Wednesday, November 28, 2012

Pajak Judi: Ada undang-undangnya, ada sasarannya


Satu hal yang pernah menggegerkan sewaktu kami menggali sumber keuangan untuk kepentingan masyarakat itu, yakni judi: Mulanya saya tahu, bahwa judi itu ada di Jakarta. Saya tahu pasti. Malahan saya tahu persis bahwa di belakangnya ada oknum-oknum tertentu yang melindunginya, yang hidup daripadanya, tanpa bayar pajak pula.

Maka saya bicara dengan Pak Djumadjitin. Saya tanyakan kepadanya apakah ada aturan-aturan dan hukum-hukumnya mengenai judi di Jakarta ini.

"Ada," jawab Pak Djumadjitin.

Dari Pak Djumadjitin saya pun jadi tahu, bahwa Pak Sumarno, bekas Gubernur, juga sudah pernah punya rencana untuk mengadakan judi, mengadakan Lotto. Tapi, rupanya, beliau ragu, menenggang Bung Karno waktu itu, sehingga beliau tidak sempat melaksanakannya.

"Mengenai judi," kata Pak Djumadjitin yang ahli hukum itu, "kekuasaannya ada pada Kepala Daerah, sesuai dengan perundang-undangan."

Saya merasa mempunyai kekuatan. Saya merasa diberi pegangan, mempunyai dasar hukumnya dengan mendengar keterangan dari Pak Djumadjitin. Terbuka pikiran saya. "

Saya akan menertibkan perjudian itu," kata saya di depan Pak Djumadjitin. "Dari judi saya akan pungut pajak," tambah saya.

Pak Djumadjitin mengangguk. Membenarkan.

"Itu semua legal, kan?" kata saya.

"Legal. Ada hukumnya. Boleh. Bisa," Pak Djumadjitin meyakinkan. "Ada undang-undangnya. Ada peraturannya." Ada Undang-Undang No. 11 tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas izin perjudian. Hanya Gubernur-Gubernur lain tidak berani melakukannya.

"Saya berani," kata saya. "Untuk keperluan rakyat Jakarta, saya berani."

Saya berpikir kemudian mengenai caranya. Bagaimana caranya? Itu yang saya pertanyakan.

"Mesti orang Cina," kata Pak Djumadjitin. "Undang-undang menetapkan, bahwa Kepala Daerah bisa memberikan izin kepada seorang bandar Cina, karena judi dianggap sudah merupakan budaya Cina. Dan yang boleh berjudi itu hanya orang Cina."

"Jadi lebih baik disahkan saja daripada dibiarkan liar dan tidak menghasilkan apa-apa untuk pemerintah, untuk rakyat. Kan begitu?" kata saya.

Pak Djumadjitin membenarkan.

Keterangan berikutnya menetapkan pikiran saya, bahwa saya tidak perlu menghubungi Menteri, misalnya Menteri Sosial waktu itu untuk hal ini. Tidak perlu.

Langkah berikutnya saya menemui Penjabat Presiden Soeharto untuk melaporkan saja, bahwa saya akan mengesahkan judi di Jakarta, karena undang-undangnya ada. Saya tidak meminta persetujuan.

Walikota Sudiro dulu juga pernah berkeinginan mengadakan casino di Pulau Edam, di teluk Jakarta, tapi partai-partai agama gigih menolaknya. Gubernur Dr. Sumarno Sosroatmodjo juga mengatakan bahwa tiap Gubernur menginginkan diadakannya casino di wilayah Jakarta untuk pembangunan Jakarta. Dr. Sumarno pernah mempelopori usaha Lotto. "Tapi Ali Sadikin berhasil menggolkannya," katanya. Memang pada masa jabatannya sekitar tahun 60-an, usaha-usaha yang dikatakan maksiat itu sangatlah tidak menarik hati orang, serta merta mendapatkan tentangan.

Saya menjelaskan, ada empat atau lima tempat di Jakarta yang menjadi tempat perjudian, yang dilindungi oleh oknum-oknum ABRI yang mencemarkan nama ABRI.

Saya sengaja tidak meminta persetujuan Penjabat Presiden untuk usaha judi, dengan pikiran, bahwa saya tidak mau memberatkan Penjabat Presiden dalam hal ini. Saya pikir, kalau nanti terjadi apa-apa berhubungan dengan soal judi ini, maka ini adalah tanggung jawab saya sebagai Gubernur yang mensahkannya. Saya mau menyelamatkan orang-orang lain dan tidak mau menyeret orang lain.

Benar, keputusan saya mengenai judi itu banyak yang menentang. Saya akui juga, bahwa judi itu haram. Agama apa pun mengatakan begitu. Tetapi, judi ini saya atur hanya untuk kalangan tertentu. Orang-orang yang dalam way of life-nya tak bisa hidup tanpa judi. Dan untuk itu mereka pergi ke Macao. Nah, saya pikir, untuk apa mereka menghambur-hamburkan uang di Macao. Lebih baik untuk pembangunan di Jakarta saja. Dan waktu itu saya jelaskan, bahwa DKI memerlukan dana untuk membangun jalan, sekolah, puskesmas, pasar dan lain-lain. Tapi, yang tidak setuju toh tetap ada. Kepada mereka saya bilang, "Bapak-bapak, kalau masih mau tinggal di Jakarta, sebaiknya beli helikopter. Karena jalan-jalan di DKI dibangun dengan pajak judi." Nah, cara semacam itu, yang membuat orang kemudian tertawa.


Jadi tak selamanya harus keras.

Juga saya tidak minta persetujuan dari DPRD mengenai hal ini. Tidak, tidak pernah. Pikir saya, kalau meminta persetujuan DPRD, malahan akan menyulitkan mereka.

Secara politis dan secara moral para anggota DPRD itu tentunya tidak akan menyetujui tindakan saya. Saya paham benar. Jadinya, saya cuma memberitahukan saja kepada mereka.

Lotto (Lotere Totalisator)
sumber: Djakarta through the ages, hlm. 121
Maka kemudian saya lakukan. Saya sahkan judi itu. Mulai dengan Lotere Totalisator, Lotto, mencontoh dari luar negeri. Lalu dengan macam-macam judi lainnya. Sampai kepada Hwa-Hwe. Dalam pada itu saya jelaskan, bahwa hanya orang Cina yang dibolehkan judi. "Orang kita tidak boleh judi. Apalagi orang Islam!" seru saya. "Haram bagi orang Islam main judi!" Jadi judi yang diselenggarakan Pemerintah DKI hanya bagi golongan tertentu saja.

Jelas, berulang kali saya jelaskan: "Kalau ada umat Islam yang berjudi, itu bukan salah Gubernur, tetapi keislaman orang itu bobrok. Dan sebagai umat Islam saya sendiri sama sekali tidak pernah berjudi."

Ternyata orang-orang Indonesia pribumi tidak bisa mengendalikan diri sehingga ikut bermain Hwa-Hwe yang sebenarnya diperuntukkan bagi warga negara asing (atau orang-orang keturunan Cina yang biasa berjudi).

Sementara itu saya mesti mengakui bahwa volume pembangunan ibukota di akhir 1969 itu tidak sebesar dulu ketika Hwa-Hwe masih dibuka.

Yang patut diingat benar adalah, bahwa hasil judi itu saya masukkan ke dalam APBD, dalam kelompok penerimaan khusus. Dan para anggota DPRD bisa mengontrol ke mana hasil judi itu larinya. Hasil judi itu dipakai untuk kepentingan masyarakat Jakarta. Semua menikmatinya, karena pajak dari sana dipakai untuk pembiayaan pembangunan, pembangunan di bidang pendidikan, di bidang sosial, di bidang sarana, dan di pelbagai macam bidang, sampai-sampai di bidang pembangunan mental dan kerohanian. Dan bukan untuk pembiayaan rutin. Dengan uang itu Pemerintah DKI bisa membangun gedung-gedung sekolah dasar yang pada waktu itu sangat dirasakan kurang, perbaikan dan pemeliharaan jalan, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas perkotaan, fasilitas kebudayaan dan lain-lain.

Izin judi dilakukan melalui tender, dengan tujuh orang yang mengikutinya. Baru si Apyang dengan si Yo Putshong muncul menjadi pemenang. Saya tidak pernah mengenal mereka sebelumnya.

Waktu saya ke Manila, dua kali saya diterima oleh Presiden Marcos. Pertama kali ia sedang mengadakan pertemuan dengan para walikota dan Gubernur. Saya diterima di ruang sidang, di istananya, dan didudukkan Disampingnya, diperkenalkan kepada hadirin dengan disebutkan bahwa saya ini adalah Mr. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Jakarta Raya, Ibukota Republik Indonesia. Di situlah Presiden Marcos bicara mengenai soal casino di Jakarta, karena waktu itu di Philipina hal itu masih tabu, karena Katolik berkuasa di sana. Maka saya jelaskan apa adanya. Pertama saya memerlukan duit untuk mengelola Jakarta, untuk pembangunan, dan kedua judi itu memang sudah ada di Jakarta, dan undang-undangnya juga ada. Daripada kami tidak menarik apa-apa dari judi yang ada itu, kata saya, lebih baik kami sahkan saja tapi bisa menarik untung untuk pemerintah dan dipakai untuk pembangunan. Presiden Marcos manggut-manggut. Maka selanjutnya Marcos mengundang pertama-tama orang Hongkong. Dan kemudian membuka perjudian di sana. Begitulah Manila meniru Jakarta. Kedua kali, malamnya, saya diundang makan. Mr. Farolan, Dubes Philipina hadir di sana. Kemudian, diajak ke "Taman Mini" Manila dan untuk ketiga kalinya saya bertemu dengan Presiden Marcos dan ibunya Marcos.

Berpikir mengenai judi, di tahun '71 saya suka ingat pada keadaan di Malaysia. Dan itu saya kemukakan juga. Mengapa umat Islam di Kuala Lumpur tampak seperti mempunyai pandangan yang lebih luas mengenai judi? Mereka seperti lebih dewasa dalam hal ini.

Setelah saya mengizinkan judi, menerbitkan perjudian dan memungut pajak dari sana, orang yang tidak suka kepada kebijaksanaan saya itu menyebut saya "Gubernur Judi" atau malahan "Gubernur Maksiat". Malahan sampai-sampai ada yang menyebut isteri saya "Madam Hwa-Hwe". Apalah kesalahan isteri saya dengan kebijaksanaan yang saya ambil? Isteri saya "kena getahnya". Tetapi, apa boleh buat. Kalau berani berbuat, harus berani pula bertanggung jawab. Saya harus berani berkorban untuk menyelamatkan orang banyak ini semua karena saya ingin menciptakan pembangunan buat Jakarta. Tidak mau melihat anak-anak keluyuran tidak sekolah. Tidak mau menyaksikan jalan-jalan bopeng, saluran-saluran mandek, beberapa rumah sakit seperti mau runtuh, dan sebagainya.

Di tahun '73, judi di Jawa Tengah dan di Jawa Barat dinyatakan dilarang oleh Kopkamtib.

Maka para wartawan menemui saya. Mereka bertanya apa reaksi saya dengan dilarangnya judi di propinsi-propinsi lain oleh Kopkamtib itu.

"Soal itu tergantung pada Kopkamtib," jawab saya. Tapi saya didorong-dorong terus, dan hati saya meluap jadinya.

"Kalian seperti beo saja," kata saya menjawab dorongan mereka. "Pemerintah bicara judi, kalian juga ikut-ikut bicara soal judi. Apa maunya?"

Saya tidak menunggu orang bicara lagi. Memang saya merasa didesak. Lalu saya berkata, "Judi dan perjudian di kota Jakarta ini resmi berdasrkan undang-undang. Dus, legal. Lebih baik perjudian itu resmi daripada sembunyi-sembunyi. Kalau secara gelap-gelapan, siapa yang mengambil untungnya? Ayo, jawab. Siapa yang untung kalau gelap-gelapan?"

Saya dengar ada yang menjawab, dan dia tepat. Tentunya yang mem-back-nya, oknum yang bergantung pada yang punya kekuasaan.

Lalu saya berondongkan isi hati saya. Dari hasil pajak judi. itu Pemerintah Daerah Jakarta bisa membangun gedung SD sekian, SLP sekian, SLA sekian, memperbaiki kampung, membikin jalan dan lain-lain. Dan kalau judi dihapus di Jakarta, apakah sanggup Pusat menyediakan uang bermilyar-milyar, kurang lebih 20 milyar rupiah sebagai gantinya? Jangankan yang itu, soal perimbangan keuangan yang diminta oleh DKI saja masih belum berhasil, kata saya.

"Masalah membangun dan mensukseskan PELITA tidak cukup hanya dengan sekedar gembar-gembor saja. Itu mesti dengan uang," teriak saya.

"Coba, apakah itu anak-anak muda yang menamakan dirinya generasi muda sanggup kentut yang bisa menghasilkan uang bermilyar rupiah? Ayo, coba!" saya marah. Memang saya merasa didorong dan menjadi marah.

Waktu itu saya ingat, kemarinnya ada beberapa orang anak muda yang menamakan dirinya sebagai "Generasi Muda" mendatangi Kopkamtib, menyatakan dukungan dan terima kasih, sebab Kopkamtib telah melarang judi di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lalu mereka pergi ke Senayan.

Sementara itu saya ingat, bahwa di Sydney, Australia, dibolehkan orang menyelenggarakan judi. Sebagai satu-satunya kota di Australia, kota Sydney dibolehkan mengadakan judi.

Jakarta punya sifat khusus yang tidak sama dengan Bandung, tidak sama dengan Semarang, tidak sama dengan Surabaya. Nah, di Jakarta bisa saja dibolehkan judi, kan? pikir saya.

Saya jalan, hendak masuk kamar kerja. Tapi unek-unek saya masih terasa. Saya membalikkan muka lagi dan berkata kepada para wartawan itu: "Dua orang pernah bilang, daripada judi lebih baik pakai zakat fitrah saja guna mencari uang buat pembangunan. Tapi apa hasilnya? Cuma dapat berapa? Tidak lebih dari lima belas juta rupiah tahun lalu (1972). Setelah saya kerja keras, jumlahnya naik jadi Rp. 75 juta lebih. Cuma sebegitu."

Di kota Sydney, satu-satunya kota di Australia yang boleh mengadakan judi, ada kurang lebih 5.000 mesin jackpot. Tapi untuk Jakarta, saya batasi mesin jackpot itu, tidak boleh lebih dari 500 buah mesin.

Begitulah kenangan mengenai judi di Jakarta di antara banyak lagi pengalaman yang terlupakan selama menceritakannya.

Sumber:
Ramadhan, K.H., "Pajak judi: ada undang-undangnya, ada sasarannya" dalam Bang Ali : Demi Jakarta 1966-1977. hlm. 63-68. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992.

No comments:

Post a Comment