Tuesday, November 6, 2012

Gita Jaya 9B : Subsidi Perimbangan Keuangan

IX.B. Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Subsidi Perimbangan Keuangan

Pemerintah DKI Jakarta baik lewat saya selaku Gubernur. Kepala Daerah maupun melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berkali-kali menyampaikan surat dan petisi kepada Pemerintah Pusat untuk meninjau kembali penetapan jumlah subsidi perimbangan keuangan bagi DKI Jakarta secara adil berdasarkan kondisi obyektif Jakarta sebagai Ibukota Negara. (5)

Pokok-pokok pikiran yang mendasari petisi tersebut adalah sebagai berikut: Sumber hukum utama dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 itu disebutkan bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib pemerintahan, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu dibagi ke dalam daerah besar dan daerah kecil. Demi terselenggaranya tertib pemerintahan maka disusunlah pengaturan tentang hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Selanjutnya di dalam Garis Besar Haluan Negara (Tap MPR No. IV /MPR/73) ditetapkan bahwa dalam rangka melancarkan pelaksanaan Pembangunan dan membina kestabilan politik dari kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan, didasarkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Sebagai akibat daripada pemancaran kekuasaan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat kepada Pemerintah-pemerintah Daerah diperlukan sumber-sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab yang diserahkan kepada daerah itu. Sumber-sumber ini garis besarnya dinyatakan dalam undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, (6) yang berbunyi sebagai berikut: Pendapatan asli daerah sendiri yang terdiri dari: (1) hasil pajak daerah, (2) hasil retribusi daerah, (3) hasil perusahaan daerah, (4) lain-lain hasil usaha daerah yang sah. Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah Pusat yang terdiri dari: (1) sumbangan dari Pemerintah, (2) sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan undang-undang. Dan lain-lain pendapatan yang sah.

Selanjutnya dalam Undang-undang tersebut dinyatakan pula bahwa "Dengan Undang-Undang, sesuatu pajak Negara dapat diserahkan kepada daerah". Dari perincian tersebut di atas, jelas terlihat bahwa Disamping daerah-daerah diberi hak mempunyai sumber-sumber keuangan daerah sendiri berupa pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, diberikan pula sumber-sumber keuangan berupa bagian dari pendapatan negara untuk mencukupi sebagian biaya yang diperlukan oleh daerah. Pengaturan mengenai masalah perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah itu berdasarkan pasal 57 Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah perlu dituangkan dalam bentuk perundang-undangan. Asas pengaturan itu secara umum harus dapat menjamin pelaksanaan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

Untuk itu diperlukan adanya keseimbangan antara tugas dan tanggung jawab yang dilimpahkan kepada daerah dengan sumber-sumber keuangan yang disediakan. Dilihat dari kepentingan pelaksanaan otonomi itu undang-undang tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah haruslah dapat:

Menjamin keuangan daerah secara sehat; mendorong ke arah terselenggaranya usaha untuk menyehatkan rumah tangga daerah; mendorong daerah untuk mengintensifkan sumber-sumber pendapatan daerah dan menggali sumber-sumber pendapatan keuangan baru; memupuk tanggung jawab daerah dalam menyelenggarakan rumah tangga: daerah; supaya daerah lebih teluasa dalam menjalankan pengelolaan administrasi keuangan untuk memenuhi tanggung jawabnya.

Kelima tujuan tersebut saya pikir harus menjiwai semangat dan isi pasal-pasal yang akan dituangkan dalam Rancangan undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang kini sedang disiapkan. (7)

Pengaturan lebih lanjut daripada sumber-sumber penerimaan daerah ini harus dapat menjamin agar tujuan pemberian otonomi pada daerah untuk menciptakan Pemerintah Daerah yang kuiatt stabil, tertib, berwibawa, efektif dan efisien benar-benar dicapai. Pada asasnya sumber-sumber penerimaan daerah haruslah seimbang dan merupakan pencerminan dari luasnya perlimpahan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Pemerintah Daerah. Malahan di dalam beberapa hal sejauh mungkin bagi setiap pelimpahan sesuatu tugas dan tanggung jawab pelayanan (services) keuangan yang dapat digunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan tugas-tugas pelayanan tersebut. Misalnya tugas dan tanggung jawab pemeliharaan prasarana jalan disertai dengan penyerahan kepada daerah pajak atas kendaraan bermotor. Apabila sumber pembiayaan itu tidak mencukupi bagi penyelenggaraan tugas pelayanan yang bersangkutan maka sisanya ditutup dengan pemberian (subsidi) Pemerintah, sebagai sumber penerimaan kedua di atas.

Azas Keseimbangan : Sumber-sumber penerimaan daerah didasarkan pada azas keseimbangan antara kemampuan keuangan dengan lingkup pelayanan yang menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah tidak selalu dapat diikuti dengan pemberian sumber-sumber pembiayaan sebagaimana mestinya. Baik dalam bentuk penyerahan jenis-jenis pajak yang berhubungan dengan pelayanan tersebut maupun peningkatan besarnya subsidi.

Sebagai contoh pengembangan pembinaan dan pelayanan atas fasilitas ruangan/pembangunan gedung di suatu daerah sebahagian terbesar menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Sebaliknya pajak penjualan atas persewaan ruangan dan pajak-pajak atas harta tetap berupa IPEDA dan BBN atas tanah masih merupakan lapangan pajak dan pajak pusat yang belum diserahkan kepada daerah. Pengelolaan atas kegiatan di bidang jasa-jasa (service) disuatu daerah pada azasnya lebih merupakan tugas dan tanggung jawab daerah, sebaliknya pajak penjualan untuk jasa-jasa masih merupakan pajak pusat.

Sementara itu terdapat pula jenis-jenis pelayanan yang menurut sifatnya, walaupun secara formil merupakan tanggung jawab Pemerintah Pusat tetapi dalam kenyataannya keterlibatan Pemerintah Daerah dalam pemberian pelayanan dan pembinaannya tidak dapat diabaikan. Dalam keadaan demikian diperlukan adanya pengaturan sedemikian rupa yang memungkinkan penyerahan sebahagian dari pajak atas kegiatan-kegiatan yang mempunyai sifat semacam itu, sehingga adanya bahagian tugas dan tanggung jawab yang dipikul oleh Pemerintah Daerah itu dapat disertai dengan sumber pembiayaan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh misalnya pajak atas perseroan, pajak penjualan dan sebagainya. Adapun lapangan pajak daerah di Indonesia yang mungkin untuk digali sebagai sumber keuangan diatur dalam pasal 12 Undang-undang Darurat No. 11 Th. 1957 yang berbunyi "lapangan pajak daerah adalah lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh negara". (8)

Bila diteliti lebih lanjut maka lapangan pajak yang tersisa untuk Pemerintah Daerah di Indonesia pada dewasa ini, sungguh sangat terbatas dan tidak memungkinkan untuk menutup bahagian yang memadai dari anggaran belanja Pemerintah Daerah. Hal ini akan terlihat dari data-data pendapatan daerah di mana hasil pungutan pajak daerah, retribusi dan opcenten hanya dapat menutup sebahagian kecil dari anggaran belanja Pemerintah Daerah.

Dalam struktur penerimaan Daerah juga akan terlihat bahwa pada umumnya sumbangan sektor pajak daerah ini tidaklah memadai. Berlainan dengan di Jepang misalnya, di mana lapangan pajak daerahnya adalah jauh lebih besar, karena hampir semua lapangan pajak dibagi sama antara Pemerintah Pusat, Propinsi (Perfectures) dan Kabupaten/Kotamadya (Municipal). (9) Oleh karena itu, sebelum kita melangkah pada penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah (Pusat) dan Daerah, maka perlu diadakan inventarisasi atas jenis, potensi dan realisasi hasil pungutan dari semua pajak-pajak negara dan pajak daerah yang ada. Melalui inventarisasi tersebut akan diperoleh gambaran bagaimana sumber-sumber pendapatan negara dan lapangan perpajakan dalam kenyataan dialokir antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hasil inventarisasi itu kemudian dibandingkan kepada daerah baik dalam rangka swatantra (otonomi) maupun sertatantra (medebewind). (10)

Dasar Penentuan Besarnya Subsidi : Pada azasnya tata hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah itu dapat berpedoman pada 2 azas, yaitu:

1. Azas pemberian menurut kebutuhan daerah masing-masing yaitu sebesar selisih Rencana Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah yang disahkan oleh pusat. 2. Pemberian yang didasarkan menurut prosentase dari masing-masing sumber keuangan negara yang dipungut dari suatu daerah dan dibagi antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya.

Di dalam praktek kedua azas tersebut, tidak dapat dilaksanakan secara konsekwen karena berbagai hal. Namun secara konsisten dapat kita amati adanya beberapa dasar penentuan pembagian pendapatan negara yang diserahkan kepada daerah-daerah selama ini. Dasar-dasar itu antara lain : (11) Ditetapkannya secara global (garis besar) suatu prosentase tertentu dari penerimaan pemerintah pusat yang diserahkan kepada daerah (30%). Pada Rancangan Undang-undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah Swatantra tahun 1967 dan sejumlah prosentase tertentu dari penerimaan pajak negara dalam Undang-undang No. 36 Tahun 1956. (12) Azas pembagian besarnya subsidi itu kepada daerah-daerah berdasarkan indeks yang mencerminkan faktor-faktor riil yang mempengaruhi keadaan keuangan daerah (luas daerah, jumlah penduduk, potensi perekonomian, panjang jalan dan sistem pengairan, dan lain sebagainya); Azas sumbangan khusus yang didasarkan atas pertimbangan keadaan dan masalah tertentu yang penyelesaian dan penampungannya jauh melampaui kemampuan keuangan daerah (kedudukan khusus daerah, bencana alam, proyek khusus).

Sebaliknya dari dasar-dasar penentuan yang dikembangkan tersebut Pemerintah Daerah selama ini tidak dapat mengetahui dengan pasti besarnya penerimaan. juga cara perhitungan yang pasti dalam menghitung subsidi yang akan diberikan oleh Pemerintah pada suatu tahun anggaran tertentu tidak diketahui. Hal ini menghambat proses penyusunan program kerja maupun proses penyusunan anggaran belanja dan pendapatan daerah dari tahun ke tahun. Dewasa ini praktek pelaksanaan alokasi dari pembagian pendapatan negara yang diserahkan kepada daerah ini memberikan prioritas pada daerah-daerah produsen serta daerah-daerah yang memberikan pelayanan yang dikatagorikan ke dalam jenis pelayanan jasa. Di dalam praktek, kriteria pembagian lebih lanjut imbangan antara besarnya pemberian (subsidi) kepada daerah produsen dan daerah pemberi jasa ini tidak nyata-nyata dapat digariskan.

Sedangkan yang disebut pelayanan jasa-jasa tersebut, dalam praktek meliputi pemberian jasa di bidang pemasaran, produksi pengolahan maupun angkutan/lalu lintas. Pemberian jasa pada sektor-sektor tersebut pada suatu daerah dapat merupakan beban pelayanan bagi daerah tersebut; baik dalam bentuk pengembangan prasarana, pengelolaan sistim, maupun penanggulangan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya.

Umumnya fungsi sebagai daerah pemberi jasa pemasaran, produksi pengolahan maupun angkutan lalu lintas tersebut harus ditanggung oleh kota-kota besar di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini harus dicari nilai perbandingan yang dapat digunakan sebagai dasar alokasi tersebut. Menemukan faktor alokasi untuk produksi di satu pihak dan jasa di bidang pemasaran, produksi dan angkutan/lalu lintas di pihak lain dapat berpedoman pada angka-angka pendapatan regional suatu daerah (dari data trade margin, misalnya) serta volume arus barang dan jasa baik ke luar negeri ataupun antar daerah.

Kedudukan Khusus Jakarta : Dalam hubungan dengan penentuan besarnya pemberian (subsidi) Pemerintah kepada daerah-daerah seperti tersebut di atas, maka agar diperhatikan bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta mempunyai kedudukan yang khusus sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. (13) Dalam penjelasan itu ditegaskan Jakarta mempunyai ciri-ciri dan kebutuhan yang berbeda dengan DATI SATU lainnya. Undang-undang ini juga mengukuhkan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1964 yang secara implisit mengandung pengertian politis bahwa pembinaan ibukota negara tidak cukup semata-mata diserahkan daerah, tetapi sudah selayaknya mendapatkan perhatian pada tingkat pemerintah nasional. Oleh karena itu pengaturan alokasi anggarannya perlu pula memperhatikan kedudukan khusus Jakarta sebagai ibukota negara yang dalam kenyataannya mempunyai peranan nasional maupun lokal.

Sedangkan asas pemberian subsidi atas daerah-daerah yang mempunyai kedudukan khusus, harus benar-benar mencerminkan urgensi kebutuhan sesuai dengan ciri kekhususan suatu daerah, dengan jalan menyediakan secara wajar bagian (porsi) dari pemberian (subsidi) Pemerintah Pusat dimaksud. Adapun kelemahan fundamentil lainnya dari pemberian (subsidi) Pemerintah Pusat kepada daerah yang berjalan dewasa ini, adalah belum dapat diciptakannya suatu sistim yang secara tegas dapat menjamin kepastian besarnya penerimaan pemerintah daerah dalam menyusun program kerja dan anggaran pendapatan dan belanja daerah, padahal ada ketentuan yang mengharuskan tiap-tiap Pemerintah Daerah mesti menyusun program kerja yang dicerminkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah tahunan berdasarkan tahun anggaran yang sama dengan Pemerintah Pusat.

Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah terpaksa menciptakan kriteria sendiri untuk memperhitungkan besarnya subsidi yang diharapkan dari Pemerintah Pusat. Kemelesetan atas perkiraan ini mempunyai pengaruh yang tidak sehat baik administratip maupun politis. Seperti telah diuraikan di muka, unsur subsidi dari Pemerintah Pusat ini bagi sebagian besar daerah merupakan bagian terbesar dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja daerah. Untuk mengatasi masalah ini disarankan agar dalam penyusunan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang baru, suatu Peraturan Pelaksanaannya dapat disusun formula yang pasti. Formula itu digunakan sebagai dasar perhitungan besarnya subsidi dari Pemerintah Pusat dan memungkinkan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, secara lebih mendekati pada kenyataan. Disamping itu, perlu dipertimbangkan kemungki nan untuk dapat menyelesaikan perhitungan perkiraan penerimaan Pemerintah Pusat selambat-lambatnya setiap bulan Desember. Berdasarkan angka ini serta formula subsidi Daerah tersebut di atas, dapat diperhitungkan perkiraan besarnya subsidi yang dapat diharapkan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah.

Masalah pelaksanaan pemberian subsidi Pemerintah kepada Daerah-daerah yang dihadapi pada saat ini, adalah bagaimana cara menetapkan sistim dan prosedur pemberian subsidi itu. Untuk mengembangkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, dapat dikemukakan adanya 3 alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menciptakan sistem tersebut yaitu: Penyediaan nilai keseluruhan yang dibutuhkan untuk keperluan subsidi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (katakan 30% dari seluruh penerimaan pemerintah sektor rupiah) untuk kemudian dialokir kepada 26 propinsi di tanah air. Menetapan prosentase tertentu (yang dapat berbeda-beda satu sama lain) bagi tiap-tiap sumber penerimaan yang ditetapkan, secara langsung kepada daerah yang bersangkutan; Penentuan prosentase tertentu dari seluruh penerimaan Pemerintah Pusat sektor rupiah di satu daerah kemudian menyerahkan sebagian hasil perhitungan atas dasar prosentase itu secara langsung kepada daerah bersangkutan, dan selisihnya disediakan untuk sistim dimaksudkan dalam alternatif pertama diatas.

Dari ketiga alternatif tersebut, saya cenderung untuk memilih sistim yang termaktub dalam alternatif terakhir. Dengan sistim ini pelaksanaan perimbangan keuangan masih akan tetap berpegang pada asas pembinaan Negara Kesatuan, pertumbuhan daerah yang pesat dan merata, merangsang inisiatif daerah serta peningkatan pelayanan yang memungkinkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajaknya. Dengan cara ini kemungkinan timbulnya hubungan yang kurang serasi antara Pemerintah Pusat dan daerah dapat dihindarkan.

Selanjutnya alokasi dengan cara demikian dapat pula digunakan untuk merangsang kedewasaan daerah dalam mengelola pemerintahan dan masyarakat di daerahnya. Melalui penyerahan prosentase terteritu dari jenis-jenis pajak yang dinilai oleh Pemerintah Pusat bahwa daerah mulai nyata partisipasinya dalam pembinaan sektor-sektor (ekonomi) yang menghasilkan pajak yang bersangkutan.

Proyek Pusat di Daerah bukan Subsidi: Pada dewasa ini ada kekisruhan pengertian bahwa pelaksanaan proyek pusat secara sektoral dan khusus yang berada di daerah sering dihubungkan, malahan diperhitungkan sebagai bagian dari perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pengertian semacam ini mengkaburkan perimbangan tugas, tanggung jawab dan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bila hal ini dihubungkan dengan pelaksanaan azas otonomi dan dekonsentrasi yang dituangkan dalam Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Proyek-proyek pusat secara sektoral dan khusus yang dilaksanakan di daerah tidak dapat dipisahkan dengan asas pembagian tugas dan tanggung jawab tersebut.

Umumnya proyek-proyek semacam itu mempunyai arti yang vital ditinjau secara nasional, baik politis maupun ekonomi. Dalam beberapa hal kurang mempunyai sangkut paut dengan tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul dan diwujudkan oleh Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, bantuan pemerintah pusat secara sektoral dan khusus kurang tepat untuk diperhitungkan sebagai suatu bentuk perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Ada proyek-proyek sektoral di daerah yang sebenarnya menurut sifatnya merupakan monopoli negara, antara lain pelabuhan udara {airport), listrik dan lain-lain. Untuk sektor-sektor tersebut harus ditangani langsung oleh pemerintah. Juga terdapat proyek-proyek sektoral yang merupakan sarana administrasi dan pembangunan yang digunakan untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan nasional, proyek pembangunan gedung-gedung Departemen, Pusat Komputer dan lain-lain. Dalam pembangunan fasilitas prasararia pun ada proyek sektoral Pemerintah Pusat di daerah, yang ditujukan untuk kepentingan yang jauh lebih luas {seperti jalan-jalan negara). Dalam keadaan demikian, tidaklah tepat untuk memperhitungkan investasi di sektor tersebut sebagai pemberian Pemerintah Pusat kepada daerah sebagai bagian dari perimbangan keuangan.

(5) Memorandum DPRD-GR DKI Jakarta tanggal 30 Nopember 1966; Petisi DPRD-GR DKI Jakarta kepada Pemerintah Pusat dan DPR-GR tanggal 14 Agustus-1968; Petisi II tanggal 17 Juni 1970; Resolusi DPRD-GR tanggal 12 Juli 1968. Op.cit. Bab III (26)
(6) Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tanggal 31 juli 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah pasal 55 dan 56.
(7) Lihat Ali Sadikin "Beberapa Pokok Pikiran tentang Masalah Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Paper yang disiapkan untuk menerima team penyusun Undang-undang Perimbangan Keuangan dari Bappenas dan Departemen Keuangan. Warta BKS-AKSI, V (5/6) Juni-Juli 1974: 2-12.
(8) Undang-undang Darurat No. 11 tahun 1957. Op.cit. pasal 12
(9) Lihat Arsyad Siagian Op.cit, hal 17.
(10) Tentang pengertian Otonomi dan Medebewind lihat penjelasan pasal UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
(11) Lihat Petisi DPRD-GR DKI Jakarta kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tanggal 14 Agustus 1968. Kesimpulan 1-2 (A.1).
(12) Undang-undang No. 32 tahun 1956 tanggal 31 Desember 1956 tentang perimbangan keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah, yang berhak mengurus Rumah Tangga Sendiri (Lembaran Negara No. 77 tahun 1956).
(13) Undang-undang No. 5 Tahun 1974 Op.cit. pasal 6

Sumber:
Ali Sadikin. "Masalah Keuangan Daerah dan Pengawasan atas Penggunaannya : Penggunaan Dana Bagi Pembiayaan Daerah" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.) hlm. 338-345.

No comments:

Post a Comment