan-pertunjukan film harus dibarengi dengan penjelasan lisan seperlunya supaya serasi dengan kebutuhan setempat. Untuk keperluan pertunjukan film ini sejak Desember 1967 saya telah menyediakan sejumlah 10 mobile units tambahan dan biaya untuk pengadaan dan sewa film. Sementara itu saya berpendapat bahwa pertunjukan film keliling yang diselenggarakan pihak swasta kurang tepat untuk lingkungan-lingkungan kecil. Karena mereka akan menghadapi kesukaran untuk menyesuaikan pesan-pesan yang dibawakan oleh film dengan tambahan pesan-pesan yang dimaksud diatas.

Radio juga dimanfaatkan ddengan sebaik-baiknya untuk mendukung pembangunan setempat dengan cara "memasukkan perkampungan dan desa kedalam pemberitaan radio", baik Radio milik Pemerintah maupun radio siaran milik swasta. Disamping itu siaran radio juga dimanfaatkan untuk mendidik rakyat dilingkungan kelurahan untuk memecahkan persoalan secara demokratis melalui forum-forum diskusi dalam rangka Radio Forum yang telah dikemukakan terdahulu. Radio Forum di Jakarta telah dimulai sejak 1969, dan merupakan cara penggunaan siaran yang sebelumnya tidak pernah digunakan. Selain dari siaran-siaran tersebut, perlu disebut penggunaan siaran pendidikan untuk membantu anak-anak putus sekolah diperkampungan dan pedesaan. Siaran ini dilakukan bekerjasama dengan Radio Arief Rahman Hakim. Sedangkan siaran khusus untuk mahasiswa dilakukan dengan bekerjasama dengan Radio Universitas Tarumanegara.

(74) Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR-Fll No. IV/MPR/73) tanggal 23 Maret 1973 Bab. V Penutup.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP)


Sebagai salah satu strategi pembangunan masyarakat desa, Departemen Dalam Negeri telah mengenalkan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP).(67) Konsep ini dapat dianggap sebagai pendekatan untuk mempercepat tercapainya suatu bentuk Kelurahan yang berswasembada. UDKP meliputi suatu wilayah Kecamatan, yang mempunyai potensi sosial dan ekonomi yang cukup dan memungkinkan untuk dikembangkan, serta berarti menunjang pengembangan desa-desa didalamnya kearah desa yang berswasembada. Proses pengembangan UDKP ini ditempuh dengan melalui sinkronisasi dan keserasian dalam penyusunan program dan kegiatan operasionil dari berbagai kegiatan sektoral di Kelurahan-kelurahan dalam wilayah tersebut.

Sekali lagi saya menilai untuk pelaksanaan konsep UDKP di Jakarta, perlu diadakan penyesuaian dengan kondisi ibukota. Karena sebagai kota metropolitan, Jakarta merupakan unit kesatuan wilayah pembangunan yang menyeluruh dan Kelurahan-kelurahan di Jakarta sekarang merupakan wilayah administrasi yang mempunyai penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Kecamatan di Jakarta bukan merupakan satu unit wilayah kesatuan ekonomi dan sosial, yang dipandang dari segi wilayah pembangunan dapat dikembangkan secara berdiri sendiri-sendiri. Oleh karena itu, sistim UDKP diwilayah Jakarta menitik beratkan pada peningkatan koordinasi penyusunan dan pelaksanaan program antar sektoral yang berlokasi di Kecamatan yang ditunjuk sebagai lokasi Pilot Proyek.

Untuk Kelurahan-kelurahan baru akibat perluasan wilayah yang terdiri dari 11 Kelurahan, belum disertakan dalam penilaian tersebut. Wilayah ini masih dalam tingkat penyesuaian dan penerapan semua kebijaksanaan PMD Khusus di Jakarta Perkembangan Kelurahan-kelurahan ini tampak terutama pada kegiatan sosial melalui lembaga-lembaga masyarakat seperti LKPMDK, PKW/PK3A, Karang Taruna dan kelompok Diskusi Radio Forum. Sedangkan disektor ekonomi dan prasarana desa, pengembangannya terutama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan proyek MH Thamrin dan Inpres bantuan desa. Demikian juga dalam pelaksanaan pembangunan proyek Inpres yang lain seperti : SD, Puskesmas, Jamban Umum dan lain-lain, pengikut sertaan mereka disalurkan. Didalam Pelita II Tahun kedua (1975/1976) dalam rangka kegiatan pembinaan, telah diselenggarakan musyawarah kerja LKPMDK.(68) Musyawarah ini bertujuan untuk lebih memantapkan pengelolaan LKPMDK yang meliputi organisasi, kepengurusan administrasi dan sinkronisasi program. Musyawarah ini saya pandang sangat bermanfaat bagi pembi naan LKPMDK; Disamping untuk mengarahkan program kerja, juga mempunyai efek menyegarkan dan menggairahkan kegiatan para pengurus LKPMDK dengan unsur-unsur kelengkapannya seperti PKW/PK3A dan Karang Taruna.

Pendekatan pembangunan desa dengan konsep UDKP di DKI Jakarta di arahkan untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan program secara serasi antar instansi (sektoral) sepanjang menyangkut usaha pembangunan masyarakat desa. Disamping itu dengan konsep UDKP dimaksudkan untuk lebih memantapkan penguasaan tugas pembangunan yang diemban oleh instansi ditingkat Wilayah. Pendekatan ini sekaligus diarahkan untuk meningkatkan fungsi Walik ota dan Camat selaku Administrator Pembangunan.

Dalam PELITA I saya telah menetapkan 27 Kelurahan sebagai Pilot Proyek tersebar di 27 Kecamatan. Dengan berlakunya pendekatan UDKP yang meliputi wilayah satu Kecamatan, maka pada PELITA DUA tahun pertama 1974-1975 telah ditetapkan Kecamatan Kepulauan Seribu, Koja, Kramat Jati, Pasar Minggu dan Cengkareng sebagai wilayah UDKP. Adapun pengisian UDKP dalam tahun itu berupa kegiatan pendidikan/kursus pengaderan, pembangunan-pembangunan proyek seperti peternakan, kerajinan tangan dan lain-lain. Pada tahun kedua (1975/1976) diselenggarakan lokakarya UDKP di tingkat kota dan ditingkat Kecamatan yang telah ditetapkan sebagai UDKP untuk memantapkan program.(69)

Lokakarya ini telah diselenggarakan di 4 wilayah Kota kecuali Jakarta Pusat dan 5 wilayah Kecamatan yang telah ditetapkan se bagai UDKP. Dari hasil lokakarya tersebut, disimpulkan bahwa semua Suku Dinas dan Kantor Perwakilan dapat mengembangkan materi proyek dari Dinas-dinasnya masing-masing, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan didalam PELITA Daerah, baik yang bersifat rencana tahunan maupun rencana Lima Tahun (PELITA II). Sementara itu semua Suku Dinas dan Kantor Perwakilan menghasilkan rancangan program baru untuk tahun 1976-1977, yang akan dipertimbangkan untuk dibiayai dengan proyek bantuan desa (keserasian) sejauh tidak bertentangan dengan persyaratan penggunaan uang bantuan dimaksud, atau mungkin dapat dibiayai dari sumber Inpres-inpres yang lain. Dalam lokakarya itu, semua Suku Dinas dan Kantor Perwakilan berhasil menyusun program untuk tahun-tahun yang mendatang, dan selanjutnya mengusulkan pada Dinasnya masing-masing untuk dimasukkan dalam APBD yang akan datang.

Memang pelaksanaan yang seksama, pendekatan UDKP ini dapat membuat masing-masing aparat Pemerintah Wilayah/(Kepala Wilayah/Dinas) akan lebih menguasai permasalahan yang dihadapi didalam melaksanakan tugas pembangunan dan memantapkan kesatuan bahasa didalam pembangunan antar aparat pemerintah dan masyarakat, meningkatkan penyusunan program dan pengendalian operasionil dari aparat Pemerintah yang sinkron dan serasi, serta meningkatkan fungsi Walikota dan Camat sebagai Administrator Pembangunan.

Sejak PELITA Satu, Pemerintah Pusat telah memberi bantuan kepada desa dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pembangunan di wilayah masing-masing.(70) Bantuan desa dimaksud dikenal semua dengan proyek bantuan Rp. 100.000,-. Untuk pelaksanaan dan pemanfaatan secara optimal penggunaan bantuan itu, saya menggariskan kebijaksanaan alokasi yang rasionil.(71)

Pada prinsipnya pengalokasian bantuan dimaksud, diarahkan kepada Kelurahan-kelurahan pinggiran. Karena Kelurahan-kelurahan Kota telah mendapat bantuan dalam bentuk Proyek perbaikan Kampung M.H. Thamrin.(72)

Selanjutnya dalam tahun 1970/1971 disamping bantuan langsung, juga diberikan bantuan keserasian, sesuai dengan petunjuk Menteri Dalam Negeri. (73) Sasaran penggunaan kedua macam bantuan desa ini, ditujukan untuk memberikan perangsang bagi perkembangan swadaya masyarakat. Oleh karena itu dalam kegiatan Pembangunan Desa selalu saya gariskan agar mulai dari proses perencanaan sampai ke pelaksanaan selalu mengikut sertakan secara aktif peranan unsur LKPMDK.

(67) Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) Departemen Dalam Negeri 1976. Pengukuhannya berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. SJ~ 18/2/36 tanggal 29 April 1975 tentang Pengukuhan Unit Daerah Kerja Pembangunan.

(68) Surat Menteri Dalam Negeri No. SJ.18/2/42 tanggal 5 Mei 1975 tentang Musyawarah Kerja LKPMDK.

(69) Instruksi Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur seluruh Indonesia No. SJ.18/8/48 tanggal 20 Nopember 1974 tentang Lokakarya/Diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan.

(70) Keputusan Presiden No. 16/1969 tanggal 26 Pebruari 1969 tentang Peraturan Bantuan Berupa Subsidi kepada Desa.

(71) SK. Gubernur KDKI Jakarta tgl. 5 Mei 1969 No. lb. 3/2/14/1969 tentang Pengelolaan dan Penggunaan serta Pertanggungan Jawab Sumbangan Pemerintah sebesar Rp.100.000,- kepada setiap Desa/Kelurahan dalam wilayah DKI Jakarta.

(72) SK. Gubernur KDKI Jakarta tgl. 5 Mei 1969 No. lb. 9/1/25/1969 tentang Penggunaan Sumbangan Rp. 100.000,- tiap desa. dan tgl. 25 Juni 1969 No. lb. 9/1/39/69 tentang Kebijaksanaan Penyaluran Bantuan Desa di Wilayah DKI Jakarta.

(73) Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 31 Mei 1971 No. 11 Tahun 1971 tentang Pemberian Bantuan Kepadatan.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Radio Forum


Untuk menunjang program-program pembangunan masyarakat Desa, pada tahun 1969, saya bentuk proyek "Radio Forum."(66) Yang dimaksud dengan Radio Forum disini adalah pertemuan sekelompok anggota masyarakat ditingkat Kelurahan, untuk mendengarkan dan selanjutnya mendiskusikan permasalahan pembangunan masyarakat desa yang disampaikan melalui siaran radio. Radio Forum ini lebih lanjut bertujuan untuk memupuk dan mengembangkan pengertian, kesadaran dan tanggung jawab serta partisipasi setiap warga kota maupun masyarakat dalam rangka membantu pelaksanaan pembangunan, khususnya pembangunan masyarakat desa. Melalui Radio Forum diusahakan untuk meningkatkan, mendekatkan dan mempermudah komunikasi timbal balik antara Pemerintah, masyarakat dan warga kota. Program-programnya diarahkan untuk mendorong aparat Pemerintah dan masyarakat kearah cara berfikir dan bertindak secara secara rasionil, demokratis dan bertanggung jawab.

Siaran Radio Forum dilaksanakan atas dasar kerjasama antara Pemerintah Daerah dan RRI yang berbentuk suatu Team Pelaksana Siaran Radio Forum. Dalam pelaksanaan siaran tersebut, team ini mendapat bahan-bahan dari Staf Tehnis PMDK dan menyampaikan kepada Kelompok Diskusi yang telah ada di Kelurahan-kelurahan. Penyelenggaraan Siaran dan pemecahan permasalahan mengenai berbagai aspek pembangunan telah dilaksanakan sebanyak 10 kali. Disamping itu telah disiarkan pula melalui radio forum hasil wawancara dengan Lurah dan pengurus LKPMDK mengenai kegiatan masyarakat sebanyak 312 kali. Dalam PELITA Dua sampai dengan tahun kedua, telah berhasil di bentuk 83 kelompok diskusi yaitu 26 kelompok dalam tahun pertama (1974/1975), dan 57 kelompok dalam tahun kedua (1975/1976). Sehingga kelompok diskusi ini seluruhnya berjumlah 179 kelompok yang tersebar di Kelurahan-kelurahan. Diantara 83 kelompok diskusi tersebut telah berhasil mengadakan pemecahan permasalahan berbagai aspek pembangunan sebanyak 34 kali. Selain itu telah disiarkan melalui radio forum hasil wawancara dengan Lurah dan pengurus LKPMDK mengenai kegiatan swadaya masyarakat sebanyak 192 kali.

Lebih lanjut perlu dikemukakan bahwa dalam rangka penyiaran acara siaran radio forum ini, juga diikut sertakan berbagai instansi Pemerintah DKI Jakarta, seperti Dinas Kebersihan, Dinas Kesehatan, Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, Direktorat Koperasi, Dinas Pertamanan, Kantor Urusan Penduduk, Badan Amil Zakat Infaq dan Sadaqah (BAZIS), Dinas Pemakaman, Kantor Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), BKKBN dan lain-lain. Umumnya siaran disajikan dalam bentuk dialog ringan sesuai dengan urgensi masalah masing-masing bidang.

Tanggapan dari kelompok Diskusi Radio Forum terhadap siaran yang diterimanya disampaikan kepada Staf Tehnis PMDK melalui Lurah, Camat dan Walikota, Dalam pelaksanaan Siaran Radio Forum di Wilayah Kota, diikut sertakan 5 buah radio non RRI untuk program siaran ini, yaitu: Radio Cenderawasih untuk Jakarta Pusat, Radio Agustina Yunior untuk Jakarta Utara, Radio Lokawisesa untuk Jakarta Barat, Radio Suara Kebebasan untuk Jakarta Selatan, dan Radio Kayu Manis untuk Jakarta Timur.

(66) Untuk penjelasan lebih terperinci tentang Proyek Radio Forum ini lihat SK. Gubernur No. lb. 3/2/36/1969 tanggal 21 Mei 1969 perihal Penyelenggaraan Siaran Radio Forum atau Brosur Deppen.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Keluarga Berencana


Keluarga Berencana di Jakarta merupakan program pionir atau yang pertama kali dilancarkan di Indonesia. Pada bulan April 1967 saya telah memproklamirkan Jakarta sebagai pelaksana proyek perintis KB, mengingat kondisi obyektif yang dihadapi kota ini memungkinkan untuk itu. Bagi masyarakat Jakarta, saya memperoleh kesan bahwa pelaksanaan program KB bukan semata-mata merupakan masalah pelayanan teknis medis kepada masyarakat. Program ini lebih merupakan masalah perobahan sikap kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang masalah kependudukan umumnya dan Keluarga Berencana khususnya. Oleh karena itu, disamping usaha meningkatkan pelayanan teknis medis, perlu pula mengikut sertakan secara aktip penyuluhan dan motivasi oleh aparat pamong praja serta masyarakat itu sendiri. Dalam hubungan ini saya telah menggariskan kebijaksanaan, dan menegaskan pengikut sertaan para Kepala Wilayah dan organisasi-organisasi masyarakat, dalam pelaksanaan program KB.(65) Mereka bertugas memberi penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat mengenai maksud dan tujuan program KB, dan mencari serta membina kelestarian para akseptor.

Pada tahun pertama PELITA II pelaksanaan program KB lebih ditingkatkan lagi dengan mulai mengembangkan program pendidikan dan kependudukan.

Dalam rangka pencapaian target akseptor KB DKI Jakarta selama PELITA Dua sebesar 480.000 orang, dipandang sangat perlu pengikut sertaan masyarakat secara aktip dalam kegiatan ini. pada tahun 1975/1976 telah diadakan penilaian terhadap kegiatan Seksi KB LKPMDK di 10 Kecamatan. Adapun tujuan penilaian tersebut ialah untuk mendapatkan umpan balik serta meneliti dan memecahkan hambatan-hambatan yang dijumpai oleh seksi KB LKPMDK. Kesempatan itu dapat sekaligus digunakan untuk memberi bimbingan serta pengarahan langsung kepada petugas KB di Wilayah.

(65) Surat Keputusan Gubernur KDKI tgl. 4 Juni 1973 No. Cc. 4/1/1/1973 tentang Pengikut sertaan Kepala Wilayah dan Organisasi Masyarakat dalam pelaksanaan program PMD.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Pembangunan Masyarakat Desa (PMD)


Kelurahan-kelurahan di wilayah perkotaan maupun di pinggiran Jakarta sebagian besar berasal dari desa bekas tanah-tanah partikelir. Saat itu pemilik tanah atau tuan tanah mempunyai wewenang pemerintahan; antara lain kekuasaan menunjuk Lurah-lurah tanpa melalui proses pemilihan. Rakyat di wilayah Kelurahan di Jakarta sejak dulu tidak mempunyai pengalaman dan mengenal Lembaga-lembaga demokrasi seperti yang hidup di desa-desa di Jawa pada umumnya. Sebagian Kelurahan-kelurahan di pusat perkotaan, dibentuk dari Kampung-kampung (Wijk-wijk) yang dikepalai oleh Kepala Kampung (Wijk Meester) yang diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Jadl Kelurahan di Jakarta, baik yang dipinggiran maupun yang di kota mempunyai latar belakang sejarah yang hampir sama. Dalam pertumbuhan kemudian, Kelurahan-kelurahan dipinggiran mencerminkan ciriciri yang berbeda dengan Kelurahan yang di perkotaan. Sehingga pola pembinaan dan pembangunan masyarakat desa di Jakarta perlu mempedomani kenyataan itu.

Dari kacamata pemerintahan, pembangunan masyarakat desa saya artikan sebagai upaya peningkatan dan pembinaan kemampuan masyarakat untuk menolong diri sendiri; untuk kesejahteraannya, pergaulan sosialnya, dan semua aspek kehidupannya.

Pada tingkat pertama, program-program pembangunan masyarakat desa diarahkan untuk mengatur dan menyempurnakan struktur organisasi serta hubungan kerja antara Dinas dan Jawatan yang mempunyai kegiatan pembinaan masyarakat desa. Program tersebut sekaligus dimaksudkan untuk menertibkan dan mengarahkan berbagai lembaga yang beroperasi di Kelurahan-kelurahan pada saat itu. Seperti telah diutarakan di muka, saat itu terdapat Lembaga Sosial Desa, Pendidikan Masyarakat, Pembangunan Masyarakat Desa, Bimbingan Masyarakat Desa dan lain-lain yang melakukan kegiatan pembangunan masyarakat desa. Mereka masing-masing bergerak lepas sendiri-sendiri, sehingga mengakibatkan kesimpang-siuran dan terpecahnya potensi masyarakat.

Ketetapan MPRS No. XXVIII Tahun 1966 menegaskan akan perlunya penyederhanaan organisasi Pembangunan Masyarakat Desa di desa. Atas dasar itu, saya menggariskan langkah penyederhanaan dan mempadukan kegiatan pembangunan masyarakat desa di Jakarta dengan pembentukan Organisasi Pembangunan Masyarakat Desa Khusus Ibukota Jakarta.(61) Sejak saat itu, segala program dan kegiatan instansi-instansi pemerintah serta lembaga-lembaga masyarakat yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa dipadukan dalam satu wadah organisasi PMD Khusus (PMDK).

Ditingkat Daerah, Gubernur dibantu oleh Staf Tehnik PMDK yang anggotanya terd iri dari unsur-unsur Direktorat dan Dinas-dinas/Jawatan-jawatan. Mereka bertugas mengadakan perencanaan, penilaian dan pengawasan. Ditingkat Kota, Walikota dibantu oleh Staf Pelaksana Operasionil PMDK yang beranggotakan para Camat dan Kepala-kepala Suku Dinas/Jawatan. Tugasnya menyusun program, jadwal dan logistik, pengerahan tenaga, memberikan bimbingan teknis, mengadakan penilaian dan pengawasan. Mereka mempertanggung jawabkan semua kegiatan PMDK dalam wilayahnya kepada Gubernur melalui Staf Tehnik PMDK. Ditingkat Kelurahan; Lurah selaku Ketua dibantu oleh Lembaga Kerja Pembangunan Masyarakat Desa Khusus (LKPMDK) yang beranggotakan para Ketua Rukun Warga dan pemuka mawarakat, berkewajiban memimpin, mengkoordinasi dan mengawasi secara langsung kegiatan-kegiatan pembangunan masyarakat desa di Kelurahannya dan bertanggung jawab kepada Camat.

Gerakan pembangunan masyarakat desa pada azasnya mendasarkan kegiatan-kegiatannya pada potensi dan kemampuan Kelurahan dan masyarakat setempat. Gerakannya bersendikan prinsip-prinsip gotong-royong, toleransi dan musyawarah. Secara sektoral, kerangka pembinaan itu mempunyai segi-segi ekonomi, sosial dan budaya. Dibidang ekonomi, masyarakat dikembangkan rasa kepercayaan dan tanggung jawabnya kepada diri sendiri untuk menjadi manusia yang produktif serta mampu mengatur ekonomi rumah tangganya. Hal ini ditempuh dengan peningkatan kader kejuruan dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi serta potensi wilayah. Disamping itu, masyarakat diharapkan mempunyai kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap kehidupan keluarga yang sejahtera lahir dan batin. Pembinaannya ditempuh melalui pengembangan sikap yang menunjang pelaksanaan program keluarga berencana, program pendidikan masyarakat, Perpustakaan Masyarakat, Pendidikan Keluarga dan lain-lain. juga peningkatan pengetahuan gizi, kesehatan rakyat dan kebersihan rumah, halaman dan lingkungan dikembangkan. Sedangkan dibidang budaya, masyarakat diharapkan menjadi manusia beragama, berestetika dan beretika.(62) Usaha-usaha itu akan ditempuh melalui peningkatan kegiatan dakwah dan kesenian, pramuka dan lain-lain.

Disamping itu, gerakan pembangunan masyarakat desa diarahkan pula untuk mempengaruhi proses perobahan nilai yang berlaku dari pola kehidupan yang tradisionil statis kearah kehidupan yang rasionil dan dinamis. Untuk mempercepat tercapainya tahapan swasembada ini, maka diperlukan kegiatan-kegiatan pembinaan yang menunjang secara terus menerus dan intensif. Pembinaan dari Pemerintah Daerah ditempuh melalui proyek-proyek Keluarga Berencana, Pemberantasan Buta Hutuf (PBH), Perpustakaan Masyarakat, perkaderan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Radio Forum, pembentukan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP), pameran dan latihan serta pendidikan. Sedangkan usaha-usaha untuk meningkatkan fungsi LKPMDK dengan Lurah sebagai pimpinannya, ditempuh dengan mengadakan penilaian Kelurahan pada tiap-tiap menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan, melengkapi pengurus dengan pedoman kerja dan mengembangkan proses umpan balik dari pelaksanaan program PMD.

Lembaga Kerja Pembangunan Masyarakat Desa Khusus (LKPMDK) dibentuk dan berkedudukan disemua Kelurahan, dengan tugas-tugas pokok sebagai berikut:
- Menampung serta mengusahakan tersalurnya inisiatif yang hidup dan tumbuh dari kalangan masyarakat Kelurahan melalui musyawarah;
- Melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam hubungan dengan hasil-hasil musyawarah dimaksud;
- Melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat menunjang program pembangunan Pemerintah.

Adapun sasaran pokok pembidangan tugas meliputi aspek sosial, pembinaan mental, perekonomian rakyat serta pengembangan prasarana ditingkat kelurahan. Pedoman pengarahan kegiatan LKPMDK ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Namun karena kegiatannya meliputi bidang yang sangat luas, menyangkut segala segi kehidupan perlu diadakan penilaian dan pembinaan secara terus-menerus.

Untuk menunjang dan menumbuhkan gerakan pembangunan masyarakat desa di Jakarta, saya susun program umum pembangunan Masyarakat desa. Kemudian pelaksanaannya diperinci dalam bentuk proyek- proyek. Adapun hasil-hasil yang telah dicapai selama PELITA Satu dan tahun ke satu serta kedua PELITA II, oleh masing-masing proyek tersebut secara terperinci dapat diikuti dalam laporan tahunan Pembinaan Wilayah Pembangunan Masyarakat.(63)

Dengan berpedoman pada kebijaksanaan yang telah digariskan Menteri Dalam Negeri, penyelenggaraan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga di Jakarta saya integrasikan kedalam kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa Khusus (PMDK). Dalam pelaksanaan program ini sekaligus dikaitkan pembentukan Panti Keterampilan Wanita (PKW) serta Pembinaan Kegiatan Kesejahteraan Keluarga dan Anak (PK3A) yang merupakan rangkaian kegiatan dari LKPMDK.

Kegiatan kursus kesejahteraan keluarga bertujuan untuk meletakkan dasar tentang kesepuluh segi pembinaan kesejahteraan keluarga.(64) Penyelenggaraan pendidikan diadakan di tingkat DKI Jakarta, Walikota dan Kecamatan. Sedangkan pesertanya terdiri dari ibu-ibu anggota masyarakat, termasuk pejabat Pemerintah DKI Jakarta, Walikota dan. Kecamatan. Mereka ini kelak diharapkan dapat menjadi kader-kader PKW dan PK3A.

Panti Keterampilan Wanita merupakan wadah untuk memperdalam dan meningkatkan keterampilan praktis. Sedangkan PK3A merupakan wahana pengalaman keterampilan setelah mereka mengikuti kedua program yang terdahulu. Kegiatan PKW dan PK3A ini ditempatkan di Kelurahan-kelurahan dengan peserta ibu-ibu dari kalangan anggota masyarakat. Pembinaan teknis kegiatan kursus PKK dan PKW ditugaskan kepada Kantor Pendidikan Masyarakat. Sedangkan pembinaan kegiatan PK3A ditugaskan kepada Dinas Sosial serta Dinas-Dinas lain yang bersangkutan. Penyelenggaraan kursus kader PKK dimulai pada tahun ketiga PELITA Satu (1971-1972), telah menghasilkan sebanyak 26 unit ditingkat Kota dan Kecamatan, 177 unit ditingkat Kelurahan. Setiap unit diikuti lebih kurang 30 orang kader PKK.

Pada akhir tahun PELITA Satu diseluruh Kelurahan telah dibentuk organisasi PKW (Panti Keterampilan Wanita) dan PK3A (Pembinaan Kegiatan Kesejahteraan Keluarga dan Anak). Disamping itu untuk kelancaran dan keserasian koordinasi kegaitan PKW dan PK3A. telah diadakan penataran bersama bagi para Penilik Pendidikan Masyarakat, dan Penilik Dinas Sosial. Penataran ini dilanjutkan dengan kegiatan lokakarya antar para pengurus PKW dan PK3A se DKI Jakarta.

(61) TAP MPRS No. XXVIII Tahun 1966 tentang Kebijaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 25 Mei 1967 No. 782/A/ k/BKD/1967 tentang Organisasi Pembangunan Masyarakat Desa Khusus DKI Jakarta.

(62) Lihat Jakarta Gubernur. Bahan dan Laporan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rangka Rapat Kerja Pembangunan Deia Seluruh Indonesia pada tanggal 28-31 Juli 1975 di Medan. Jakarta, 1975 Hal. 3.

(63) Lihat : Jakarta Pembinaan Wilayah/Pembangunan Masyarakat. Cetakan ke 1, Jakarta 1973, Hal. 75-1 12.

(64) Instruksi Gubernur KDKI Jakarta No. Ab. 11/1/25/72 tanggal 9 Nopember 1972 tentang pelaksanaan Program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Kesepuluh Segi Kehidupan PKK itu adalah:
a. hubungan intern/antar keluarga;
b. membimbing/mengasuh anak dan keluarga;
c. makanan termasuk menghasilkan;
d. pakaian termasuk menghasilkan dan menggunakan;
e. perumahan;
f. Kesehatan jasmaniah dan rohaniah;
g. tatalaksana rumah tangga;
h. keuangan/ekonomi rumah tangga;
i. keamanan lahir batin;
j. perencanaan sehat.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Sunday, September 16, 2012

Gita Jaya 4 : Komputerisasi


Sebagai akibat perkembangan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, beban pekerjaan administratif semakin meningkat. Hal tersebut dirasa perlu diimbangi dengan sistirn pengolahan yang effisien dan tertib. Setelah menilai dengan seksama kebutuhan. tertib administrasi itu, saya mengambil keputusan untuk memodernisir administrasi Pemerintah DKI Jakarta dengan pemakaian alat pengolahan data secara elektronis atau komputer.

Pada hakekatnya, usaha komputerisasi ini mempunyai tujuan untuk dapat mengolah data dalam volume yang besar dengan waktu yang singkat, agar laporan-laporan dapat disajikan tepat. pada waktunya. Dalam pada itu, dengan komputerisasi saya ingin menertibkan sistim administrasi yang ada sekarang guna memudahkan pimpinan mengambil keputusan yang tepat. Sebab saya pikir sudah saatnya untuk memodernisasikan sistim administrasi Pemerintah DKI Jakarta menuju suatu pola kesatuan pengolahan informasi (Integrated Management Information System).

Kegiatan persiapan komputer itu dilakukan selama 3 tahun, yaitu dimulai tahun 1970 sampai dengan 1973. Selama masa persiapan tiga tahun itu, kegiatan-kegiatan persiapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
* Melakukan penelitian pendahuluan dan penyusunan program kerja.
* Menyiapkan dan mendidik tenaga-tenaga teknisi dengan mengutamakan pemberian kesempatan kepada pegawai yang sudah ada terlebih dahulu.
* Menyediakan lokasi dan peralatan-peralatan seperlunya.
* Melakukan latihan praktek bagi para petugas.
* Mengerjakan usaha-usaha persiapan pengumpulan data (input) terhadap kegiatan peragian air minum dan perpajakan.

Berita bahwa DKI sudah punya komputer sejak 1973, terdengar sampai ke pak Harto dan Bu Tien. Pak Harto memuji kehebatan Ali Sadikin dan keberanian Ali Sadikin dalam memodernisasi adminstrasi di Pemda DKI. Maka pak Harto mengutus bu Tien untuk meninjau instalasi IBM System 370 model 148 yang di pasang di gedung DKI di Jalan Merdeka Selatan. Pak Ali Sadikin sendiri turun tangan dan memberi penjelasan bahwa DKI paling maju di Asia Tenggara. Bu Tien memyatakan kekagumannya.
sumber: Gufron Sumariyono


Perlu saya jelaskan bahwa kegiatan komputerisasi tagihan langganan air minum dan perpajakan sebetulnya sudah dilaksanakan sebelum 1970, tetapi penggarapannya dilaksanakan IBM service Bureau. Saat itu PAM dan Dinas Pajak & Pendapatan DKI Jakarta hanya bertindak sebagai pemakai jasa (User). Jumlah biaya untuk komputerisasi air minum dan perpajakan yang dikeluarkan untuk IBM, setelah diperhitungkan sama besarnya dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan menyewa mesin komputer yang ditangani sendiri. Dengan dasar pertimbangan ini, Pemerintah Daerah berketetapan untuk mengerjakan sendiri komputerisasi dimaksud. Didalam melaksanakan penggarapan administrasi pemerintahan, secara keseluruhan ditentukan prioritas pelaksanaan komputerisasi yang diarahkan pada bidang-bidang:
* Yang menambah penerimaan Pemerintah Daerah, antara lain yang meliputi pajak-pajak, retribusi, Pengawasan pengeluaran keuangan dan proyek yang antara lain Project Control, pembukuan, administrasi bendahara kota;
* Pelayanan masyarakat (STNK, kependudukan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain).

Mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk investasi dan ekploitasi cukup besar, maka pengelolaannya dilaksanakan atas dasar organisasi usaha. Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, pelayanan komputer ini disamping diprioritaskan untuk menunjang kegiatan administrasi Pemerintah Daerah, juga memberikan pelayanan kepada instansi-instansi di luar Pemerintah Daerah. Strategi pelayanan semacam ini ternyata juga dilakukan oleh instansi-instansi Pemerintah lainnya yang memiliki peralatan komputer.

Sampai dengan tahun 1975/1976 telah dapat dikerjakan 15 jenis aplikasi kegiatan Pemerintah Daerah dengan komputer. Diharapkan untuk waktu-waktu yang akan datang akan dapat diusahakan peningkatan aplikasi untuk sektor-sektor kegiatan pemerintahan yang lain.
Komputer DKI ditahun 1974 – 1977 paling maju, paling hebat, paling modern di Asia Tenggara bahkan lebih modern dibanding di Korea Selatan dan Taiwan. Mereka mengirim orang2nya untuk belajar dari Jakarta. Dukungan IBM World Trade luar biasa. Ali Sadikin itu luar biasa. Beliau mau dan sangat ingin agar DKI Jakarta paling maju, menjadi pionir di IT untuk Government.
sumber: Gufron Sumariyono

Saya menilai komputerisasi administrasi di DKI Jakarta telah membantu meningkatkan pendapatan daerah dari tahun ke tahun. Karena kecepatan pelayanan dan penggarapan administrasi ternyata telah dapat meningkatkan pendapatan, baik dibidang perpajakan, retribusi dan sektor-sektor lainnya. juga membantu terwujudnya ketertiban dan kelancaran :administrasi. Misalnya dalam komputerisasi daftar gaji pegawai, tagihan dan administrasi perpajakan dan keuangan dan lain sebagainya. Saat ini sudah dapat dicapai tingkat pemanfaatan dan pengolahan hingga dapat menutup biaya investasi dan ekploitasi komputer. Keuntungan keuanganpun yang merupakan tambahan pendapatan daerah yang berasal dari hasil pelayanan komputer, mulai dapat diwujudkan.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

cerita komputerisasi ini dapat di simak di Proyek Komputerisasi DKI , IBM trip & Komputer DKI paling hebat se Asia Tenggara, ditahun 70-an milik pak Gufron Sumariyono.

Gita Jaya 4 : Administrasi Umum


Seperti telah saya kemukakan dimuka, tertib administrasi umum dan ketatausahaan yang dijumpai pada saat saya mulai menjabat Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta, mencerminkan adanya dualisme pengurusan. Administrasi Umum dan ketatausahaan yang diselenggarakan oleh Biro Pemerintahan Umum Pusat (UPU) di satu pihak, dan ada juga yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Otonom di lain pihak. Keadaan semacam ini menimbulkan hambatan-hambatan. Sehingga sangat sulit untuk melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap kegiatan-kegiatan Pemerintahan Daerah secara keseluruhan. Masing-masing pihak mempunyai sistim, pengurusan yang berbeda-beda. Baik dalam prosedur, arus dokumen, pencatatan pendistribusian, penyimpanan dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kearsipan. Untuk mewujudkan ketertiban, koordinasi serta kelancaran tugas-tugas pekerjaan, prioritas utama dalam mengatasi masalah ini saya lakukan secara strukturil dengan mengintegrasikan kedua aparat tersebut diatas dalam satu wadah pengelolaan.(52) Dalam struktur yang terintegrasi ini seluruh tanggung jawab penyelenggaraan administrasi umum berada disatu tangan yaitu Biro III/Administrasi. Tugas-tugas Biro III/Administrasi tersebut disamping penyelenggaraan administrasi umum, semula juga dibebani. tugas pokok lain yang meliputi pengelolaan perlengkapan kantor, urusan rumah tangga dan masalah-masalah lain dibidang tugas bantuan yang tidak tertampung dalam tugas-tugas lembaga staf (Biro-Biro) yang lain.

Pada tahun 1966 itu juga saya gariskan kebijaksanaan mengenai pedoman hubungan kerja antara para pejabat eksekutif Pemerintah DKI Jakarta, termasuk pedoman tata kerja penyelenggaraan administrasi umum. Pedoman itu selanjutnya ditljangkan dalam berbagai bentuk pembakuan Penyelenggaraan Surat-menyurat Pemerintah DKI Jakarta.(53) Berkembangnya kegiatan Pemerintahan Daerah dari tahun ke tahun mengakibatkan semakin meningkatnya kegiatan penyelenggaraan administrasi umum.

Karena kebutuhan akan kecepatan pelayanan serta terdesaknya waktu yang dibutuhkan, seringkali beberapa unit perangkat Sekretariat Daerah melakukan penyimpangan penyimpangan dari ketentuan pedoman kerja yang telah ditetapkan. Pada surat masuk, misalnya tidak selamanya dapat diikuti keharusan untuk melalui Biro III/Administrasi untuk mendapatkan nomor agenda masuk. Begitu pula pada surat-surat keluar, banyak konsep surat yang langsung dikeluarkan oleh Direktorat atau Biro yang bersangkutan. Akibatnya, masing-masing instansi mengembangkan sistim filing sendiri-sendiri yang tidak memperlihatkan adanya sistim yang terpadu secara keseluruhan. Bilamana arsip-arsip tersebut sudah tidak tertampung lagi oleh Direktorat dan Biro yang bersangkutan, akhirnya dikirimkan ke Biro III/Administrasi sebagai barang titipan.

Sub Bagian Penyimpanan dari Bagian Penerimaan, Arsip dan Ekspedisi Biro III/Administrasi sangat sulit untuk menangani arsip titipan ini, karena sistim filingnya tidak sama. Kalau ternyata kemudian instansi yang bersangkutan membutuhkan arsipnya, terpaksa kesulitan dihadapi oleh petugas arsip yang harus mencarinya. Dalam pada itu arus dan volume surat-surat makin meningkat, sehingga dibutuhkan kecepatan dan kecermatan dalam tugas pengelolaan kearsipan. Penyimpanan-penyimpanan seperti disebut diatas perlu segera diatasi.

Pada tahun 1972 saya lakukan penyempurnaan Organisasi Biro III/Administrasi.(54) Perubahan pokok dari penyempurnaan organisasi adalah penyederhanaan dan pemecahan tugas dari Biro yang bersangkutan, sebagai berikut:
* Menyelenggarakan persiapan dan penyusunan acara serta penyelenggaraan penerimaan tamu-tamu, baik tamu dalam negeri maupun luar negeri.;
* Mempersiapkan pelaksana penyelenggaraan Forum Rapat Eksekutif dan Forum Rapat Staf Koordinasi Sekwilda serta rapat-rapat yang dilakukan oleh unit perangkat Sekwilda.
* Mempersiapkan penyelenggaraan pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh Gubernur, Wakil Gubernur dan pertemuan antara Eksekutif dan Legislatif.
* Membantu mempersiapkan pengurusan perjalanan dinas Gubernur Kepala Daerah, Wakil Gubernur termasuk para pejabat eksekutif lainnya.
* Mengumpulkan, meneliti dan menyusun serta menyajikan bahan laporan yang dipersiapkan untuk laporan wilayah maupun laporan Pemerintah DKI Jakarta kepada Pemerintah Pusat.
* Membantu penyelenggaraan administrasi dalam rangka memperlancar tugas-tugas kegiatan Pemerintah Daerah yang menyangkut masalah : Penerimaan, penyaluran dan penyimpanan; Pengetikan, reproduksi dan penjilidan; Urusan khusus Sekwilda.

Walaupun perbaikan/penyempurnaan dibidang strukturil telah dilakukan, ternyata Biro tersebut masih belum dapat mengatasi dan mengendalikan secara efektif seluruh masalah kearsipan. Sistim sentralisasi atau satu pintu dalam pengelolaan arsip belum terlaksana. Hal disebabkan, karena pedoman kerja para pejabat. Eksekutif dan penyelenggaraan surat-menyurat yang telah diatur dengan Keputusan Gubernur tahun 1966 dan penyempurnaannya pada tahun 1969, ternyata tidak dapat dijadikan pedoman secara efektif. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pedoman kerja yang dimaksud sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan volume pekerjaan dari kegiatan Pemerintahan yang sangat cepat. Besarnya volume surat Pemerintah DKI Jakarta, yang masuk melalui Biro III/Administrasi rata-rata 1200 surat sehari, belum termasuk surat-surat yang langsung diterima oleh masing-masing unit. Untuk menata surat sedemikian besarnya itu sangat diperlukan prosedur maupun sistim filing yang mantap, serta personil yang terampil untuk melayaninya.

Menyadari hal tersebut, saya mengambil langkah mulai lagi dari tahap paling dasar untuk menanggulanginya. Pertama, saya adakan hubungan kerjasama dengan Lembaga Administrasi Negara dan Arsip Nasional RI (55) untuk menyelenggarakan penyempurnaan administrasi kearsipan itu. Disamping itu, untuk mendapatkan perbandingan sistim kearsipan di negara lain, saya manfaatkan Kerjasama Kota Jakarta dengan Amsterdam (JAKAM), saya datangkan seorang ahli kearsipan kota Amsterdam untuk memberikan pelayanan konsultasi. Selain itu, saya mengirimkan tenaga senior ke Amsterdam guna memperdalam pengetahuan di bidang Administrasi Kearsipan. Sebagai tindak lanjut dari kerjasama tersebut, Lembaga Administrasi Negara dan Arsip Nasional RI menyerahkan suatu konsep Pola Baru Kearsipan, sebagai jalan keluar dalam membina kearsipan yang lebih baik.(56) Dan untuk tugas-tugas penelitian dan penentuan Pola Baru Sistim Kearsipan yang sesuai dengan sistim Pemerintah DKI Jakarta, dibentuk Proyek Kearsipan Pemerintah DKI Jakarta.(57) Dengan demikian, pola kearsipan yang dirintis sekarang ini diharapkan dapat mengatasi masalah kearsipan di masa mendatang. Penelitian tersebut meliputi penentuan prosedur arus dokumen, pembakuan, jadwal retensi, penyusutan, klasifikasi dengan sistim UDC, peningkatan/modernisasi peralatan, kemungkinan penggunaan sistim komputerisasi dalam kearsipan.

Segi lain dari kearsipan yang telah mendapat perhatian saya, adalah keamanan dan kelestarian arsip. Untuk mengatasi masalah ini, telah saya kembangkan pula sistim penyimpanan arsip dalam bentuk microfilm. Untuk mengamankan arsip-arsip statis sebagai bukti sejarah, bahan penelitian dan pengembangan, telah pula dirintis pembentukan suatu pusat arsip statis Daerah.

(52) Keputusan Gubernur tanggal 22 Juni 1966 No. B.6/6/52/66 perihal Struktur Organisasi Sekretariat Pem. DKI Jakarta.

(53) Lihat SK Gubernur tanggal 7 Juni 1967 No. Aa. 4/1/5/1967 perihal penyelenggaraan surat-surat Pemerintah DKI Jakarta.

(54) Keputusan Gubernur KDH tanggal 11 Nopember 1972 No. lb. 12/1/10/1972 tentang Susunan Organisasi Sekretariat Daerah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Op, Cit. (11).

(55) Lihat: Piagam Kerjasama antara Pemerintah DKI Jakarta, Lembaga Administrasi Negara dan Arsip Nasional tanggal 13 Desember 1968 dan tanggal 1 Oktober 1970. Dalam Program Pendidikan dan Latihan Personil Pemerintah DKI Jakarta Lamp. VIII.

(56). Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 1 tahun 1976 tanggal 15 Desember 1976 tentang Pola Administrasi Kearsipan dan Dokumentasi Pemerintah DKI Jakarta; Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 2 tahun 1976 tanggal 15 Desember 1976 tentang Susunan Organisasi Kearsipan Dinamis Pemerintah DKI Jakarta; Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 3 tanggal 15 Desember 1976 tentang Prosedur Karsipan.

(57). Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 29 Mei 1975 No. B.III-3317/d/4/1975 tentang Pembentukan Proyek Kearsipan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Modernisasi Sistim Administrasi


Dengan makin meningkatnya kegiatan pemerintahan dan pembangunan, makin terasa keharusan untuk menyusun program-program jangka panjang, jangka sedang dan jangka pendek secara teliti dan terarah. Tujuan pokok dan sasaran masing-masing program harus terumuskan secara jelas. Untuk menunjang tugas tersebut diatas, sumber data dan informasi sebagai faktor pendukungnya, perlu disusun polanya baik mengenai prosedur pengumpulan, pengolahan maupun pemanfaatannya. Dengan cara ini diharapkan terwujud adanya kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program-program pembangunan baik tehnis maupun non teknis dapat terkoordinasi dan integrasi dengan baik. Untuk mencapai usaha tersebut, saya bersama-sama dengan para staf mengambil inisiatip untuk merintis metode-metode management baru seperti : Sistim Perencanaan Penyusunan Program dan Anggaran (SIPPA), Perencanaan Sistim Informasi (ISP), Sistim Pengendalian Operasionil Proyek-proyek dengan Network Planning dan Komputer (MPPS). serta modernisasi sistim kearsipan dengan penyempurnaan dalam bentuk Microfilm.

Proyek-proyek tersebut disamping untuk kepentingan intern, juga saya maksudkan agar Pemerintah DKI Jakarta dapat berfungsi sebagai laboratorium penelitian dalam penerapan proyek-proyek modernisasi sistim dan teknologi administrasi. Hasilnya kelak dapat bermanfaat pula bagi kepentingan instansi-instansi lain yang lebih luas, termasuk lingkungan universitas. Dalam hal ini, saya menghargai kerjasama dan bantuan para ahli/konsultan baik yang terdiri dari instansi Pemerintah maupun instansi-instansi swasta lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Mereka bersama-sama kami telah bekerja menyusun, mengembangkan dan menerapkan sistim baru yang dapat membantu pimpinan dan aparat Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih baik.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Perbekalan dan Perawatan Materiil


Kisruhnya administrasi Pemerintahan Daerah akibat adanya dualisme pemerintahan ternyata berpengaruh juga dalam pengelolaan perbekalan dan perawatan materiil. Hal ini dicerminkan dengan adanya perbekalan dan perawatan yang berada dibawah tanggung jawab Biro Pemerintahan Umum Pusat disatu pihak dan dibawah Otonomi dilain pihak.

Harus diingat, bahwa materiil adalah merupakan sebagian kekayaan sehingga mutlak harus diketahui, apa dan berapa yang telah dimiliki, berupa jumlah yang dibutuhkan, berapa jumlah investasi dan berapa jumlah biaya yang dibutuhkan untuk perawatannya. Data ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui jumlah kekayaan yang tertanam dalam materiil, dan juga sebagai bahan perencanaan dalam rangka pemenuhan pengadaan tambahan yang diperlukan. Disamping itu, juga karena peningkatan beban pekerjaan maupun pengelolaan di kedua perangkat itu tidak seragam, khususnya dalam pengendalian, pencatatan serta pengadaan.

Dalam usaha penertiban tata cara pengelolaan administrasi serta pengendalian, pada tahun 1966 tindakan pertama yang saya lakukan adalah mengusahakan terwujudnya perangkat yang mengelola perlengkapan materiil yang terintegrasi yaitu seksi Perlengkapan (47), namun dengan makin berkembangnya kegiatan pemerintahan, meningkat pula kebutuhan materiil. Untuk itu dibutuhkan adanya tata cara pengelolaan dan pengendalian yang lebih tertib dan sempurna. Selain itu guna menangani beban tugas-tugas yang makin meningkat tersebut, ternyata tidak. dapat hanya cukup ditampung dalam wadah. "Seksi". Oleh sebab itu pada tahun 1972 (48) kedudukan serta fungsi dari unit yang menangani perbekalan dan perawatan materiil ini ditingkatkan dan dikembangkan menjadi "Biro VI/Perbekalan dan Perawatan Materiil".

Dengan telah dikukuhkannya penyempurnaan dibidang strukturil maka tindakan selanjutnya adalah menyempurnakan tata cara pengelolaan perbekalan, perawatan dan pembakuan kebutuhan serta perawatan dan penghapusan, baik di bidang kwalitas maupun kwantitas barang. Ketentuan tentang pola pengaturan ini saya tuangkan dalam bentuk Keputusan Gubernur Kepala Daerah tentang Pedoman Pembinaan Materiil.(49)

Kebijaksanaan pengadaan materiil, saya lakukan dengan sistim sentralisasi. Selain itu, dalam rangka mewujudkan adanya efisiensi penggunaan materiil, telah pula saya tentukan adanya sistim pembakuan kebutuhan, baik mengenai jumlah, jenis dan harga untuk setiap barang yang dibutuhkan oleh setiap unit. Dengan cara demikian, akan dapat dijamin pula sistim pengendalian penggunaan materiil secara baik.

Pada saat sebelum dimulainya tahun anggaran baru, setiap instansi saya wajibkan mengajukan rencana kebutuhan tahunan materiil melalui Biro VI/Perbekalan dan Perawatan Materiil. Hal ini dimaksudkan untuk keperluan penyusunan rencana kebutuhan belanja barang. Pengajuan rencana kebutuhan materiil oleh instansi tersebut, realisasinya saya sesuaikan dengan kemampuan anggaran untuk setiap tahunnya.

Dalam hal pengadaan kebutuhan materiil yang dikaitkan dengan adanya pelelangan, dilakukan dengan sistim sentralisasi dan ditangani oleh Panitia Pembelian.(50) Khusus untuk pembelian barang-barang yang tidak ada di pasaran dalam negeri yang sangat khusus dengan standar tertentu, antara lain seperti ambulance, mobil tinja, mobil transfusi darah, pembeliannya dilakukan dengan cara mengimpor. Sesuai dengan kebijaksanaan yang telah saya tetapkan dalam pedoman pembinaan materiil tersebut diatas, maka jenis barang-barang tersebut dibeli langsung tanpa tender dari Agen Tunggal atau pabrikan dari suatu merk tertentu. Cara pelaksanaannya dipilih dengan prinsip impor sendiri dan menunjuk salah satu Perusahaan Negara sebagai pelaksana imp or. Cara ini dipilih karena saya anggap paling efisien. Sebab harga bea dan lain-lain dapat dikontrol dan diawasi sesuai peraturan yang ada, antara lain marge importir diberikan maksimum 1½% dari harga cost and freight (C & F).

Oleh karena sistim pengadaan saya lakukan dengan sistim sentralisasi, maka dalam hal penyimpanan barang-barang saya tetapkan adanya gudang induk dan gudang unit pada masing-masing instansi. Gudang induk berfungsi sebagai pusat penyimpanan seluruh persediaan materiil yang ada, sedangkan gudang unit berfungsi pula sebagai gudang pembantu serta sebagai gudang, tempat penyimpanan barang-barang inventaris-instansi yang bersangkutan.

Juga dalam perawatan/perbaikan materiil, sesuai dengan ketentuan yang telah saya tetapkan dalam pedoman seperti tersebut di muka, saya lakukan dengan sistim sentralisasi serta pembakuan. Namun demikian, untuk kelancaran tugas-tugas di bidang perawatan pada batas-batas tertentu saya berikan pula tanggung jawab perawatan kepada instansi-instansi tertentu untuk mengurus pengelolaan perawatan materiilnya. Dengan catatan, bahwa kegiatan perawatan yang dilakukan oleh instansi tertentu tetap berpedoman pada pola-pola pembakuan di bidang perawatan materiil.

Tugas-tugas pengendalian dan pengawasan materiil, saya tugaskan kepada Inspektorat Wilayah Daerah dan Biro VI/Perbekalan dan Perawatan Materiil. Pada tahun 1971 sesuai dengan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1971, saya telah menugaskan kepada kedua instansi tersebut untuk melakukan inventarisasi seluruh kekayaan materiil yang ada.(51) Hasil inventarisasi ini mencerminkan keadaan inventaris yang riil per 1 April 1974. Selain itu, juga dapat digunakan sebagai dasar landasan untuk pengendalian mutasi barang, baik mengenai penambahan, penghapusan maupun pemindahan dari satu unit ke unit lain.

Sejak saat itu (1974) untuk dapat memelihara kemutakhiran data inventaris, penyelenggaraannya telah saya lakukan dengan bantuan komputer. Kegiatan pendataan atau invetarisasi dilakukan dua kali setiap tahun, yaitu per 31 Desember dan 1 April.

(47) Dalam Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 22 Juli 1966 No. B.6/52/1966 itu perangkat ini diwujudkan dalam bentuk seksi Perlengkapan Peralatan dan Pembelian.

(48) Dalam Kep. Gubernur KDKI Jakarta No. Jb. 25/2/17/72 tanggal 1 April 1972 tentang Pembentukan Biro VI/Perbekalan dan Perawatan Materiil.

(49) Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta 25 Oktober 1974 No. B.VI-5275/ a/3/1974 tentang Pedoman Pembinaan Materiil Pemerintah DKI Jakarta.

(50) Lihat Surat Keputusan Gubernur KDKJ Jakarta tanggal 16 Juni 1973 No. B.VI. c/1/1/1973 tentang Pembentukan Panitia Pembelian.

(51) Lihat Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 2 Juli 1971 No. Ia.1/1/5/1971 dan tanggal 20 Pebruari 1974 No. B.Vlc.2.1/8/1974 tentang Pelaksanaan Inventarisasi seluruh kekayaan Materiil milik Pemerintah DKI Jakarta.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Kebijaksanaan Pembangunan Sarana Perkantoran


Pembangunan sarana perkantoran pemerintahan, saya kaitkan dengan kerangka pembangunan dan pembaharuan administrasi. Oleh karena itu, kebijaksanaan pembangunan perkantoran Pemerintah DKI Jakarta secara menyeluruh harus dilihat dalam hubungan itu. Strategi pembangunan perkantoran yang saya gariskan itu, mempertimbangkan faktor-faktor berikut ini.

Pertama, faktor strukturil. Guna menjamin terselenggaranya hubungan kerja yang baik serta untuk menjamin kelancaran pelayanan masyarakat, di setiap tingkat pemerintahan, yaitu Kantor Gubernur, Walikota, Kecamatan dan Kelurahan pengaturan lokasinya terpusat sebisa-bisa di tengah-tengah kawasan pelayanannya. Dalam membangun komplek perkantoran pada setiap perangkat pemerintahan tersebut juga, tercakup kebutuhan ruangan untuk semua satuan unsur Dinas; kecuali bagi Dlnas-dinas tertentu yang pelaksanaan pekerjaan phisik di lapangan. Lagi pula saya perhitungkan juga kecenderungan meningkatnya urusan serta kegiatan-kegiatan pemerintahan, perkembangan unit-unit organisasi perangkat pemerintahan serta perkembangan kebutuhan penambahan pegawai di masa, yang akan datang.

Kedua, faktor psikologis, pembangunan perkantoran perlu memperhatikan kebutuhan akan lingkungan kerja yang dapat memberikan suasana ketenangan, kesegaran, kegembiraan termasuk rasa kebanggaan bagi para karyawan. Dengan cara ini diharapkan dapat merangsang pegawai untuk bekerja lebih tekun dan kreatip. Dalam pada itu juga wujud fisik kantor-kantor pemerintahan sekaligus harus dapat memberikan gambaran serta kesan kepada masyarakat akan kemampuan, kewibawaan dan daripadanya terkandung maksud mempertinggi kepercayaan terhadap pemerintahnya, dan terakhir dapat menambah semarak keindahan kota. Disamping itu juga keharusan memperhitungkan penggunaan tanah yang tersedia secara effisien.

Dengan berpegang pada pokok-pokok pikiran itu, disusun rencana kompleks bangunan dan pola Kantor Gedung Balaikota, Kantor Walikota, Kantor Camat, Kantor Lurah, Kantor-kantor Dinas dan Perusahaan Daerah, Gedung Pusdiklatnil serta kantor-kantor pemerintahan lainnya, termasuk pula rumah-rumah dinas Walikota, Camat dan Lurah. Sebagai gambaran berikut ini disajikan usaha pembangunan kantor-kantor pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah DKI Jakarta selama PELITA Satu sampai dengan PELITA Dua tahun ke-II:

Untuk mencapai tujuan strategi seperti telah saya jelaskan diatas, dalam pembangunan gedung utama Kantor pemerintahan DKI Jakarta yang terdiri dari 24 tingkat (Biok G), dimaksudkan juga untuk memberi kesempatan kepada para tehnisi yang bekerja pada Pemerintah DKI Jakarta memperoleh pengalaman dalam pembangunan gedung-gedung tinggi. Oleh karena itu, mulai dari tahap penelitian, perencanaan termasuk perhitungan konstruksi sampai dengan pelaksanaan pembangunan mereka diikut sertakan secara langsung, bahkan harus mengawasi pula penyelenggaraannya. Disamping keuntungan dalam bentuk pengalaman praktis, melalui kesempatan itu dapat dikumpulkan data tehnis yang penting bagi penyusunan peraturan pengawasan bangunan.

Saya memandang pembangunan gedung ini merupakan sumbangan yang besar dari segi pembangunan administrasi negara. Ternyata hasilnya tidak hanya kekayaan fisik pemerintah bertambah dan tersedianya ruang kerja yang memiliki daya tampung yang cukup, tetapi juga terpenuhi lingkungan kerja dan kelancaran pelayanan. Ditambah lagi hasil dalam bentuk tertanamnya modal keterampilan dan kemampuan para teknisi Pemerintah DKI dalam mengikuti kemajuan dan menggunakan teknik serta teknologi mutakhir dalam bidang bangunan khususnya bangunan bertingkat tinggi yang kelak pasti akan lebih banyak dibangun di Jakarta.

Khusus pembangunan gedung utama Pemerintah DKI Jakarta (Biok G) saya nilai sebagai tonggak yang penting dari mata rantai sejarah pemerintahan kota Jakarta. Karena ditempat yang sama, menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda, berdiri pula "Staadhuis" serta berfungsi pula sebagai "Staadsgemeente Raadshuis". Kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan dijadikan "Balai Agung Kota" oleh Walikota Jakarta yang pertama diangkat Pemerintah Republik Indonesia. Oleh karena itu, bangunan gedung utama Pemerintah DKI Jakarta ini dapat dipandang sebagai bangunan monumental yang memiliki nilai sejarah.

Perkembangan penyediaan sarana gedung perkantoran yang telah saya lakukan seperti tersebut diatas perlu saya imbangi dengan penyediaan sarana komunikasi yang memadai. Saya berpendirian, bahwa untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang diarahkan untuk kepentingan pelayanan masyarakat, harus dilaksanakan oleh aparat bawahan saya tanpa memperhitungkan batas waktu jam-jam kerja. Untuk menunjang mekanisme bekerja seperti ini, maka peralatan telekomunikasi tidak saja terbatas pada kantor-kantor, tetapi juga rumah dinas dan rumah-rumah para pejabat yang menurut kepentingan tugasnya harus tetap siaga menerima dan melaksanakan tugas-tugas. Masalah yang dijumpai dalam memenuhi kebutuhan peralatan telekomunikasi ini adalah, tidak sepenuhnya, Perum Telekomunikasi dapat memaantu pengadaannya. Oleh karena instansi tersebut dalam memenuhi kebutuhan jaringan telekomunikasi yang diminta oleh masyarakat belum dapat sepenuhnya dilavani. Dengan bantuan Perum Telekomunikasi, saya terpaksa mengambil inisiatip untuk mengusahakan sendiri kebutuhan telekomunikasi ini.

Penggunaan telekomunikasi sesuai dengan sifat dan kepentingannya ada 2 jenis yaitu : Telekomunikasi telepon/telex dan Telekomunikasi radio. Perlu dijelaskan, bahwa penggunaan hubungan radio tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan berita/instruksi/informasi yang sifatnya terbatas dan bagi keperluan-keperluan mendadak. Disamping itu, digunakan juga pada tempat-tempat yang belum dimungkinkan, adanya hubungan telepon.

Dengan adanya sistim pembangunan gedung-gedung perkantoran secara memusat serta bertingkat, maka pada tiap-tiap tempat terdapat puluhan instansi. Hubungan kerjanya satu dengan yang lain tidak bisa dflepaskan, selain itu dibutuhkan adanya kecepatan jalur komunikasi satu dengan yang lain. Oleh karena itu satu-satunya alat komunikasi yang sangat mudah dan cepat, saya pilih penggunaan telepon local (TRO/PABX). Untuk komplek perkantoran Balaikota pada periode PELITA Dua telah digunakan sejumlah 200 saluran, sedangkan setiap komplek perkantoran baik tingkat Walikota maupun Dinas/Perusahaan Daerah dibutuhkan 50 sampai dengan 200 saluran TRO/PABX.

Saya perhitungkan pada tahun-tahun mendatang kemungkinan akan berkembang terus dan akan membutuhkan kira-kira 700 s/d 1000 saluran. Disamping pengembangan jumlah-jumlah saluran TRO/PABX tersebut, saya semula berkeinginan untuk melengkapi dengan peralatan telex. Namun demikian, rencana pengembangan telekomunikasi ini semuanya tergantung daripada perkembangan kegiatan pemerintahan, organisasi, kemampuan anggaran dan teknologi di-masa-masa mendatang.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Pendidikan Dan Latihan Pegawai


Sejak pelaksanaan Pola Rehabilitasi/Pembangunan Tiga Tahun telah dikembangkan berbagai macam program pendidikan dan latihan terhadap personil Pemerintah DKI Jakarta. Saya menganggap pembinaan pegawai merupakan aspek pembangunan organisasi dan pengelolaan pemerintahan yang penting. Oleh karena itu program pendidikan dan latihan diarahkan untuk menunjang perkembangan kebijaksanaan pemerintahan maupun kemajuan teknologi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Disamping itu melalui pendidikan dan latihan saya ingin memiliki pegawai-pegawai yang mempunyai semangat pengabdian dan rasa tanggung jawab serta cakap dan mampu melaksanakan tugasnya. Kini pengembangan program pendidikan dan latihan sudah meningkat, dan selalu diadakan penelitian untuk mengetahui kebutuhan pendidikan yang berorientasi pada tugas pekerjaan. Seirama dengan itu juga dikembangkan sistim penilaian terhadap pegawai guna mendapatkan kelengkapan data yang penting artinya sebagai bahan perencanaan.

Penyusunan program pendidikan dan latihan disesuaikan dengan tata susunan kepegawaian yang ada. Seperti telah saya sebutkan, pegawai terdiri dari unsur pimpinan, staf menengah dan pelaksana operasionil kebijaksanaan pemerintahan.

Terhadap mereka yang tergolong pimpinan, mendapatkan pendidikan dan latihan yang mempunyai sifat teknis kepemimpinan dengan menitik beratkan pada bentuk seminar, simposium, loka karya, panel diskusi, rapat kerja dan lain-lain. Bentuk yang demikian walaupun tidak merupakan forum pendidikan seperti pengertian yang lazim dikenal, namun dapat berfurigsi sebagai forum untuk saling tukar menukar pengalaman, pikiran dan gagasan. Untuk selanjutnya forum itu penting dalam meningkatkan koordinasi antar perangkat pemerintahan.

Terhadap personil yang tergolong staf menengah mendapatkan pendidikan dan latihan yang bersifat teknis kedinasan. Dan terhadap personil yang ada pada tingkat pelaksana diberikan pendidikan dan latihan yang bersifat pelaksanaan tugas jabatan sehari-hari.

Untuk menjamin kelanjutan dan tertib pelaksanaan program pendidikan dan latihan yang teratur serta melembaga, saya keluarkan ketentuan tentang peraturan Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Personil Pemerintah DKI Jakarta.(45) Disamping Pendidikan dan Latihan yang dilaksanakan. sendiri atau didalam koordinasi Pusdiklatnil Pemerintah DKI Jakarta, saya mengambil kebijaksanaan untuk mengirimkan pegawai pada lembaga pendidikan reguler dan non reguler yang diselenggarakan oleh Departemen atau Badan tertentu, baik Pemerintah maupun Swasta. Demikian juga pengiriman keluar negeri saya selau memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh negara sponsor dengan melalui Instansi yang berwenang.

Adapun perencanaan dan pengembangan program-program pendidikan mendatang saya pikir disamping harus berorientasi pada pengembangan strukturil perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi juga harus memperhitungkan kebutuhan menyeluruh bagi unit-unit perangkat pemerintahan. Gambaran kegiatan dan latihan personil yang telah dilakukan disajikan secara lengkap dalam laporan penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Personil Pemerintah DKI Jakarta dalam pelaksanaan PELITA Ke-I (1964-1974).(46)

(45) Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 1 Juni 1968 No.Ab.12/1/4/ 68 tentang Peraturan Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Personil Pem. DKI Jakarta; tanggal 2 Juni 1968 No.Ab.12/1/5/68 tentang Pembentukan Pusat Pendidikan dan Latihan Personil (PUSDIKLATNIL) Pem. DKI Jakarta; tanggal 2 Desember 1968 No.Ab.12/1/22/68 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Pendidikan/Latihan Personil Pemerintah DKI Jakarta

(46) Lihat : Jakarta. Pusdiklatnil. Laporan Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Personil Pemerintah DKI Jakarta dalam pelaksanaan PELITA I (1969-1974). Jakarta, 1975.


sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

Gita Jaya 4 : Kepegawaian


Pembinaan Pegawai Negeri Sipil baik di Pusat maupun di Daerah saya pikir perlu diatur secara menyeluruh. Artinya pengaturan pembinaan perlu diseragamkan bagi segenap Pegawai Negeri Sipil, baik Pusat maupun Daerah. Perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat seharusnya berlaku pula bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah. Hal ini perlu saya garis bawahi, karena tidak demikian halnya dalam pola pembinaan saat saya pertama menjadi Gubernur Kepala Daerah. Agar Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya secara berdaya guna dan berhasil guna, pembinaannya harus diarahkan untuk menjamin hal-hal sebagai berikut:

- Agar satuan organisasi Lembaga Pemerintah mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang rasionil berdasarkan jenis, sifat dan beban kerja yang dibebankan kepadanya.

- Pembinaan yang terintegrasi terhadap seluruh Pegawai Negeri Sipil, artinya bahwa terhadap semua Pegawai Negeri Sipil berlaku ketentuan yang sama, apakah dia di Pusat atau di Daerah.

- Pembinaan Pegawai Negeri Sipil yang diarahkan atas dasar karier dan sistim prestasi kerja.

- Sistim penggajian yang mengarah terhadap penghargaan prestasi dan besarnya tanggung jawab.

- Pelaksanaan tindakan korektif yang tegas terhadap pegawai yang nyata-nyata melakukan pelanggaran terhadap normahukum dan norma-norma kepegawaian.

- Penyempurnaan sistim administrasi kepegawaian dan sistim pengawasannya.

- Pembinaan kesetiaan dan ketaatan penuh pegawai Negeri terhadap Negara dan Pemerintah.

Untuk melaksanakan pembinaan sebagai dimaksud diatas, diperlukan adanya suatu pedoman yang antara lain memuat ketentuan tentang kedudukan, kewajiban, hak dan pokok-pokok pembinaan pegawai. Juga diperlukan program kerja yang terarah agar dapat dijadikan landasan dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang kepegawaian.

Seperti telah saya singgung dalam uraian dimuka, pada tahun 1966 masalah kepegawaian Pemeritah DKI Jakarta juga bersifat dualistis. Dalam tatacara pengelolaan maupun dalam cara pembinaan terdapat pemisahan antara Pegawai PUSat dan Pegawai Daerah. Keadaan semacam ini menimbulkan hambatan dalam pelaksanaan tugas-tugas Pemerintahan dan pembangunan. Dengan Keputusan Gubernur tanggal 22 Mei 1966 (34) saya menetapkan pembentukan Team Pelaksanaan Integrasi urusan Pemerintahan Umum. Tugas Team ini antara lain menyusun dan menyiapkan konsep integrasi urusan Pemerintahan Umum dan Pemerintahan Daerah menjadi satu kesatuan.

Disamping usaha tersebut, saya usahakan pula pengintegrasian pengurusan kepegawaian Biro Pemerintahan Umum Pusat dan Daerah dalam satu wadah, yaitu Biro IV/Personalia. Dengan demikian untuk selanjutnya yang mengatur pembinaan serta pengelolaan administrasi hanya dilaksanakan oleh Biro IV/ Personalia.

Salah satu usaha untuk menghilangkan dualisme ini adalah dengan memberi kesempatan yang sama kepada pegawai Pusat dan Daerah untuk menduduki jabatan fungsionil. Termasuk pula penentuan jabatan-jabatan kepala Pemerintahan Wilayah tidak lagi didasarkan pada pertimbangan status kepegawaian. Dasar utama adalah kemampuan serta prestasi pegawai yang bersangkutan untuk menduduki jabatan tersebut. Kebijaksanaan semacam ini ternyata kemudian sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-undang pokok kepegawaian No. 8 Tahun 1974 yang pada hakekatnya penentuan jabatan berdasarkan pada sistim prestasi.

Pada tahun 1966 seluruh pegawai Pemerintah DKI Jakarta yang ada berjumlah 24.761 orang. Mengingat perkembangan kegiatan pemerintahan dari tahun ke tahun saya rasakan adanya keharusan penambahan pegawai baru. Di dalam forum-forum terbuka ataupun pada rapat-rapat dinas Gubernur, saya sering mengemukakan perlunya penyediaan tenaga kerja yang jumlahnya sesuai dengan perkembangan beban pekerjaan. Selain itu kekurangan pegawai akibat pemecatan karena terlibat peristiwa G.30.S/PKI perlu segera diganti.

Sebagai langkah pertama dalam usaha penambahan pegawai dilakukan dengan cara mengangkat pegawai harian menjadi pegawai bulanan.(35) Penambahan pegawai itu, sekaligus digumkan untuk memperoleh tenaga-tenaga bermutu, ketrampilan dan kemampuan serta mental yang baik. Oleh karena itu setiap penerimaan pegawai baru terlebih dahulu dilakukan penyaringan dan pengujian kepada calon yang bersangkutan. Penambahan pegawai selama periode 1966-1971 dilakukan tanpa berdasarkan rencana pengembangan jumlah pegawai yang dihitung secara riil, menyeluruh, cermat dan rasionil. Dengan demikian saya pikir tidak akan tertib serta tidak mengarah pada koordinasi dan pengembangan personil yang baik.

Akibatnya, pada waktu itu tidak dapat diketahui secara pasti jumlah pegawai Pemerintah Daerah baik menurut dislokasi, kepangkatan, status kepegawaian dan lain-lain secara keseluruhan.

Oleh karena itu pada tahun 1971 saya mulai mengusahakan adanya rencana formasi kebutuhan pegawai secara menyeluruh, sehingga dapat dijadikan pedoman kerja pada waktu-waktu yang akan datang. Kebijaksanaan itu kemudian tertuang dalam Rencana 10 Tahun Kebutuhan Pegawai Pemerintah DKI Jakarta (36) Perhitungan 10 tahun ini adalah dihitung dari sisa Pelita I sampai dengan akhir periode Pelitas II (1971-1981).

Rencana pengembangan formasi kebutuhan personil DKI Jakarta itu tercantum dalam dokumen Rencana 10 Tahun Pengembangan Formasi Pegawai yang sudah saya sebutkan diatas.

Berikut ini saya sajikan perkembangan jumlah pegawai Pemerintah DKI Jakarta mulai tahun 1966/1977:

Dasar penyusunan rencana 10 tahun kebutuhan pegawai tersebut adalah sebagai berikut:
* Pengembangan formasi pegawai yang didasarkan pada pengembangan jumlah penduduk Jakarta yang telah diperhitungkan dari tahun ke tahun meningkat;
* Kemungkinan perkembangan teknologi peralatan kerja;
* Jaringan organisasi perangkat yang ada;
* Perkiraan kemampuan anggaran yang tersedia;
* Beban pekerjaan yang secara sepintas telah tercermin pada program Pelita I dan ke II.

Dalam rencana formasi tersebut diatur juga mengenai dislokasi personil, prosentase pengembangan personil dari tahun ke tahun untuk masing-masing instansi. Dalam menentukan perhitungan rencana formasi itu juga dipertimbangkan pula masalah-masalah kemungkinan terwujudnya penyebaran jumlah pegawai yang merata seimbang untuk seluruh Perangkat Pemerintah Daerah, sehingga dapat diwujudkannya pendayagunaan pegawai secara lebih terarah.

Pelaksanaan rencana formasi pegawai itu tidak selalu sepenuhnya dapat saya lakukan. Ada pembatasan-pembatasan karena alasan penghematan biaya, tersedianya tenaga kerja yang sesuai dan lain-lain. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa rencana formasi untuk anggaran 1972/1973 sebanyak 36.147 pegawai pelaksanaannya hanya 35.868 orang pegawai. Pada tahun anggaran 1973/1974 formasi disediakan 40.230 orang pegawai, realisasinya hanya mencapai 38.693 orang pegawai.

Untuk menjamin adanya ketertiban serta pengawasan dalam hal pengadaan pegawai, wewenang penerimaan dan pengangkatan para calon pegawai sejak semula dilakukan secara terpusat.

Dalam hubungan tatacara penerimaan pegawai baru ini saya telah menggariskan kebijaksanaan khusus, disamping kebijaksanaan umum. Yang bersifat khusus dari saya selaku Gubernur itu antara lain adalah :
* Penerimaan pegawai baru diutamakan bagi penduduk Jakarta, serta ijazah tamatan Sekolah Menengah, Akademi maupun Perguruan Tinggi di Jakarta. Kebijaksanaan ini sejalan dengan kebijaksanaan Jakarta sebagai Kota Tertutup.

* Penerimaan pegawai baru diadakan pembatasan umur maksimal bagi pelamar :
- Untuk lulusan SLP/SLA maksimum berumur 25 tahun;
- Untuk lulusan Sarjana Muda maksimum berumur 30 tahun;
- Untuk lulusan Sarjana maksimum berumur 35 tahun;

* Pemerintah DKI Jakarta menginginkan adanya keringanan-keringanan beban tanggungan keluarga. Para pelamar yang dapat diterima menjadi pegawai Pemerintah DKI Jakarta mempunyai syarat-syarat tanggungan keluarga sebagai berikut :
- Lulusan SLP/SLA harus belum kawin;
- Lulusan Sarjana Muda sudah kawin tapi belum mempunyai anak;
- Lulusan Sarjana sudah kawin dan mempunyai 1 (satu) anak.

Dalam prosedur pengisian kebutuhan pegawai, masing-masing Instansi diwajibkan mengajukan rencana kebutuhan pegawai secara terperinci baik mengenai jumlah, rencana penempatan dan pemberian tugas yang akan dibebankan. Pengajuan usul ditujukan kepada Gubernur KDH melalui Biro IV/Personalia.

Sebelum Gubernur KDH memberi Keputusan tentang usulan dimaksud, terlebih dahulu mendengar atau memperhatikan saran dari Badan Pertimbanqan Kepegawaian.(37) Kebijaksanaan perencanaan formasi 10 tahun yang telah saya gariskan itu ternyata bermanfaat bagi tugas-tugas pembinaan dan pengendalian kepegawaian.

Undang-undang tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang berlaku sekarang ini hanya mengenal Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah. Dua jenis status kepegawaian itu di DKI Jakarta pembinaannya berada dalam satu wadah. Dengan demikian kesulitan-kesulitan administratip dapat dikurangi.

Usaha selanjutnya yang sampai saat ini sedang dikerjakan adalah mengembangkan prosedur kenaikan pangkat. Diharapkan dengan perubahan dan modernisasi administrasi kepegawaian ini hambatan-hambatan yang selama ini saya hadapi dalam menqelola pegawai dapat diatasi.

Dalam batas kewenangan dan kemampuan yang ada, saya selalu memberi perhatian cukup untuk kesejahteraan pegawai, baik kesejahteraan jasmani maupun kesejahteraan rohani. Berikut ini adalah beberapa cara yang saya tempuh untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan pegawai itu:
- Pemberian insentif dilaksanakan pada setiap pegawai secara tetap setiap bulan. Kebijaksanaan ini dilakukan sejak tahun 1967.(38) Maksud utama memberikan insentif ini untuk mendorong kegairahan bekerja pegawai. Kini jumlah itu bila dihitung dengan nilai uang yang diberikan sekarang memang sudah tidak memadai lagi. Pada waktu itu perhitungan jumlah insentif didasarkan atas kemampuan keuangan Pemerintah DKI Jakarta. Ketentuan mengenai insentif sekarang, sedang dipertimbangkan untuk ditingkatkan jumlahnya. Sedang norma pemberiannya akan dilakukan lebih terarah pada pegawai-pegawai yang betul-betul mampunyai prestasi dan jenis serta bobot pekerjaannya patut diberikan insentif;
- Pembagian pakaian Dinas sebanyak 2 (dua) stel dalam setahun yang dimulai sejak tahun 1966;
- Pengaturan pemberian distribusi beras sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sistim pemberian tunjangan beras ini dari waktu ke waktu memerlukan perbaikan, baik dalam tata cara pemberian maupun administrasinya. Agar pemberian jatah beras itu dapat dilakukan tepat pada waktunya, maka mulai tahun 1975 telah dirintis penyusunan pola pemberian jatah beras yang dikaitkan dengan komputerisasi administrasi kepegawaian. Kegiatan ini kini sudah terlaksana dengan baik.
- Pemberian tanda penghargaan bagi semua pegawai yang telah berdinas di DKI Jakarta lebih dari 15 tahun, 20 tahun dan 30 tahun dan pemberian penghargaan kepada para pensiunan dan kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 1966;
- Pemberian penghargaan kepada pegawai-pegawai teladan. Dasar yang digunakan sebagai ukuran peaawai teladan ini adalah prestasi kerja dan konduite pegawai yang bersangkutan;
- Pada tahun 1967 dilaksanakan pemberian kredit sepeda kepada para pegawai;
- Penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan para pegawai beserta keluarganya. Mulai tahun 1975 dilakukan kewajiban mengadakan check-up kesehatan dan latihan olah raga bagi pejabat-pejabat teras Pemerintah DKI Jakarta;
- Pemberian bantuan kepada pegawai yang pensiun beserta keluarganya. Adapun bantuan tersebut sebesar 3 X gaji bersih ditambah dengan beras;
- Untuk daerah terpencil seperti Kecamatan Pulau Seribu mendapat tambahan beras masing-masing 10 kg bagi pegawai yang telah berkeluarga dan 5 kg bagi pegawai bujangan.(39) Disamping itu masih ada bantuan lain, yaitu bantuan uang yang besarnya disesuaikan gengan golongan masing-masing. Sedang masa kerja diperhitungkan dua kali lipat pada setiap kali naik pangkat dan naik gaji;
- Transport pegawai dapat diatasi dengan mendirikan Yayasan Kerta Jaya. Usaha Yayasan ini antara lain merupakan penyediaan bis pegawai. Usaha ini dihentikan pada tahun 1972 sejak adanya bis kota yang jumlah dan routenya sudah dianggap memadai;
- Pegawai yang terkena bencana alam kebakaran dan kebanjiran diberikan sumbangan dan pinjaman uang yang besarnya ditetapkan sesuai dengan golongan dengan membayar kembali selama 20 kali angsuran tanpa bunga(40); Terhadap pegawai yang meninggal dunia kepada keluarganya diberikan bantuan kematian sebesar 3 (tiga) kali gaji bersih dan beras.(41) Bagi pensiunan sendiri, pensiunan janda/duda, anak pensiun, anak yatim dan anak yatim piatu dari pensiunan yang meninggal juga diberikan bantuan.(42)

Pembinaan rokhani pegawai juga diadakan dan dimaksudkan untuk memberikan bimbingan mental kepada pegawai yang bersangkutan, ke arah terbentuknya akhlak dan perbuatan yang baik, serta memberikan dorongan kepada para pegawai untuk secara tertib melaksanakan kewajiban beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Mengingat kegiatan ini sifatnya khusus, penanganannya perlu ditampung dalam satu wadah yang bersifat khusus pula. Untuk itu saya bentuk Team Bimbingan Rokhani Karyawan (Team Birokh). Team ini melakukan kegiatan dengan berbagai cara antara lain:
* Mengadakan ceramah agama bagi para karyawan dan keluarganya secara tetap setiap bulan;
* Penyelenggaraan peringatan hari-hari besar agama;
* Penertiban bulletin "Pembinaan Rokhani" serta penyaluran majalah-majalah keagamaan;
* Penyelenggaraan pendidikan seni baca Al-Quran, menulis/membaca huruf Arab bagi para Karyawan;
* Kegiatan-kegiatan lain yang bersifat keagamaan.

Mengingat Lembaga ini kegiatannya berkembang dengan baik, pada tahun 1976, saya sempurnakan organisasinya serta merubah sebutan Team Birokh menjadi Badan Pembina Rokhani Personil (BAPINROKH).

Untuk menyeragamkan pelayanan administrasi saya lelah mengajukan permohonan kepada Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Keuangan, BAKN, dan Departemen Dalam Negeri agar administrasi dan penggajian Pegawai Negeri Pusat yang diperbantukan kepada Pemerintah DKI Jakarta dapat dan boleh saya padukan dengan administrasi dan penggajian pegawai otonomi, yaitu dikerjakan dengan bantuan komputer. Namun permohonan tersebut sampai saat ini belum mendapat persetujuan. Sehingga, maksud-maksud tersebut belum dapat dilaksanakan.

Sebelum Pemerintah Pusat melakukan pemberian Nomor Induk Pegawai, Pemerintah DKI Jakarta telah merintis adanya Nomor Registrasi Karyawan (NRK). Penggunaan NRK dimaksudkan, agar tiap-tiap Pegawai DKI Jakartas dapat mudah dilayani dan mudah dalam pengendalian administrasinya. Namun karena ternyata adanya Nomor Induk Pegawai ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, maka perlu diadakan penyesuaian-penyesuaian.

Program penyempurnaan administrasi kepegawaian ini saya rasa perlu dilanjutkan terus secara bertahap perlu ditingkatkan pemanfaatan data kepegawaian yang telah terkumpul untuk kepentingan pembinaan administrasi kepegawaian lainnya. Misalnya untuk pengendalian kenaikan pangkat, penilaian konduite,  penetapan kriteria pemberian fasilitas dan lain-lainnya yang berhubungan dengan program pembinaan pegawai dalam arti luas. Dengan telah terwujudnya pembinaan kepegawaian yang tertib dan terpadu, kebijaksanaan selanjutnya saya arahkan pada usaha-usaha pembinaan karier bagi para pegawai.

Sebagaimana telah disebut diatas, waktu itu dirasakan kurangnya tenaga-tenaga yang terdidik serta mempunyai keahlian yang dibutuhkan. Oleh karena itu pada tahun 1968 mulai saya gariskan pokok-pokok kebijaksanaan pembinaan/peningkatan pengetahuan dan ketrampilan pegawai. Untuk menangani tugas-tugas ini saya bentuk Lembaga Pusat Pendidikan dan Latihan Personil (PUSOIKLATNIL) Pemerintah DKI Jakarta.(43) Pusat ini bertugas menyelenggarakan pendidikan dan latihan bagi pegawai.

Dalam pokok kebijaksanaan pembinaan karier pegawai, saya mengadakan pula pengaturan tentang jenjang kepangkatan para Kepala Pemerintahan Wilayah beserta stafnya.(44) Pengaturan itu dimaksudkan, agar dapat dijadikan pedoman bagi pembinaan karier pegawai-pegawai Pemerintahan Wilayah selanjutnya. Pengaturan jenjang karier personil pada Pemerintahan Wilayah pertama-tama dapat digarap karena struktur pangkat Pemerintahan Wilayah pada umumnya seragam serta sudah ada pedoman echeloneering tingkatannya.

Usaha-usaha lain dalam pembinaan karier personil dilakukan dengan pembentukan kader-kader (kaderisasi). Bagi pegawai-pegawai yang terampil  serta mempunyai prestasi yang baik diberikan kesempatan untuk berkembang. Pegawai yang memenuhi kriteria ini diwajibkan mengikuti pendidikan-pendidikan teknis kedihasan tambahan. Sehingga dikemudian hari dapat diproyeksikan untuk menduduki jabatan-jabatan yang lebih tinggi. Sejak semula kebijaksanaan untuk menegakkan sistim prestasi dibidang pembinaan kepegawaian telah diterapkan di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta, dan dipedomani pula dalam pengembangan jenjang karier seseorang pegawai.

(34) Lihat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tgl.22 Juni 1966 No.B.6/6/52/66 tentang pembentukan Team pelaksanaan Integrasi Urusan Pemerintahan Umum.

(35) Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 15 Desember 1967 No. Jb.5/20/15 1967 tentang Pengangkatan Pegawai harian menjadi pegawai bulanan.

(36) Surat Keputusan Gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 20 Nopember 1972 No.Jd.2/2/38/1972 tentang penetapan Rencana 10 Tahun Pengembangan Formasi Pegawai Pemerintah DKI Jakarta. Lihat juga: Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 15 Desember 1967 No.Jb.5/ 20/15/1967. Ibid (33).

(37) Badan Pertimbangan Kepegawaian dibentuk dengan surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 24 Nopember 1972 No.Jd.2/2/39/72 yang bertugas untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur DKI dibidang perencanaan pegawai juga mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepegawaian.

(38) Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 14 Maret 1967 No. lb.3/1/ 30/1967 tentang Pemberian Bantuan (berupa tunjangan yang bertujuan peningkatan kegairahan bekerja) kepada para pegawai/pekerja Pemerintahan DKI Jakarta dan tanggal 10 September 1969 No.lb.20/8/4/1969 tentang Perubahan besarnya uang insentif untuk para Karyawan Pemerintah DKI Jakarta.

(39) Lihat Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 5 Juni 1966 No.Cc. 45/1/2/1966 tentang Tunjangan Beras, tanggal 7 Oktober 1966 No.C.36 /1/1966 tentang Pemberian Penghargaan Khusus kepada Pegawai DKI Jakarta yang bertugas di wilayah Kecamatan Pulau Seribu dan Surat Keputusan Gubernur tanggal 18 Maret 1968 No.lb.3/1/33/1968 tentang Pemberian Penghargaan Khusus kepada Pegawai-pegawai Pemerintah DKI Jakarta yang bertugas di wilayah Kecamatan Pulau Seribu.

(40) Surat Edaran Gubernur tanggal 12 Februari 1969 No.Fe/7/1/2/1968 tentang Bantuan Pinjaman uang tidak berbunga kepada Karyawan Pemerintah DKI Jakarta. Instruksi Gubernur tanggal 29 Desember 1967 No.lb.2/2/22/67 tentang Bantuan berupa pinjaman kepada Karyawan yang menderita bencana kebakaran dan Instruksi Gubernur tanggal 25 Januari 1968 No.lb.2/1/8/ 1968 tentang bantuan Pinjaman Uang tak berbunga.

(41) Lihat Instruksi Gubernur tanggal 24 Juli 1967 No.Jd.2/2/3/67 tentang Pemberian bantuan kepada Karyawan yang meninggal dunia berupa 3 bulan gaji sakaligus dan distribusi natura salama 3 bulan.

(42) Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur tanggal 5 April 1969 No.Jd.2/ 1/15/69, Pemberian bantuan kepada Yatim Piatu.

(43) Lihat Surat Keputu san Gubernur tanggal 1 Juni 1968 No.Ab.12/1/4/1968 tentang Peraturan Penyelenggaraan Pendidikan dan Latihan Personil Pemerintah DKI Jakarta.

(44) Sk. Gubernur KDH. tanggal 27 April 1971 No. Ab.15/2/47/71 tentang jenjang karier personil perangkat Pemerintahan Wilayah.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)