Sunday, December 2, 2012

Outline Plan kota Jakarta-Raya 1957


DALAM periode 1953-1959 disamping pelaksanaan secara phisik proyek-proyek pembangunan tersebut diatas, telah pula dirumuskan rencana pembangunan dalam jangka panjang secara konsepsionil. Perumusan itu dituangkan dalam bentuk Rencana Pendahuluan (Outline Plan), yang dikemudian hari diperkembangkan menjadi Rencana Induk (Master Plan) untuk Kota Jakarta-Raya.

Adapun makna dan arti Rencana Pendahuluan tadi, dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Berdasarkan Undang-undang Pembentukan Kota 1948 No. 168, maka oleh Pemerintah Kotapraja Jakarta-Raya dianggap perlu untuk mengadakan persiapan-­persiapan kearah penyusunan Rencana Induk, yang dikenal juga dengan nama "Master Plan" untuk perkembangan Kota Jakarta. Rencana Induk merupakan suatu rencana penggunaan tanah, yang dalam garis besar menetapkan tempat-­tempat mana kemungkinannya baik untuk diperuntukan bagi perumahan, tempat pekerjaan dan tempat hiburan, yang menguntungkan bagi para wargakota (a place for home, work and recreation);

b. Untuk keperluan itu diperoleh bantuan teknik dari P.B.B., yang menugasi Prof. Clifford Holliday dalam tahun 1954 guna merintis persiapan-persiapan tersebut diatas. Gagasan untuk menyusun Master Plan diperkenalkan oleh Prof. Clifford Holliday, yang melakukan pendekatan menurut perkembangan dalam ilmu pengetahuan rencana kota, yang pada akhir abad lalu dipelopori oleh Prof. Sir Patrick Geddes. Sebelum ilmu tersebut berkembang, segala rencana dibuat oleh insinyur dan arsitek tanpa dipertimbangkan secara masak-masak tentang peranan kota tersebut dalam masa mendatang, dan tanpa adanya usaha memperoleh gambaran tentang kesulitan dan kesukaran yang akan timbul dan harus dihadapi dalam waktu mendatang. Sehubungan dengan itu, maka Prof. Holliday sedatang­nya di Indonesia segera mulai dengan melakukan berbagai pekerjaan survey mengenai keadaan-keadaan disegala bidang dalam kehidupan masyarakat kota. Untuk dapat menghayati secara mendalam tentang kebutuhan wargakota dari segala lapisan masyarakat, maka perlu diketahui terlebih dahulu keadaan dan sifat kehidupan penduduk, kesulitan dan kesukaran apa yang dihadapi olehnya, baik dalam kehidupan sehari-hari pada waktu itu, maupun dalam masa mendatang dalam jangka panjang. Oleh karena Prof. Holliday hanya diperbantukan dalam jangka waktu 6 bulan, maka kegiatannya terbatas pada mengadakan berbagai survey tersebut diatas sebagai tindakan pendahuluan;

c. Oleh karena konsep dan cara pendekatan penyusunan Master Plan merupakan hal yang baru bagi tenaga teknik Indonesia pada waktu itu, maka Direktur D.P.U. Ir. S. Danunegoro diberi kesempatan untuk menjalankan study-tour selama 6 bulan ke Amerika Serikat dan Eropa Barat, untuk mempelajari dan memahami pengetrapan ilmu pengetahuan Rencana Perkembangan Kota yang baru.

Pada awal tahun 1956 diperoleh bantuan teknik lagi dari P.B.B., yang menugasi Mr. K.A. Watts melanjutkan usahanya Prof. C. Holliday. Untuk memanfaatkan tenaganya Mr. Watts, maka D.P.U. Daerah membentuk Bagian Master Plan secara khusus, yang bekerja langsung dibawah pimpinan tenaga akhli tersebut;

d. Untuk meningkatkan pekerjaan persiapan tentang penyusunan Master Plan dan pelaksanaan Program pembangunan selanjutnya, diusahakan perbantuan tambahan tenaga-tenaga akhli lainnya, yang ternyata baru dapat mulai bekerja dalam tahun 1958. Tenaga-tenaga ini adalah: Mr. Petit, tenaga akhli dari P.B.B. dibidang Pembiayaan Pembangunan Kota dan Mr. Franklin, tenaga akhli dari Colombo Plan, yang diberi tugas untuk memberikan assistensi dibidang Arsitektur. Sudah barang tentu untuk keperluan penyusunan Master Plan tadi, tenaga-tenaga Indonesia perlu disiapkan dan ditingkatkan pengetahuan dan kemampuannya untuk mengambil bagian secara aktip dalam usaha pembangunan pada umumnya, dan khususnya dalam bidang menyelesaikan persiapan penyusunan Master Plan. Untuk keperluan tersebut berturut dikirim ke Luar Negeri beberapa tenaga muda untuk menambah pengetahuan dan pengalamannya. Mereka ini, semuanya pegawai­-pegawai D.P.U., adalah Saudara-saudara: Ir. Obrien, Z. Kapitan, Darundono B.A., Ir. Seewarte, Ir. Anas Madjit, dan lain-lain.

e. Setibanya di Indonesia, Mr. Watts melanjutkan pekerjaan survey yang meliputi masalah penduduk, masalah kesempatan kerja, masalah perumahan dan masalah lalu-lintas.

Berdasarkan hasil-hasil survey tadi, dalam tahun 1957 selesai dirumuskan dan disusun Rencana Pendahuluan (Outline Plan) Jakarta-Raya.

Masalah lalu-lintas sebelumnya secara tersendiri telah memperoleh penelitian, yang akhirnya menghasilkan Rencana Susunan Jalan Raya, yang disyahkan oleh D.P.K.S. dalam tahun 1954.

Dalam rangka mengadakan survey tadi dipelajari pula sejarah Perkembangan Kota Jakarta, masalah tata-guna tanah, bangunan istimewa seperti: bangunan-bangunan Pusat Pemerintahan, sekolah, tempat-tempat ibadah, gedung sejarah dan sebagainya. Rencana Pendahuluan ini, merupakan, bahan pertama dalam rangka perumusan Laporan Rencana Induk. Maksudnya ialah untuk menyerahkan laporan berupa Rencana Pendahuluan ini kepada instansi Pemerintah yang berwenang menentukan kebijaksanaan, dan pula kepada kelompok-kelompok fungsionil yang ada hubungannya dengan kegiatan penyusunan Master Plan, yang diharapkan dapat memberikan evaluasi dan rekomendasi. Bilamana Rencana Pendahuluan itu telah memperoleh penelitian secara intensip oleh fihak-fihak tersebut dimuka, barulah disiapkan Rencana Induk dalam bentuk yang terakhir. Ternyata Rencana Pendahuluan tadi, berkat kerjasama yang baik antara tenaga akhli P.B.B. bersama tenaga-­tenaga Indonesia, dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat, dari awal 1956 sampai akhir 1957.

Sebenarnya pada taraf perkembangan Negara pada waktu itu, tugas untuk menyiapkan suatu Rencana Induk merupakan hal yang sukar. Indonesia sedang dalam taraf perubahan dari suatu bentuk masyarakat kebentuk lainnya. Keinginan dan kebutuhan wargakota -khususnya penduduk ibukota yang untuk sebagian diantara mereka baru masuk dari daerah pedalaman sukar dapat diperkirakan. Kejadian ini mempengaruhi masyarakat kota, sehingga penduduk yang sejak semula bertempat tinggal dikotapun mengalami perubahan kependudukan. Sifat kampung-kampung dan tempat-tempat daerah kediaman lainnya mengalami perubahan. Sangat sukarlah kiranya untuk membayangkan perubahan sosial ini akan menjurus kearah mana dalam masa 20 tahun mendatang, jangka waktu mana biasanya diperuntukkan bagi penyusunan Rencana Induk. Oleh karena itu, kalaupun akhirnya dapat dirumuskan dan disusun sebuah Rencana Induk, seyogyanya Rencana Induk tadi dianggap sebagai pedoman dan perlu ditinjau kembali tiap-tiap lima tahun sekali.

f. Dalam Rencana Pendahuluan antara lain dinyatakan, bahwa Jakarta adalah suatu kota yang cepat berkembang menjadi kota Metropolis, pertumbuhan kota dalam waktu cepat meluap melampaui batas-batas kota semula. Oleh karena itu, persiapan Rencana itu, persiapan Rencana Induk Jakarta-Raya tidak dapat diselesaikan tanpa memperhitungkan pengaruh timbal-balik antara daerah dalam wilayah kota dan daerah-daerah dalam wilayah-wilayah sekitarnya. Dalam hubungan ini Jakarta telah dilukiskan sebagai pusat Regional dari daerah sekitarnya, bahkan Rencana Induk Jakarta dianggap perlu ada pengkaitannya dengan pembangunan Nasional, yang konsep-konsepnya sedang disusun oleh Biro Perancang Negara yang pada waktu itu dipimpin oleh Ir. H. Djuanda (almarhum). Dalam rangka pendekatan regional inilah, maka perumusan dan penyusunan Rencana Pendahuluan sudah dipertimbangkan dalam kaitannya dengan perkembangan kota-kota Bogor, Tanggerang dan Bekasi (yang kemudian lebih dikenal dengan Rencana Pembangunan Regional JABOTABEK). Sungguhpun waktu untuk mempersiapkan Rencana Pendahuluan sangat pendek, sehingga data-data statistik hasil survey sangat terbatas, di tambah pula kenyataan bahwa masyarakat Jakarta-Raya mengalami transisi dengan kecepatan tinggi, namun oleh karena cara pendekatannya tepat, dalam Rencana Pendahuluan tadi telah dapat dikemukakan kesimpulan-kesimpulan yang cukup berarti. Disamping kesimpulan, bahwa Jakarta Raya berkembang sebagai Kota Metropolis, dalam pendekatan Regional Jabotabek masih terdapat beberapa kesimpulan lainnya, yang pantas dikemukakan disini:

Dalam penyusunan Rencana Pendahuluan diambil sebagai assumsi, bahwa pertambahan penduduk tiap tahun diperkirakan sebesar 4% (± 80.000 jiwa) per tahun, sehingga dalam jangka waktu 20 tahun penduduk Jakarta akan bertambah dari 2,2 juta jiwa dalam tahun 1957, menjadi ± 4,5 juta jiwa dalam tahun 1977;

Berdasarkan atas assumsi ini, maka diadakan analisa dan perkiraan mengenai kebutuhan kesempatan kerja, perumahan, fasilitas-fasilitas sosial seperti: sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, serta fasilitas transportasi, industri dan perkantoran;

Walaupun pada waktu itu masih dipersoalkan, apakah Jakarta akan tetap menjadi Ibukota Republik Indonesia, namun dalam perkiraan Outline Plan, sementara diambil sebagai pangkal tolak bahwa Jakarta-Raya selama 20 tahun mendatang (Jangka waktu untuk penyusunan Master Plan), tetap menjalankan peranan Ibu Kota. Oleh karena telah diperkirakan Jakarta dengan cepat mengalami pertumbuhan sebagai Kota Metropolis. maka beberapa konsepsi Perencanaan Kota telah memperoleh perhatian, misalnya wilayah perencanaan (Planning District), wilayah yang dapat berdiri sendiri (Self-supporting District) dan lingkungan-lingkungan kesatuan (Neighbourhood Units);

Berdasarkan struktur umur kependudukan, diadakan analisa tentang kebutuhan akan fasilitas-fasilitas pendidikan. Begitu pula diperkirakan tentang keperluan fasilitas kesehatan dan perdagangan besar maupun kecil;

Ruangan-ruangan terbuka dan jalur-jalur tidak lupa memperoleh pemikiran pula. Didaerah pusat kota dan didaerah bagian kota lainnya terdapat bangunan­-bangunan dan prasarana lingkungan yang sangat buruk. Dalam Rencana Pendahuluan telah dicantumkan gagasan untuk mengadakan peremajaan dari daerah-daerah tersebut (urban-redevelopment);

Untuk melaksanakan pembangunan kota secara phisik dalam Rencana. Pendahuluan antara lain disarankan, agar dibentuk suatu Lembaga atau Instansi Pemerintahan (Badan Kota), yang dapat memegang peranan sebagai "Single Landlord", sesuai dengan konsepsi akhli perancang Sir William Holford. Dengan demikian, maka dengan menempatkan kekuasaan atas tanah disatu tangan, maka dapat digerakkan akselerasi Pembangunan phisik;

Lokasi Medan Merdeka dan Lapangan Banteng dalam Rencana Pendahuluan dicadangkan untuk kompleks Pemerintahan;

Bidang tanah antara Pasar Ikan disebelah Barat dan Tanjung Priok disebelah Timur sepanjang pantai menurut Rencana Pendahuluan, dapat diperkembangkan menjadi daerah dengan bangunan-bangunan yang indah sebagai tempat rekreasi. Begitu pula bidang tanah sebelah Barat Pasar Ikan, sebelah Utara Polder Pluit dapat dijadikan promenade sepanjang pantai;

Dalam Rencana Pendahuluan disinggung pula pemindahan Kebun Binatang dari daerah Cikini dalam kaitannya dengan pembentukan hutan rekreasi (Recreation forest). Pembangunan Museum Nasional dirasakan perlu pula. Dalam garis besar disarankan, agar supaya pengembangan kota dilakukan dengan pentahapan: Fase I, Fase II, Fase III dan Fase IV, yang tercermin dalam peta rencana kerja;

Sebagai permasalahan pokok dalam pelaksanaan Pembangunan Kota dikemukakan masalah keuangan, masalah perundang-undangan dan masalah ketata-usahaan;

Oleh Pemerintah Daerah pada waktu itu sedang dipelajari untuk menggali berbagai sumber keuangan dalam rangka membiayai pelaksanaan pembangunan. Mengenai hal ini dalam Rencana Pendahuluan dikemukakan beberapa saran, Dalam masalah perundang-undangan terdapat dua hal yang penting, ialah:

a. Law enforcement. (peraturan perundang-undangan untuk menegakkan hukum).
b. Landasan Hukum untuk pembebasan tanah, termasuk ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian pendudukan tanah secara tidak sah.

Masalah pendudukan tanah secara tidak sah dan masalah kampung becek tidak merupakan persoalan teknis, akan tetapi merupakan masalah sosial politis;

Dalam hubungan dengan ketata-usahaan dinyatakan, bahwa pelaksanaan Pembangunan Kota harus dilakukan berdasarkan atas prinsip-prinsip perencanaan yang mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk organisasi-organisasi Pemerintahan yang memegang kekuasaan.

Bilamana dukungan ini tidak ada, maka segala rencana itu betapa baik dan indah sekalipun, akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu disarankan terbentuknya Lembaga (Regional Planning Board or Commission), yang mempunyai kekuasaan penuh baik formil maupun politis, mengambil keputusan mengenai pemakaian tanah diwilayah kekuasaannya.

Tentang usaha untuk pembagian kembali tempat kediaman bagi anggota Angkatan Bersenjata, sebagaimana disebut dimuka telah pula diuraikan dalam Rencana Pendahuluan. Dimuka telah diuraikan pembangunan proyek instalasi pembersih air beserta proyek jaringan pipa-pipa induk, pipa pembagian saluran air minum sehingga kapasitas penyediaan air bertambah dengan 20.000 liter/detik. Dalam Rencana Pendahuluan diuraikan, bahwa walaupun tambahan kapasitas air saluran pada waktu itu sudah sangat besar, namun dalam Rencana Pendahuluan telah dinyatakan, bahwa tambahan kapasitas tadi tidak akan mencukupi lagi, berhubung dengan cepatnya pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu diharapkan kelanjutan bantuan Kementerian P.U.T.L. untuk menambah kapasitas air saluran dengan 5.000 liter/detik lagi;

Sebagai penutup dari Rencana Pendahuluan dinyatakan, bahwa pada waktu itu tidak ada seorangpun didunia yang dapat meramalkan masa depan dari kota Jakarta. Lebih-lebih karena pada waktu itu masih terdapat ketidak-pastian apakah Jakarta akan tetap menjadi Ibu kota Negara. Akan tetapi Jakarta yang telah mempunyai bentuk kota Metropolis remaja, jelas mempunyai potensi untuk berkembang pesat. Pada waktunya, bilamana telah dicapai kestabilan sosial, mudah-mudahan akan tidak terdapat kekurangan biaya dan tanah, yang memungkinkan kita semua untuk dengan kesabaran dan ketekunan bekerja kearah perbaikan perkembangan kota. Memang disadari bahwa banyak permasalahan besar perlu dihadapi, namun walaupun demikian maksud dan tujuan penyusunan Rencana Pendahuluan tadi telah dapat dianggap berhasil, bilamana Rencana Pendahuluan itu dapat memberikan perspektif terhadap permasalahan tadi. Oleh karenanya dapat memperoleh proporsi yang lebih besar dalam tekanan dan lebih besar pula dalam pembiayaannya.

Proses pembangunan kota satelit Kebayoran Baru memberikan keyakinan, bahwa dalam masyarakat Indonesia telah terdapat kemauan dan kemampuan untuk memperbaiki keadaan kota Jakarta-Raya.

SUNGGUHPUN dalam periode 1953-1959 menurut kondisi dan situasi belum lagi dapat dilaksanakan banyak proyek-proyek pembangunan berdimensi besar, namun dalam periode itu telah dapat digariskan kebijaksanaan mengenai pembangunan kota Jakarta-Raya yang bersifat konsepsionil.


Sumber:
Sudiro, 1977. "Outline Plan kota Jakarta-Raya" dalam Karya Jaya : Kenang Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966. Jakarta Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. hlm.115-122

No comments:

Post a Comment