Friday, September 14, 2012
Gita Jaya 10 : Kebijaksanaan dasar yang telah saya letakkan
Seperti telah saya uraikan, bagi saya melaksanakan tugas sebagai Gubernur Ibukota Negara, Pusat Pemerintahan, Kota Proklamasi dan Kota Inspirasi tidak bisa lain daripada memancangkan panji-panji pembaharuan dan modernisasi. Tradisi Jakarta sebagai, kota penggerak bagi suatu perobahan dan pembaharuan harus tetap dipertahankan.
Ada berbagai faktor yang meyakinkan saya terhadap prinsip ini. Selain alasan sejarah itu, Masyarakat Indonesia, karena corak budaya dan sejarah perkembangannya cenderung melihat Jakarta sebagai ukuran untuk perobahan-perobahan nilai. Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta menikmati kehormatan untuk menerima dan mengembangkan secara langsung berbagai kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah Nasional. Sebaliknya sebagai pusat kegiatan politik, dinamik dari proses politik nasional, getarannya paling dirasakan di kota ini.
Sebagai Ibukota, Jakarta mau tidak mau menikmati kehormatan untuk dihuni putra-putra terbaik dari negeri ini. Sebagai pusat kegiatan ekonqmi, Jakarta secara potensiel maupun efektif sangat besar pengaruhnya terhadap dinamik perekonomian nasional. Dan sebagai pintu gerbang utama tanah air, pengaruh interaksi dan penyaringan budaya luar yang masuk ke Indonesia terlebih dahulu dirasakan di Jakarta.
Kekuatan obyektif yang saya sebutkan di atas itulah menyebabkan Jakarta tidak dapat menghindarkan diri dari peranannya sebagai pelopor pembaharuan (agent of change). Saya menerima kenyataan ini dan memanfaatkan sebagai dasar falsafah kebijaksanaan saya dalam menjalankan pemerintahan selama 11 tahun lebih di Jakarta. Dengan pilihan untuk mengibarkan bendera pembaharuan dan modemisasi itu, saya mengembangkan semangat kepeloporan diantara pembantu-pembantu saya dalam pemerintahan daerah DKI Jakarta. Kepeloporan, dalam arti tekad, ketetapan dan keberanian untuk melangkah menuju pembaharuan; mengembangkan hal-hal yang belum ada, tetapi merupakan tuntutan nyata proses pembaharuan melakukan perobahan dan perombakan bila tuntutan modernisasi menganggap perlu. Masyarakat Jakarta pun kita rangsang untuk berani dan mengembangkan pikiran-pikiran baru.
Hambatan-hambatan sosial psikologis kita atasi dengan berbagai cara, kalau perlu dengan terapi kejutan dan pendadakan-pendadakan. Saya menyadari sepenuhnya, dengan mengambil langkah ini, corak administrasi pemerintahan saya bisa sekilas kelihatan "kurang ramah". Namun demikian kebutuhan-kebutuhan akan perobahan itu membutuhkan kekurang ramahan itu untuk memecahkan hambatan-hambatan utama.
Baru kemudian ditempuh konsolidasi psikologis dengan penjelasan-penjelasan, penerangan-penerangan, pendidikan dan sebagainya.
Dalam merapatkan barisan untuk melancarkan usaha pembaharuan dan modernisasi itu langkah-langkah ke arah konsolidasi strukturil perangkat Pemerintah Daerah, identifikasi sasaran, penetapan prioritas, pengembangan lembaga keikutsertaan masyarakat dan sumber-sumber pembiayaan telah saya letakkan dengan kokoh selama periode masa jabatan 11 tahun ini. Konsolidasi strukturil itu tidak hanya telah mantap tetapi juga mulai berkembang dan sudah mampu untuk tanggap terhadap perkembangan masalah. Konsolidasi itu terdiri dari penyatuan aparat pemerintahan umum dan otonom, pembentukan wilayah pemerintahan administratif, modernisasi struktur organisasi pemerintahan yang terpadu dengan memperhatikan azas-azas dasar organisasi dan pengelolaan yang rasionil. Semuanya ini merupakan kepeloporan dalam menjalankan roda pemerintahan daerah di Indonesia. Secara bertahap konsolidasi itu ditunjang dengan pengembangan sistim administrasi dan pelayanan secara modern.
Di dalam menetapkan rencana dan program pencapaian sasaran, langkah pionir saya letakkan untuk pemerintahan daerah di Indonesia dengan pengembangan dan pengelolaanperencanaan yang terpadu.
Saya membentuk Badan Perencanaan Pembangunan (BPP) yang bertugas menyusun rencana dan program pelaksanaan Rencana Induk, kedalam bentuk rencana-rencana pembangunan 5 tahun dan program-program tahunan secara lintas sektor dan terpadu. Badan ini juga bertugas untuk mengamati secara cermat alokasi pembiayaan pembangunan sesuai dengan tahap dan prioritas yang telah ditetapkan. Semula saya mengembangkan pola demokrasi dan partisipasi dalam perencanaan dengan mengikut sertakan unsur-unsur masyarakat dalam Badan Perencanaan Pembangunan itu.(3) Dengan ditetapkannya pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagai kebijaksanaan nasional langkah penyesuaian harus saya adakan. Salah satu pengorbanan diantaranya ialah penghapusan essensi dasar dari mekanisme perencanaan yang melibatkan secara langsung unsur-unsur masyarakat.
Saya memanfaatkan kedudukan Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional dengan mengembangkan potensi sumber pembiayaan baik dari pendapatan sendiri maupun subsidi Pemerintah Pusat.
Perjuangan ini merupakan kelanjutan dari rangkaian usaha meningkatkan sumber-sumber pembiayaan yang telah dirintis oleh pendahulu-pendahulu saya. Walaupun demikian, sampai saat ini khususnya sumber pembiayaan dari Pemerintah Pusat belum cukup dapat dikembangkan secara memadai. Karena undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah belum berhasil diperbaharui. Sedang dasar penyusunan subsidi Pemerintah Pusat kepada Daerah yang berlaku sekarang, saya anggap belum cukup menjamin pengembangan pelayanan masyarakat secara seksama. Sebaliknya sumber-sumber pendapatan dari pajak dan retribusi daerah sudah dapat saya kembangkan dengan sangat pesat. Intensifikasi dan ekstensifikasi sumber keuangan membuahkan hasil yang gemilang. Dalam sejarah Pemerintah Daerah di Indonesia belum pernah ada suatu daerah mampu mengembangkan perpajakan daerah sebesar lebih dari tiga kali subsidi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat, selain Pemerintah DKI Jakarta selama tahun 1974-1977.
Prestasi ini hanya bisa dicapai, apabila secara implisit pimpinan Pemerintah Daerah menaruh perhatian utama terhadap sumber pembiayaan.
Rawannya masalah kemasyarakatan di Jakarta menuntut adanya pengamanan terhadap usaha-usaha pembaharuan dan modernisasi dalam rangka pembangunan. Karena setiap usaha pembaharuan tidak dapat mengelak, adanya proses sentuhan mungkin malah benturan sendi-sendi nilai yang berlaku di masyarakat. Dalam menilai kegoncangan yang diakibatkan oleh usaha pembaharuan dalam masyarakat itu saya umumnya mengembangkan ukuran-ukuran, walaupun sangat kwalitatif dan subyektif. Ukuran yang menyangkut batas toleransi goncangan, tanpa menimbulkan gejolak yang membahayakan pencapaian sasaran itu sendiri. Untuk inilah peranan perangkat keamanan penegak hukum dalam menunjang missi pembaharuan itu sangatlah besar. Karena itu walaupun secara strukturil tidak ada ikatan langsung antara Kepolisian, Angkatan Bersenjata lainnya dan Kejaksaaan dalam praktek pelaksanaan pemerintahan dan "pembangunan" daerah, sangat membutuhkan pola kerjasama yang terpadu dan melembaga dengan instansi-instansi tersebut. Dimulai dengan hubungan baik dan kolegial antara pimpinan Pemerintah Daerah dengan pimpinan perangkat kekuasaan negara itu, dikembangkan semangat kerjasama yang serasi secara melembaga. Dimana perlu ditunjang dengan bantuan pembiayaan yang adil dan bijaksana.
(3) Peraturan Daerah No.2 tahun 1968 tanggal 19 Juni 1968 diundangkan tanggal 20 Juni 1968 tentang Pembentukan dan Kedudukan Badan Perencanaan Pembangunan DKI Jakarta (LD No.55/6S} pasal 7 ayat (1)
sumber:
Ali Sadikin. "Konsolidasi Pembangunan Untuk Jakarta, Suatu Saran" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)
Labels:
Gita Jaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment