Thursday, November 29, 2012

A.M. Fatwa : Saya Banyak Belajar dari Kepemimpinan Ali Sadikin

A.M. Fatwa


Saya ditugaskan membantu Gubernur Ali Sadikin oleh Komandan Pusat KKO AL Mayjen Moch. Anwar sejak 1 Januari 1970. sebelumnya saya menjabat wakil kepala Dinas Rohani Islam Komando Wilayah Timur KKO AL di Surabaya. Menjelang penugasan itu Mayjen Anwar melakukan semacam tes uji coba, menyuruh saya menghubungi sedikitnya sepuluh tokoh Islam kaliber nasional untuk meminta pendapat dan komentarnya tentang rencana penugasan saya itu. Sebagian besar sependapat dan mendukung serta berharap dapat membantu kebijakan dan pandangan Gubernur Ali Sadikin tentang agama dan masyarakat agama, khususnya masalah judi.

Masyarakat Islam di Jakarta banyak yang menentang program judi itu termasuk tokoh senior Moh. Natsir, ketua umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan mantan perdana menteri. Tetapi saya ingat betul, tokoh Islam dan diplomat politikus senior, Mr. Moh. Roem, dalam catatan wawancara saya, dengan kalimat yang hati-hati menyatakan bahwa dia dapat memahami kebijaksanaan Gubernur Ali Sadikin tentang hal itu. Waktu itu Gubernur Ali Sadikin terkenal dengan ucapan kerasnya: "Kalau pihak-pihak yang tak setuju dengan judi hendak ke luar rumah, pakai helikopter saja, karena jalan raya di Jakarta ini kebanyakan saya bangun dari hasil judi." Tentu saja ucapan itu menimbulkan reaksi keras pada masyarakat luas. Demikian pula dengan ucapan keras Gubernur Ali Sadikin ketika akan memindahkan pekuburan Arab di Tanah Abang ke pinggiran kota, karena di lokasi tersebut akan dibangun fasilitas umum. Kata Ali Sadikin, "Mana yang lebih penting, orang hidup atau orang mati. Kalau tidak setuju perkuburan tersebut dipindah untuk efisiensi karena kita kekurangan lokasi tanah, apakah tidak sebaiknya jenazah dikubur berdiri atau dibakar saja?"

Timbulnya reaksi keras dari masyarakat atas sikap dan ucapan-ucapan Gubernur Ali Sadikin saya rasakan sebagai tantangan besar, dan untuk itu saya pun mencoba berpikir dan bekerja keras mencari cara pendekatan agar tercipta suasana harmonis, sehingga lebih kondusif bagi Gubernur untuk melaksanakan gagasan-gagasan besarnya dalam membangun Ibukota Jakarta. Ucapan jenazah dikubur berdiri atau dibakar sesungguhnya hanya sekadar manuver dan strategi untuk memancing dan mengukur reaksi. ternyata Buya Hamka, misalnya, memberikan reaksi wajar dan sekaligus memberikan input tentang kuburan tumpang tindih dengan mengambil contoh makam Bagi Disamping Masjid Nabawi di Madinah. Pak Ali Sadikin pun, saat Ibu Nani Sadikin meninggal, mengumumkan, bila dia meninggal agar dimakamkan secara tumpang tindih di makam istrinya itu.

Pada tahun 1972 DKI Jakarta mendapat giliran menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Tingkat Nasional V. Saya ditunjuk menjadi sekjen dalam panitia nasional. Pengalaman berorganisasi dan bermasyarakat yang saya miliki memudahkan saya dalam mendampingi ketua umum panitia, Kolonel H. A. Ruchiyat, mengelola peristiwa nasional ini sehingga dapat berlangsung dengan sukses. Pesta besar umat Islam di ibukota ini membawa citra positif tersendiri bagi Pemda DKI Jakarta di bawah Gubernur Ali Sadikin. Dari peran yang saya lakukan dalam kegiatan nasional inilah Gubernur Ali Sadikin mulai mengenal prestasi saya. Ketika Pak Ali Sadikin harus berada di Nederland mendampingi istrinya yang sedang berobat, dia tetap mengendalikan Pemerintahan DKI Jakarta. Saya termasuk yang rajin mengirimkan laporan kegiatan yang selalu ditanggapinya dengan disposisi-disposisi yang memberikan arah, dorongan, dan semangat.

Disposisi Gubernur Ali Sadikin selalu singkat dan jelas arahnya, kadang-kadang menggelikan Misalnya disposisi untuk seseorang yang mengajukan surat permohonan bantuan uang yang tidak masuk akal; disposisi itu berbunyi: "Memangnya duit itu berak; atau cukup satu kata, "Sontoloyo."

Rupanya Pak Ali Sadikin selalu membaca semua surat yang masuk dengan cermat. Disediakannya waktu khusus malam hari, di rumah, untuk membaca surat-surat itu, sehingga pagi-pagi pukul 07. 00 disposisi-disposisinya yang khas, ditulis dengan spidol merah, sudah beredar di semua bagian kantor.

Anak buah yang banyak ide dan keberanian serta berjiwa dinamis biasanya ditandai oleh Pak Ali Sadikin. Mereka ini sering dipanggil dan diberi tugas. Karena itu disposisi untuk penugasan selalu ditujukan langsung kepada orangnya, bukan jabatan, dengan tetap memperhatikan hierarki dan etika birokrasi.

Selesai pelaksanaan MTQ Nasional V di Jakarta saya mengajukan dua gagasan. Pertama, pelembagaan kegiatan MTQ melalui surat keputusan Gubernur tentang pembentukan lembaga MTQ tingkat DKI Jakarta yang mendapatkan anggaran dari APBD. Inilah sejarah awal pelembagaan MTQ, yang baru pada MTQ Nasional tahun 1976 di Samarinda, setelah melalui perjuangan sengit dari MTQ Nasional yang satu ke MTQ Nasional yang lain, diterima secara nasional. Konsep dasar pelembagaan itu berasal dari DKI Jakarta yang dimodifikasi namanya menjadi Lembaga Pembina Tilawatil Qur'an (LPTQ) Lembaga ini dibentuk di seluruh Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Gagasan kedua, agar segera diwujudkan Pondok Karya Pembangunan (PKP) di Jakarta, berdasarkan rekomendasi dari musyawarah para ketua kontingen MTQ Nasional V di Jakarta bahwa pada setiap penyelenggaraan MTQ Nasional harus ditindaklanjuti dengan proyek monumental. Konsep dasar PKP ini berasal dari Letjen H. Sudirman yang diolah di Yayasan PTDI. Alhamdulillah PKP yang cukup megah sekarang ini masih ada dan berkembang pesat di lahan 18 ha di Cibubur, Jakarta Timur.
Bang Ali saat menunaikan ibadah Haji.
sumber: Sisi lain Bang Ali : Sebuah potret. Jakarta : Kriyakom, 2006.
Pada musim haji 1974 Gubernur Ali Sadikin naik haji. Saya salah seorang yang turut mendampinginya. Selain kegiatan ibadah di Mekah, Arafah, dan Mina, Pak Ali Sadikin juga aktif meninjau pemondokan jamaah haji Indonesia. Dalam suatu pertukaran pikiran sehabis sholat subuh di Masjidil Haram, kami berempat -- H. Ghazali Sahlan (tokoh Muhammadiyah), H. Hartono Mardjono (anggota DPRD DKI), H. Idid Junaidi (seorang pengusaha), dan saya-- menggagas untuk mempertemukan Pak Natsir dengan Pak Ali Sadikin. Kami lebih dahulu menemui Pak Ali Sadikin di Hotel Makkah, memberi tahu bahwa Pak Natsir ingin datang bersilaturahim. Pak Ali Sadikin menjawab, "Jangan, Beliau kan orang tua, biar saya saja yang datang menemuinya." Segera kami menemui Pak Natsir yang sedang menghadiri sidang tahunan Rabithah Alam Islamy di Mina, memberi tahu bahwa Gubernur Ali Sadikin ingin datang bersilaturahim kepada Pak Natsir. Pak Natsir pun menjawab, "Jangan begitu, biar saya yang datang menemuinya karena dia seorang pejabat negara." Akhirnya kami mengambil jalan tengah, mempertemukan Pak Natsir dan Pak Ali Sadikin di sebuah pondokan milik seorang syaikh di pinggiran kota Mekah. Acaranya, berbincang-bincang tanpa suatu topik tertentu sambil minum teh dan makan kambing guling. ternyata pertemuan ramah-tamah itu telah mencairkan ketegangan di antara keduanya di tanah air. Hubungan mereka menjadi akrab, dan kelak pertemuan di Mekah ini berlanjut dengan pertemuan-pertemuan lanjutan di Jakarta.

Selanjutnya Pak Ali Sadikin mengemukakan rencananya untuk mengadakan seminar pemantapan perjalanan haji Indonesia. Saya ditugaskan mempersiapkan seminar itu berikut makalahnya, yang intinya ialah bahwa pemberangkatan perjalanan haji yang jumlahnya mencapai puluhan ribu bahkan nantinya sampai ratusan ribu orang haruslah diorganisasi dengan mengambil contoh cara menggerakkan divisi pasukan militer ke suatu wilayah pertempuran - mengatur penempatan pasukan di medan tempur, dan selanjutnya mengatur mereka kembali ke markas setelah memenangkan pertempuran. Gagasan Gubernur Ali Sadikin yang disampaikan dalam seminar tersebut disampaikan sebagai rekomendasi ke Departemen Agama. Gagasan itu merupakan embrio dibentuknya kafilah-kafilah haji termasuk kelompok terbang (kloter). Sedangkan untuk DKI Jakarta sendiri Gubernur Ali Sadikin langsung mengeluarkan surat keputusan bahwa pada setiap awal musim haji DKI Jakarta membentuk kafilah haji DKI Jakarta, dipimpin oleh seorang pejabat senior, dan biaya pengorganisasiannya dari APBD tanpa mengganggu biaya ONH. Satu hal lagi patut dicatat, kalau Bung Karno dulu mengusulkan agar tempat Sa'i di Masjidil Haram dibuat bertingkat seperti wujudnya sekarang, Pak Ali Sadikin mengusulkan penanaman pohon-pohon seperti yang kita lihat sekarang di sepanjang jalan raya di Mekah, Madinah, Jedah, khususnya di Padang Arafah tempat wuquf.

Ada pun tindak lanjut pertemuannya dengan Pak Natsir di Mekah, Gubernur Ali Sadikin menugaskan saya untuk melakukan kontak-kontak dengan berbagai kalangan agama, khususnya ulama-ulama dan tokoh Islam. Menurut Pak Ali, apabila hubungan kita baik dengan kalangan agama, semua problem kemasyarakatan akan mudah diselesaikan.

Saya pun menciptakan forum-forum seminar dan dialog dengan masyarakat agama dari kalangan akar rumput, dan Gubernur Ali Sadikin dengan sendirinya harus tampil berpidato dan membuka pertemuan-pertemuan keagamaan itu. Lama kelamaan Gubernur Ali Sadikin menjadi akrab, tidak tampak asing dan canggung lagi dengan masyarakat agama dari kalangan akar rumput sebagaimana masa awal-awal pemerintahannya. Sebagai ketua umum Koordinator Da'wah Islam (KODI), suatu organisasi semiofficial yang disubsidi oleh Pemda DKI Jakarta, saya tak sulit menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam ini. KODI dirintis berdirinya oleh H. M. CH. Ibrahim, anggota Dewan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan tokoh PSII. Pembentukan Majelis Ulama DKI pun segera direalisasikan satu tahun mendahului berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Posisi saya sebagai sekretaris Majelis Ulama DKI Jakarta memudahkan hubungan Gubernur Ali Sadikin dengan kalangan ulama melalui MUI. Majelis ini sendiri terdiri dari ulama-ulama berbagai aliran dan kelompok. Gubernur Ali Sadikin memberikan kehormatan tersendiri kepada MUI DKI Jakarta : harus berkantor di lingkungan kompleks Balaikota, dan sidang-sidangnya dilaksanakan di ruang rapat Gubernur.

Satu lagi instrumen penting yang dibentuk oleh Gubernur Ali Sadikin dalam hubungan dengan masyarakat Islam yang sekaligus untuk membangun potensi kemampuan ekonomi umat Islam dalam mengorganisir kewajiban zakat, infaq dan sadakah, yaitu menerbitkan surat keputusan pembentukan Badan Amil Zakat, lnfaq dan Sadakah (BAZIS). Model BAZIS ini kemudian dikembangkan di provinsi-provinsi, dan selanjutnya dijadikan kebijakan nasional dengan terbentuknya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).

Sistem politik yang berlaku pada masa itu menjadikan presiden, menteri dalam negeri, Gubernur, bupati, dan walikota berfungsi sebagai pembina politik, baik secara nasional maupun lokal. Pula, para pejabat tersebut resmi menjabat sebagai pembina Golkar menurut tingkatan pemerintahan Meskipun Gubernur Ali Sadikin sebagai pembina Golkar, dalam kebijakan umumnya ia memperlakukan sama terhadap dua parpol lainnya yaitu PPP dan PDI. Kebetulan pada Pemilu 1977 PPP menang cukup signifikan di wilayah pemilihan DKI Jakarta. Gubernur Ali Sadikin secara politis memikul tanggung jawab atas kekalahan Golkar di wilayahnya, karena itu Kolonel Wiryadi, kepala Direktorat Politik DKI Jakarta yang ditugaskan dari Kodam Jaya langsung ditarik oleh Panglima Kodam Jaya. Gubernur Ali Sadikin pun tersinggung karena itu merupakan tanggung-jawabnya sebagai kepala daerah.

Setelah saya dipecat dari Pemda DKI Jakarta, saya segera bergabung dengan Pak Ali Sadikin (yang habis masa jabatannya pada 11 Juli 1977) dengan berbagai kegiatannya, dan selanjutnya bersama-sama di Petisi 50. Mungkin karena saya sekretaris Pak Ali Sadikin saya sekaligus ditunjuk sebagai sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50, karena rapat-rapat Petisi 50 selalu diadakan di rumah Pak Ali Sadikin di jalan Borobudur 2, Jakarta.

Sebagai sekretaris Petisi 50 siang-malam saya sibuk, termasuk sibuk menelepon dan menerima telepon. Rupanya kegiatan per telepon ini disadap intelijen. Maka pesawat telepon di rumah dimatikan oleh Telkom. Pak Ali Sadikin mengirim surat kepada dirut PT. Telkom dan mengancam bahwa pemiliknya akan memperkarakan penutupan tanpa alasan itu. Berbisiklah pihak Telkom bahwa pihaknya terpaksa melakukan itu atas perintah Laksusda Jaya yang mengatakan bahwa pesawat telepon tersebut selalu dipakai untuk pembicaraan politik.

Pegawai kantor Pak Ali Sadikin/Sekretariat Petisi 50 di gedung Ratu Plaza bernama Mansur juga "dikerjain". Suatu pagi ia diikat kaki dan tangannya ke meja, mulutnya disumpal kain. Pada hari lainnya Mansur diciduk saat meninggalkan kantor sore hari, kemudian dibuang di sawah di pinggir kota. Demikian halnya pengawal pribadi saya bernama Udin, juga diculik, dan baru beberapa hari kemudian dilepaskan. Pak Ali Sadikin menyediakan pengawal pribadi untuk saya karena demikian gencarnya teror-teror yang saya hadapi sehingga saya sulit bekerja sebagai Sekretaris Petisi 50.

Awal kelahiran Petisi 50 dan rapat-rapat persiapannya diadakan di gedung Granadha, kantor Sekretariat Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat (Posko AD) yang sehari-hari dipimpin oleh Mayjen TNI (Purn) Ahmad Sukendro, dan sekjennya, Letjen TNI (Purn) H. R. Dharsono (almarhum). Resminya, Petisi 50 berpayung pada Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, yayasan yang didirikan pada 1978 oleh antara lain Bung Hatta, Jend. A.H. Nasution, dan para tokoh nasional pejuang demokrasi. Setelah Petisi 50 disorot tajam, ditekan, dan dianggap disiden oleh penguasa sehingga tidak bisa lagi mengadakan rapat-rapat di Granadha (kini Balai Sarbini), Pak Ali Sadikin menyediakan rumah kediamannya di jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat. Beliau juga mengusahakan satu ruangan kantor di gedung Ratu Plaza lantai 30 jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Bersama Chris Siner Key Timu, Saya memimpin kegiatan kesekretariatan di ruang tersebut.

Setiap hari, dalam perjalanan masuk dan pulang kantor, di belakang mobil saya dua motor intel membuntuti. Karena saya bersikap tidak peduli, lalu intel itu beralih membuntuti mobil Pak Ali Sadikin. Tentu saja Pak Ali Sadikin jengkel. Suatu kali dibelokannya mobilnya ke halaman rumah Laksamana Sudomo. Hari berikutnya dua intel yang membuntutinya dipanggil masuk ke rumahnya, lalu dikasih makan sepuasnya, kemudian dinasihatinya. Sesudah itu para intel itu berhenti membuntutinya.
Semangat Bang Ali melawan ketidakadilan.
sumber: Sisi lain Bang Ali : Sebuah potret. Jakarta : Kriyakom, 2006.


Pada Idul Fitri dan Idul Adha 1980, berturut-turut saya ditahan dan disiksa oleh aparat intelijen Laksus Kopkamtibda Jaya hingga saya gegar otak. Pak Ali Sadikin tampil membela saya, menyembunyikan saya di rumahnya, lalu membawa saya melapor di rumah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Pasalnya, saya diancam akan diculik dari RS Islam, sehingga direktur utamanya, Dr. Sugiat, pada tengah malam membawa lari saya keluar dari Rumah Sakit. Pak Ali Sadikin pun mengirim surat protes kepada Pangkopkamtib Laksamana Soedomo, sehingga Pangkopkamtib melakukan teguran tertulis kepada Pangdam Jaya Letjen Norman Sasono, dan melakukan mutasi dan tindakan administratif kepada beberapa pejabat bawahannya, termasuk Assintelnya, Danramil Setiabudi Letda Sukarman, perwira operasi Kodim Jakarta Selatan, dan Kapten Thomas, perwira satgas intel Laksusda Jaya.
Karena saya menuntut perdata terhadap Pangkopkamtib, kembali lagi aparat Kopkamtib melakukan percobaan pembunuhan, berusaha membacok leher saya dengan clurit, yang terkena wajah saya. Pak Ali Sadikin bersama Mayjen Aziz Saleh dan Letjen H. R. Dharsono kembali tampil membela saya di pengadilan setelah semua pengacara senior dan profesional --Lukman Wiradinata, Djamaluddin Dt. Singomangkuto, Sukardjo Adidjoyo, dan Hotma Sitompul-mengundurkan diri karena diteror aparat Kopkamtib. Mereka diancam, rumahnya dilempari batu.

Panglima Kodamar memerintahkan RSAL sebagai instansi militer melakukan pengamanan khusus terhadap pasien yang diancam. Untuk menunjukkan solidaritas, Pak Ali Sadikin bersama Letjen H. R. Dharsono sengaja "mengambil alih" tugas perawat: mendorong dipan pembaringan saya keluar-masuk kamar operasi. Demikian juga waktu keluar dari RSAL, sengaja Pak Ali Sadikin menjemput saya, dan beliau sendiri yang menyetir mobil.

Para Perwira dan Pengawal di RSAL itu terheran-heran. Tiga hari setelah peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, Petisi 50 mengadakan rapat dan membentuk tim kecil untuk merumuskan suatu Lembaran Putih berdasarkan fakta-fakta di lapangan. Fakta-fakta dikumpulkan bersama YLBHI. Isinya, antara lain, agar dibentuk komisi pencari fakta karena pernyataan Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani tentang jalannya peristiwa dan jumlah korban tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pernyataan kritis Petisi 50 itu menjadikan penguasa semakin marah.

Sebagai sekretaris Petisi 50 saya dianggap sebagai konseptor Lembaran Putih peristiwa Tanjung Priok, dan itulah yang dijadikan alasan penangkapan terhadap saya dan sekaligus sebagai dakwaan primer yang memberatkan hukuman saya. Pak Ali Sadikin tampil sendirian di pengadilan sebagai saksi a de charge yang dijadikan pertimbangan Majelis Hakim untuk meringankan hukuman terhadap saya: dari tuntutan hukuman penjara seumur hidup menjadi menjadi 18 tahun penjara.

Banyak orang bertanya-tanya, mengapa Pak Ali Sadikin tidak diapa-apakan, padahal dialah yang dianggap tokoh utama yang menggerakkan Petisi 50 dan rapat rutin diadakan di rumahnya. Letjen (Purn) H. R. Dharsono, kolega Soeharto dan pernah menjadi asisten personilnya ketika Soeharto menjabat KSAD, juga ditangkap dan dihukum penjara. Menurut Manai Sophian, mengapa Pak Ali Sadikin tidak ditahan, karena faktor Ibu Tien Soeharto yang melihat jasa-jasa Gubernur Ali Sadikin membantu pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), khususnya dalam menghadapi demo mahasiswa yang menentang pembangunan TMII.
Ali Sadikin memaparkan rencana TMII kepada Tien Soeharto, 1972.
sumber: Sisi lain Bang Ali : Sebuah potret. Jakarta : Kriyakom, 2006.

Selama saya di dalam penjara Pak Ali Sadikin memberikan bantuan hidup dan perlindungan keamanan kepada istri dan anak-anak saya. Pak Ali Sadikin juga memelopori kunjungan rutin secara bergantian ke penjara, baik ketika saya di penjara Salemba, Cipinang maupun ketika saya dipindah ke penjara Cirebon, Sukamiskin (Bandung) dan penjara Bogor Pak Ali Sadikin tetap dengan setia menjenguk saya Disamping tokoh-tokoh lain.

Ketika saya terpilih sebagai wakil ketua DPR pada 1999, tokoh pertama yang saya datangi untuk silaturrahim Pak Ali Sadikin. Karena saya datang dengan stelan jas, naik mobil Volvo disertai ajudan, disambutnya di pintu sambil "menertawai saya" dan setelah kami berada di ruang tamu "diplonconya" lagi saya. Pak Ali menyuruh saya berdiri sambil mengatakan, "Wah gagah benar kamu." Saya pun teringat ketika Jenderal M. Jusuf mempersilakan penggantinya Jenderal L.B. Moerdani duduk di kursi Menhankam/Pangab, sejenak disuruhnya berdiri dan dikomentarinya "Wah gagah juga kamu." Dan adegan itu ditayangkan televisi.

Sekarang, kalau saya datang sekali-sekali, Pak Ali mengantar saya pulang sampai di pintu, menepuk bahu, dan berpesan: "Sikap politikmu dan pernyataan-pernyataanmu saya ikuti semua di surat kabar. Jangan bikin malu saya ya!" pernah suatu ketika sehabis saya menyampaikan kata sambutan sebagai wakil ketua MPR pada suatu acara dan saya menyinggung perlunya kita mencari tokoh panutan yang berani untuk memimpin Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan saya menyebut nama Pak Ali Sadikin, begitu saya turun dari mimbar Pak Ali berteriak dari kursinya: "Jangan didengarin omongan Si Fatwa itu." Hadirin menyambut teriakan itu dengan "geeeer" Saya pun menelepon sekretaris Pak Ali, Mia, "Tolong bilang sama Pak Ali, saya jangan diteriaki di forum resmi." Pak Ali Sadikin pun menyampaikan pesan: "Maafkan, [saya] lupa."

Pak Ali Sadikin punya pembawaan yang sangat peduli dan setia kepada bawahan ataupun bekas anak buah. Misalnya, ketika Pak Wardiman diangkat menjadi menteri Pendidikan Nasional, Pak Ali meneleponnya, mengucapkan selamat sambil berpesan: "Wardiman, selama tiga bulan jangan dulu banyak bicara, kuasai dulu masalah."

Belum lama ini saya ditanya Pak Ali Sadikin tentang pangkat kepegawaian saya sewaktu dipecat, setelah diketahuinya pangkat saya tetap III/b sejak tahun 1975 sampai nama saya direhabilitasi pada 1998. Jadi selama 24 tahun saya tidak pernah naik pangkat, padahal sudah sekian lama saya menjadi pejabat tinggi negara.

Sampai sekarang Pak Ali masih suka menelepon saya langsung, baik untuk menyampaikan pujian atas suatu hal, atau menyampaikan hal yang tidak disukainya. Misalnya, ketika saya di Solo, untuk menerima gelar kehormatan kanjeng pangeran dari Paku Buwono XII di keraton Surakarta Hadiningrat. Pak Ali menelepon saya dari Jakarta sambil menertawai saya: "Kamu ikut-ikutan pula menerima gelar dari raja Solo." Saya menjawab dengan ketawa juga.

Satu hal lagi yang ingin saya katakan, kepada siapa saja yang dekat dengannya, kalau bertemu yang diperhatikan pertama kali oleh Pak Ali adalah perut -- "tidak boleh gendut" Dia selalu pesankan tiga hal yang harus diperhatikan dalam penampilan: rambut harus rapi, gigi harus bersih, dan perut harus lurus tidak gendut.

Dari sekian banyak pemimpin dan tokoh nasional yang memberikan didikan dan pengalaman pada diri saya, Pak Ali Sadikin-lah yang paling mendalam bekas dan kesannya. Dari padanya-lah saya mendapatkan "ilmu komandan" yang biasa saya terapkan dalam menangani berbagai permasalahan terutama yang bersifat praktis di lapangan. Lebih daripada itu jasa beliau saya rasakan sebagai utang budi. Semoga Allah SWT meridhoi semua itu. Amien.

Wallahu a'lam bisshawab Jakarta, 7 Juni 2006

Sumber:
Fatwa, Andi Mapetahang, 2006. "Saya Banyak Belajar dari Kepemimpinan Ali Sadikin" dalam Empu Ali Sadikin 80 Tahun. Jakarta : IKJ Press bekerjasama dengan keluarga besar H. Ali Sadikin. hlm. 39-47.

No comments:

Post a Comment