Keadaan fisik kota Jakarta sejak permulaan masa jabatan saya sampai sekarang ditandai dengan ketidak seimbangan antara tingkat perkembangan fisik sarana kota dengan kebutuhan penduduknya. Pada kebanyakan, walaupun sarana-sarana tersebut telah tersedia, keadaannya memerlukan perbaikan dalam berbagai tingkatan. Keadaan sosial politikpun pada waktu itu tidak mendorong dapat dikembangkannya Jakarta secara berencana.
Sebagaimana telah saya ungkapkan pada bagian terdahulu, kota Jakarta yang semula direncanakan oleh Pemerintah Belanda sebelum perang hanya untuk menampung 600.000 penduduk, pada tahun 1961 telah berpenduduk 3 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk yang sedemikian besar tidak saja membawa masalah perlunya peningkatan secara kwantitatif sarana kotanya, tetapi juga menimbulkan kebutuhan untuk mengadakan penataan kembali struktur kota secara kwalitatif. Penyesuaian secara kwalitatif ini memperhatikan struktur yang ada dengan menyesuaikannya pada kebutuhan-kebutuhan baru sebagai tempat kerja, pemukiman dan komunikasi.
Kenaikan penduduk tersebut sebagian besar disebabkan karena pendatang dari daerah-daerah di luar Jakarta. Sebagian besar dari mereka ini justru terdiri dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah, yang tidak dapat segera menyesuaikan diri pada kondisi kota Jakarta. Karenanya mereka tidak dapat memecahkan masalah pemukimannya secara baik.(1) Secara liar mereka menempati ruang-ruang terbuka di sela-sela bagian kota yang terbangun. Mereka dirikan bangunan perumahan dengan bahan yang sederhana, tidak teratur dan dengan kepadatan yang tinggi. Pada waktu itu tercatat lebih kurang 60% penduduk Jakarta tinggal di daerah-daerah perkampungan yang sangat padat. Di banyak daerah kepadatannya berkisar antara 400 dan 600 orang/Ha, dengan bangunan tidak bertingkat.
Sarana kota yang ada tidak mampu lagi melayani kebutuhan penduduknya pada semua sektor. Keadaan ini menyangkut pula sarana-sarana administratif maupun perundang-undangan untuk menunjang perkembangan yang diperlukan. Perkembangan perkotaan masih belum dapat dikendalikan secara sepenuhnya. Rencana-rencana yang terperinci (rencana detail) dari perkembangan wilayah dalam wilayah administrasi Jakarta, belum ada. Kalaulah ada, perencanaan detail yang dapat dikerjakan, umumnya toh belum dapat mengimbangi desakan membangun dari masyarakat.
Jumlah panjang jalan pada waktu itu masih berkisar pada 800 Km saja. Jalan yang ada itupun hanya menghubungkan sebagian wilayah kota yang telah terbangun dengan kwalitas teknis yang perlu ditingkatkan. Demikian pula keadaan saluran-saluran drainage kota, daya tampungnya belum dapat mengurangi banjir yang melanda setiap musim hujan di sebagian kota. Kemacetan lalu lintas terjadi pada jaringan jalan-jalan, yang jumlahnya sangat terbatas. Barangkali cara penggambaran masalahnya akan lebih mudah melalui perbandingan antara jumlah mobil dengan panjang jalan, yaitu 200 kendaraan per kilometer. Lebih kurang setengah dari jumlah mobil itu berada dan memenuhi jalan pada jam-jam sibuk.(2)
Tram sekitar awal 1970. sumber: M. Ali, 1970. Djakarta through the ages, hlm. 84 |
Angkutan kereta api yang ada dalam kota pada waktu itu kurang baik keadaannya. Sejak kemerdekaan, jenis angkutan ini tidak lagi menarik dan kurang berarti bagi angkutan umum kota. Sehingga pelayanan angkutan umum ditanggung seluruhnya oleh angkutan jalan raya.
Pada tahun 1966 bis kota yang ada hanya beroperasi pada trayek-trayek tertentu saja. Jumlahnya jauh dari kapasitas angkutan yang diperlukan. Dikala itu juga berkembang berbagai jenis angkutan umum yang kurang effisien, seperti opelet dan becak. Pertumbuhan jumlah kedua angkutan ini ditambah dengan lajunya kenaikan kendaraan pribadi menimbulkan berbagai masalah lalu lintas. Saat itu keadaan alat angkutan umum secara fisik menurun dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena penggunaan di luar batas kemampuannya serta. kurang adanya pemeliharaan dan perbaikan. Pengembangan usaha angkutan swasta hampir tidak ada.
Telekomunikasi di Jakarta pada masa itu baru dapat memenuhi pelayanan dengan 26.000 pesawat. Listrik masih jauh dari yang diharapkan oleh masyarakat karena baru dapat memenuhi 13% dari kebutuhan kota. Demikian juga air minum sebagai salah satu kebutuhan pokok, baru dapat dinikmati oleh 12,5% penduduk Jakarta. Peningkatan jumlah produksi dan penyebarannya melalui pipa-pipa distribusi memerlukan pembiayaan yang sangat besar. Kebutuhan pembiayaan tersebut saat itu benar-benar diluar kemampuan Pemerintah Pusat maupun Daerah.(3)
Keadaan fisik kota yang saya hadapi saat itu sungguh-sungguh memerlukan penanganan secara seksama, untuk dapat menyelamatkan kehidupan perkotaan secara wajar.
(1) Soetjipto Wirosardjono. Keadaan yang Mendorong Pesatnya Urbanisasi di Jakarta dan Implikasinya dalam Kebijaksanaan Pemerintah; Kertas Kerja (yang sudah diperbaiki) pada Seminar tentang Strategi Pembangunan Perkotaan dalam Hubungannya dengan Pembangunan Regional, United Nations Centre for Regional Development, Nagoya Jepang, 28 Oktober - 8 Nopember, 1974.
(2) The Joint Indonesia - German Study Group. Jakarta Metropol itant Area Transportation Study. Final Report 1972-1974. Jakarta, 1974.
(3) Jakarta, Kantor Sensus & Statistik. Jakarta Dalam Angka 1974. Jakarta, 1975. Hal. 138-139.
sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Fisik Kota" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)
No comments:
Post a Comment