Monday, November 12, 2012

Gita Jaya 9C : Situasi Pajak Tahun 1966

IX.C. Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Situasi Pajak Tahun 1966

Saat saya pertama kali menengok keadaan kas kota, pada tanggal 18 Oktober 1966, saya hanya menemukan uang sejumlah Rp. 18.000,- uang lama. Keadaan itu memang sudah saya duga sebelumnya. Karena iklim perpajakan tidak menguntungkan. Kondisi politik dan ekonomi tidak memungkinkan untuk meningkatkan penerimaan daerah. Banyak proyek-proyek pembangunan yang dilakukan di Jakarta langsung ditangani oleh Pemerintah Pusat melalui proyek Mandataris, yang dimaksud proyek Mandataris ialah proyek Pemerintah Nasional yang dipertanggung jawabkan langsung kepada Presiaen selaku Mandataris MPRS.

Keadaan keuangan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada saat saya memasuki masa jabatan sebagai Gubernur tidak dapat dilepaskan dari kondisi seperti itu, Hal tersebut ditambah lagi dengan situasi moneter negara kita yang sedang dilanda inflasi. Pemerintah Pusat saat itu baru melangkah untuk mengambil tindakan-tindakan memerangi inflasi tersebut. Kemelut ini tercermin pula dalam keadaan keuangan Pemerintah DKI Jakarta.

Berdasarkan kondisi di atas, saya segera meletakkan langkah-langkah penertiban dan peningkatan kemampuan keuangan pemerintahan daerah atas dasar perkiraan situasi yang dihadapi. Persoalan pokok dalam bidang keuangan daerah pada saat itu, antara lain berupa runtuhnya sistem dan peraturan perpajakan yang menuntut perombakan dan pembaharuan. Disamping itu juga kondisi aparat perpajakan, baik mutu dan jumlah sangat tidak memadai, dibandingkan dengan besarnya penerimaan yang harus ditingkatkan. Sarana-sarana kerja yang memungkinkan perangkat perpajakan bergerak lebih lincah perlu dikembangkan. Sistem serta tata tertib pemungutan maupun pengelolaan keuangan daerah perlu dikembangkan lebih lanjut, agar peningkatan penerimaan daerah ditunjang dengan administrasi perpajakan yang sehat.


Kondisi umum daripada medan perpajakan saat itu juga dipersulit oleh sikap wajib pajak yang tidak menunjang usaha peningkatan perpajakan. Kesadaran, kemauan dan kemampuan membayar pajak menurun. Yang meningkat justru kegiatan dan upaya untuk menghindarkan pajak. Aparat perpajakan yang bermutu jumlahnya kurang, dan tidak mampu mengatasi kenyataan ini. Menghadapi keadaan semacam itu, sebagai langkah pertama pola penetapan pajak, ialah pengalihan azas penetapan oleh Pemerintah menjadi azas perhitungan pajak oleh para wajib pajak sendiri. Dengan demikian pajak cepat masuk, pasaran pajak dapat diperluas. Hal ini tentu saja menuntut penyesuaian-penyesuaian di dalam tertib administrasi dan pungutan-pungutan. Itulah sebabnya maka langkah selanjutnya yang saya tempuh ialah pengembangan perangkat perpajakan. Memang dalam keadaan seperti itu dibutuhkan kepandaian memanfaatkan situasi. Bagaimana tidak, pada saat itu masyarakat enggan membayar pajak, juga karena pegawai-pegawai upahnya rendah. Apa yang harus saya lakukan untuk menaikkan pajak? Saya memacu pegawai pajak dengan memberi sedikit insentif untuk meningkatkan gairah kerja mereka. Demikian pula wajib pajak saya rangsang dengan peningkatan-peningkatan pelayanan untuk meyakinkan mereka bahwa setiap rupiah pajak yang dibayar, benar-benar kembali dalam bentuk pelayanan.

Sementara itu terdapat pula masalah yang bersumber dari unsur luar Pemerintah Daerah. Kesulitan untuk memperoleh informasi dan bantuan dari instansi di luar Pemerintah Daerah merupakan hambatan pula. Saat itu keterangan dari Polantas, Bea Cukai, Departemen Keuangan, Sekretariat Negara dan lain sebagainya tidak mudah diperoleh. (14)

Bantuan pemberian keterangan semacam ini perlu dalam rangka usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pajak-pajak daerah. Dalam pada itu di masyarakat berkembang "situasi backing-backingan" di bidang pemalsuan, baik yang nyata terlihat maupun yang tidak. Faktor ini telah menghambat penertiban administrasi dan peningkatan penerimaan pajak.

Banyak langkah-langkah perpajakan ini memperoleh tantangan. Usaha-usaha pemalsuan berkembang. Dalam menghadapi tantangan ini penanggulangan tidak hanya melalui operasi-operasi penertiban secara fisik tetapi perlu disertai penertiban sistim administrasi dan tata cara pemungutannya. Langkah penertiban perpajakan secara luas dan menyeluruh hanya saya lakukan setelah terlebih dahulu saya siapkan perubahan sistim secara menyeluruh pula dalam rangka penertiban ini.

Dengan demikian, begitu operasi fisik selesai, usaha pemalsuan tidak muncul kembali, karena sistimnya sudah berubah. Dalam pada itu pengelolaan dan pengkajian tarif perpajakan perlu juga secara terus menerus diadakan, mengikuti perilaku pembayaran pajak. Selalu dicari keseimbangan baru yang menghasilkan pungutan pajak secara optimal. Ambillah contoh pajak kendaraan. Pada tahun 1966 pajak kendaraan pada saat itu sungguh immoral, istilah itulah yang saya pakai saat ini. Pada waktu itu pajak tertinggi untuk kendaraan adalah Rp. 72.000,- {uang lama) per tahun, atau Rp. 72 - (uang baru). (15) Karena rendahnya tarif orang cenderung untuk skeptis terhadap pembayaran pajak. Aparatur enggan untuk meningkatkan tertib pungutan pajak serta administrasi, karena tidak memadai. Menyadari kelemahan sistim perpajakan ini, perombakan diadakan dan disesuaikan dengan kebijaksanaan pembangunan secara umum. Kendati demikian konsep-konsep Sumbangan Wajib Pemeliharaan Pembangunan Pra sarana Daerah (SWP30) yang sudah lama disiapkan tetapi dibekukan karena kondisi sosial, ekonomi dan politik saat itu diungkapkan kembali. Namun sejak itu berturut-turut pajak-pajak lain dikembangkan juga dengan menggunakan azas yang sama, yakni azas penetapan oleh Pemerintah menjadi azas perhitungan oleh para wajib pajak sendiri.

Dalam pada itu status aparatur perpajakan ditingkatkan. Dari satu unit kecil di lingkungan Direktorat Keuangan, menjadi Bagian dan kemudian menjadi Dinas yang berdiri sendiri. Dengan demikian perangkat itu mempunyai kelonggaran untuk mengembangkan kepegawaian, mengadakan hubungan-hubungan dengan instansi luar dan mempunyai anggaran sendiri untuk kepentingan pengembangannya.

Sampai dengan akhir PELITA Satu masalah kekurangan tenaga untuk pemungutan dan administrasi perpajakan di Jakarta merupakan faktor yang paling menghambat. Pengembangan kecakapan ini tidak bisa serta merta diadakan, perlu waktu dan penyesuaian. Pengembangan tarif, sistim dan administrasi pajak, diadakan berlandaskan pada hasil-hasil study perbandingan yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pajak di berbagai negara Asia. Ia mengembangkan berbagai-bagai ukuran yang kemudian dijadikan pedoman untuk menyesuaikan tarif perpajakan. (16)

Demikianlah maka sumber-sumber utama pendapatan daerah berupa pajak tontonan, pajak pembangunan I, SWP3. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Ireda atau Ipeda dikembangkan atas dasar azas yang telah diutarakan di atas. Dengan perkembangan keadaan, penyempurnaan sistim dan administrasi pajak ini terus menerus pula saya adakan, kesulitan bimyak saya hadapi, karena beberapa di antara kewenangan penertiban ini sebenarnya merupakan kompetensi pemerintah pusat.

Ambillah satu contoh. Pajak-pajak seperti Bea Balik Nama Tanah, misalnya akan merupakan sumber potensil di kota. Tetapi sampai saat ini belum digarap sebagaimana mestinya, karena pajak tersebut dianggap sebagai wewenang Pemerintah Pusat untuk memungut.

Pembaharuan di Lapangan Perpajakan: Seperti telah diutarakan, situasi perpaja kan di Jakarta tahun 1966 sungguh sangat menyedihkan. Demikian pula keadaan aparat perpajakan pada waktu itu sangat lemah; baik dari sudut jumfah dan mutu personalia maupun sarana perlengkapan administratif. Di lain pihak terdapat peraturan-peraturan perpajakan yang sama sekali tidak sesuai lagi dengan keadaan, niat dan kesadaran wajib pajak yang rendah sekali, serta kemampuan fiskus yang menurun.

Menghadapi tantangan demikian ini, saya dengan penuh kesungguhan dan secara sistimatis sejak tahun pajak 1966, mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Pembaharuan itu meliputi penyesuaian-penyesuaian sistim pemungutan pajak dan penyesuaian tingkat tarip-tarip pajak dengan perkembangan inflasi dan kemampuan wajib pajak. Langkah-langkah ini diambil serentak dengan usaha meningkatkan kemampuan aparatur perpajakan. Kursus-kursus peningkatan keterampilan dikembangkan. Saya juga mengirimkan pegawai-pegawai pajak untuk dididik pada lembaga-lembaga pendidikan perpajakan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat.

Menyadari keterbatasan kemampuan aparat pada waktu itu, saya usahakan pula menyesuaikan sistim perpajakan dengan penggeseran kewajiban-kewajiban, tata administratip dari aparat perpajakan kepada wajib pajak sendiri. Kebijaksanaan ini membantu mempercepat pemasukan pajak-pajak Daerah. Satu hal yang kiranya perlu dicatat adalah perlunya dikembangkan kemampuan untuk melihat kesempatan yang positif untuk merubah keadaan yang kritis itu.

Pada waktu itu, sambil berjalan segera pula dilaksanakan perbaikan susunan organisasi aparat perpajakan dan ditetapkan tugas-tugas pokok serta tujuannya. Dalam periode pemerintahan saya telah diadakan reorganisasi Bagian Pajak menjadi Urusan pada tahun 1966 dan ditingkatkan lagi menjadi Dinas Pajak dan Pendapatan Daerah pada tahun 1968. (17)

Tugas-tugas pokok yang merupakan tujuan daripada Dinas Pajak DKI Jakarta adalah sebagai berikut: Mengatur pengenaan pajak daerah dengan sebaik-baiknya; Memungut dan memasukkan uang pajak daerah dengan sebaik-baiknya; Mengurus dan menyelesaikan sengketa pajak daerah dengan sebaik-baiknya; Merencanakan peraturan-peraturan pajak daerah.

Untuk mencapai tujuan tugas-tugas pokok tersebut di atas, maka dibentuklah "susunan dan bentuk organisasi" Dinas Pajak DKI Jakarta yang baru. (18)

Pelaksanaan dekonsentrasi pemungutan pajak, kepada unit-unit pelaksana, yang telah dimulai pada tahun 1964 dikembangkan pelimpahannya ke Suku-suku Dinas di tingkat Wilayah Kota pada tahun 1967. Usaha ini disertai pula dengan pembinaan aparat melalui pelaksanaan program pendidikan dan latihan pegawaipegawai. Kegiatan ini terutama ditunjang oleh fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Departemen Keuangan.

Kemudian melalui kerjasama dengan berbagai instansi yang mempunyai hubungan dengan perpajakan, pada tahun 1966 komponen pajak daerah sebagai sumber penerimaan daerah untuk DKI Jakarta telah menjadi sumber-sumber keuangan yang utama di antara sumber-sumber penerimaan lainnya. Bahkan untuk tahun-tahun berikutnya realisasi penerimaan senantiasa melampaui target yang ditetapkan. (19)

Hasil-hasil yang di capai dalam proses pembangunan dan pelayanan masyarakat telah memberikan pengaruh kepada wajib-wajib pajak. Saya buktikan dengan nyata bahwa kewajiban mereka untuk membayar pajak diimbangi dan dikembalikan dengan perbaikan yang nyata dalam pelayanan. Oleh karena itu rehabilitasi dan pembangunan jalan-jalan, sekolah-sekolah dan pembangunan fisik lainnya, kini banyak menempati prioritas utama yang merangsang wajib pajak melunasi hutang pajaknya sebelum jatuh waktunya.

Usaha-usaha rehabilitasi dan pembangunan itu, telah pula menciptakan iklim yang mendorong meluasnya obyek pajak. Jumlah bioskop meningkat dari 33 buah pada tahun 1966 menjadi 125 buah pada tahun 1976. Pertambahan ini dikarenakan rehabilitasi bioskop-bioskop yang sudah ditutup maupun pembangunan-pembangunan baru. Peningkatan jumlah bioskop dan tempat-tempat hiburan lainnya, telah menambah pula jumlah pajak tontonan.

Meningkatnya jumlah kendaraan-kendaraan bermotor baru menambah penerimaan SWP3D dan BBN. Berkembangnya usaha perhotelan dan restoran yang bertaraf internasional, juga menambah penerimaan pajak pembangunan I. Meningkatkan pemasukan pajak yang penting artinya seperti SWP3D & BBN ini tidak lepas dari pengembangan kerjasama dengan instansi lain yang erat hubungannya dengan masalah kendaraan bermotor.

Kerjasama dengan instansi-instansi yang mengurusi kendaraan bermotor seperti Direktorat Bea Cukai Departemen Keuangan, Departemen Luar Negeri dan terutama sekali dengan Kepolisian saya kembangkan dan lembagakan.

Dalam pada itu, untuk mempermudah aparat pajak melaksanakan tugasnya sehingga pelayanan pada wajib pajak lebih cepat, saya sempurnakan cara penyusunan tabel-tabel nilai jual kendaraan bermotor menurut jenis, merek dan tahunnya selengkap mungkin. Kesesuaian angka perpajakan selalu saya amati dengan cara saling mencocokkan angka-angka antara Bendahari Kota, Dinas Pajak dan Kepolisian terhadap pelunasan BBN, sehingga usaha-usaha pemalsuan BBN mudah diketahui.

Intensifikasi dan Ekstensifikasi Sumber Pembiayaan: Intensifikasi perpajakan pada permulaannya mengalami kesukaran terutama dalam bidang administrasi dan pelaksanaannya. Kesukaran-kesukaran itu dapat diatasi dengan mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan serta dengan penerangan-peneranan yang intensif. Harus diakui bahwa iklim perekonomian yang belum baik pada waktu itu telah membatasi usaha-usaha intensifikasi maupun ektensifikasi sumber-sumber keuangan daerah yang berupa pajak-pajak, retribusi dan lain-lain. Menghadapi masalah ini langkah pertama yang saya tempuh ialah mengamati secara seksama seluk-beluk persoalan ini lewat pembantu Panitia Penggali Sumber-sumber Keuangan. (20)

Kemampuan Pemerintah DKI Jakarta dalam usaha menggali sumber-sumber dana masih belum seimbang dengan jumlah kebutuhan pembiayaan yang diperlukan. Khususnya dalam pemeliharaan sarana-sarana kota yang sudah ada, serta pembangunan sekolahsekolah dasar yang pada waktu itu sangat terasa kekurangannya.

(14) Kerjasama dengan Polantas untuk memperoleh data wajib pajak kendaraan bermotor, melakukan penindakan terhadap penunggak pajak bagi Pajak Kendaraan Bermotor; Kerjasama dengan bea cukai dan Sekneg untuk memperoleh data lengkap tentang kendaraan bermotor yang diimpor; Dengan Departemen Keuangan dalam melakukan penyesuaian tarif, bimbingan tentang tertib perpajakan dan sebagainya.
(15) Lihat Peraturan Daerah Kotapraja Jakarta Raya untuk menetap dan memungut Pajak Kendaraan dan Alat Pengangkutan; Penetapan Dewan Perwakilan rakyat Daerah Peralihan Kotapraja Jakarta Raya; Lembaran Daerah No. 23 Tahun 1959 tanggal 14 Agustus 1957.
(16) Lihat Arsyad Siagian, Pajak Daerah sebagai sumber Keuangan Daerah. Suatu Perbandingan Tokyo, Manila, Bangkok, DKI Jakarta, Dinas Pajak & Pendapatan, 1969.
Arsyad Siagian. Prinsip Perpajakan Daerah Organisasi dan Administrasi serta masalah yang ada di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Jakarta, Dinas Pajak dan Pendapatan, 1970.
(17) Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 3 Desember 1968 No.lb.3/2/48/68 (Lembaran Daerah No. 82 Tahun 1968) juncto Keputusan Gubernur KDKI Jakarta tanggal 22 Juni 1966 No.8.6/6/52/1966 tentang perubahan struktur Organisasi Sekretariat Daerah Khusus Ibukota Jakarta (LD. No. 6 Tahun 1966).
(18) Terakhir sesuai dengan pengarahan Dep. Dalam Negeri, susunan organisasi ini diatur kernbali dengan SK Gubernur DKI Jakarta tanggal 1 Juli 1976 No. B. VII-5851/a/1/1976 tentang Susunan Organisasi Dinas Pajak DKI Jakarta.
(19) Lihat laporan Dinas Pajak dan Pendapatan DKI Jakarta tahun 1974/1975.
(20) SK. Gubernur tentang Pembentukan peraturan penggali Sumber-sumber Keuangan Daerah.
Lihat: Himpunan Peraturah Perpajakan/Retribusi DKI Jakarta; Proyek Penelitian dan inventarisasi Hukum Pemerintah DKI Jakarta. Jakarta, Biro V, 1975.

Sumber:
Ali Sadikin. "Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Penggunaan Dana Bagi Pembiayaan Daerah" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.) hlm. 345-351.

No comments:

Post a Comment