Thursday, September 6, 2012
Gita Jaya 1 : Rehabilitasi dan Reorganisasi Aparatur
Di depan telah saya ungkapkan secara berturut-turut tentang keadaan Jakarta pada awal mula saya menjabat sebagai Gubernur; bagaimana sikap saya menghadapi tugas itu dan tindakan-tindakan strategis yang telah saya ambil untuk melaksanakan kepemimpinan. Seperti telah saya kemukakan, salah satu tindakan strategi itu adalah pelaksanaan rehabilitasi dan reorganisasi perangkat Pemerintah Daerah.
Usaha untuk merombak struktur itu dilakukan dengan memperhatikan azas-azas organisasi yang modern, menuju terwujudnya nilai-nilai hasil guna dan daya guna. Untuk mencapai tujuan reorganisasi perangkat pemerintah tersebut, mulai diperkenalkan dan diterapkan azas-azas kesatuan pimpinan (Unity of Command) serta azas staf dan lini. Juga azas pelimpahan wewenang (delegation of authority) saya kembangkan dalam bentuk sistim dekonsentrasi wilayah. Bahkan untuk mendorong prakarsa setiap petugas, dikembangkan pula sistlm pengelolaan yang berganda (multiple management). Artinya mengikut sertakan seluruh tingkatan perangkat pemerintahan, mulai yang terbawah sampai keatas dalam mematangkan pengambilan keputusan, sesuai dengan tanggung jawab masing-masing.
Sasaran yang digarap dalam rangka penertiban dan peningkatan perangkat Pemerintah DKI Jakarta meliputi: [9]
a. Menciptakan hubungan dan mekanisme kerja yang harmonis antara Eksekutif dan Legislatif (DPRD).
b. Mengintegrasikan aparatur Biro Pemerintah Umum Pusat dengan Pemerintah Daerah.
c. Membentuk Sekretariat Daerah yang integratif, meliputi urusan otonomi dan dekonsentrasi.
d. Membentuk Pemerintah Wilayah Kota Administratip Kecamatan dan Kelurahan sebagai Pelaksana Wilayah dan Dinas/Jawatan sebagai pelaksana teknis.
Usaha untuk membina kerja sama yang lebih serasi dan untuk meningkatkan peranan DPRD sebagai lembaga formil yang bertugas untuk menjalankan fungsi kontrol dan partisipasi, ditempuh dengan pengembangan kesatuan bahasa antara Lembaga Eksekutif dan Lembaga Legislatif dalam mewujudkan aspirasi masyarakat. Kemudian disusun suatu mekanisme kerja antar Eksekutif dan Legislatif yang terjalin dengan baik, sehingga dapat menempatkan diri masing-masing pada fungsinya yang wajar dan saling isi mengisi.
Dualisme pemerintahan yang berpusat di satu pihak pada Biro Pemerintahan Umum Pusat dan di lain pihak aparat Pemerintah Daerah dihilangkan, dengan membentuk Sekretariat Daerah Pemerintah DKI Jakarta yang berfungsi sebagai staf umum. Dengan demikian Sekretariat Daerah berkewajiban membantu Gubernur dalam membina, mengkoordinasikan dan mengawasi dalam arti built in control terhadap unsur-unsur pelaksana yang terdiri dari Pemerintahan Wilayah, Dinas/Jawatan dan Perusahaan-perusahaan Daerah. Sekretariat Daerah dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah dan terdiri dari beberapa Direktorat dan Biro. Komponen yang pertama bertugas menangani tugas-tugas pokok pemerintahan (main functions) dan yang kedua mengurusi tugas-tugas bantuan (auxialiary services). Organisasi Sekretariat Daerah Pemerintah DKI Jakarta selesai disusun dalam tempo kurang dari dua bulan setelah saya dilantik, yaitu pada tanggal 22 Juni 1966. Susunan itu terakhir disempurnakan lagi dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 11 Nopember 1972. [10]
Dalam rangka pelimpahan kewenangan (delegation of authority) kepada para pelaksana Wilayah, dianut sistim dekonsentrasi dengan membagi Jakarta menjadi 5 Wilayah Kota Administratip, 28 Kecamatan dan 224 Kelurahan yang masing-masing berfungsi sebagai pelaksana Pemerintahan Wilayah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah tanggal 9 Agustus 1966 dan terakhir dengan Surat Keputusan Gubernur tanggal 8 Januari 1974.[11] Di samping Pemerintahan Wilayah, dikembangkan pula Dinas-dinas sebagai "Pelaksana Teknis". Azas ini ternyata sepenuhnya sesuai dengan pemikiran yang kemudian dirumuskan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut ditentukan, penyelenggaraan pemerintahan di Daerah didasarkan pada sistim desentralisasi yang dilaksanakan bersama-sama dengan sistim dekonsentrasi.
Dengan demikian di Daerah terdapat Pemerintahan Daerah dan Pemerintah Wilayah yang keduanya diletakkan di bawah satu pimpinan, yakni Gubernur Kepala Daerah.
Selanjutnya, untuk kepentingan membantu penyusunan rencana serta program pembangunan secara menyeluruh, dibentuk Badan Perencanaan Pembangunan DKI pada tanggal 21 Juli 1968. Langkah ini ternyata juga merupakan pionir. Karena ternyata kemudian pada tahun 1974 ditetapkan sebagai kebijaksanaan nasional. [12]
Dalam Keputusan Presiden No. 15/1973 aparat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dinyatakan sebagai Badan yang tidak terpisahkan dalam struktur organisasi Pemerintah Daerah pada setiap Pemerintah Daerah di Indonesia. Badan ini. di samping bertugas secara teknis, mengkoordinir dan mengintegrasikan usaha penyusunan rencana dan program kerja, juga melakukan pengendalian operasionil kegiatan-kegiatan pembangunan Pemerintah Daerah, yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab unsur-unsur Pelaksana Wilayah (Walikota, Camat, Lurah) maupun unsur-unsur Dinas sebagai Aparat Pelaksana. Untuk membantu perumusan dan pengamanan kebijaksanaan. Gubernur Kepala Daerah selaku Kepala Pemerintahan dan Penguasa Tunggal di Daerah, mekanisme kerja Musyawarah Pimpinan Daerah dilaksanakan sesuai dengan asas gotong royong. [13]
Penguasa Tunggal sekarang ini kedudukannya lebih jelas denqan telah diaturnya dalam Undang-Undarig No. 5 Tahun 1974. Fungsi Penguasa Tunggal, sesuai dengan penjelasan Menteri Dalam Negeri, dapat dilukiskan seperti berikut. Presiden merupakan titik pusat kekuasaan dan kewenangan, yang terdapat kemanunggalan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada diri Presiden. Adapun kemanunggalan itu di cerminkan di daerah pada Gubernur Kepala Daerah dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah. Pada Pejabat-pejabat yang dalam kedudukannya sebagai Gubernur, Bupati atau Walikotamadya pada hakekatnya terletak pusat kekuasaan dan kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, Gubernur adalah satu-satunya Lembaga yang bertanggung jawab atas pembinaan daerahnya. Gubernur adalah Administrator Pembangunan, Administrator Pemerintahan dan Administrator Masyarakat. [14]
Mengenai fungsi Musyawarah Pimpinan Daerah, saya ingin menggaris bawahi peran lembaga tersebut untuk menjembatani partnership antara unsur-unsur Pemerintah Sipil dan ABRI.
Pada hakekatnya, usaha mencapai kesejahteraan segenap rakyat dalam segala bidang, berarti pula menuju peningkatan ketahanan nasional. Oleh karena itu tujuan tersebut harus dijadikan landasan idiil yang menjalin hubungan kerjasama seluruh aparatur negara, termasuk partnership antara unsur-unsur Pemerintah Sipil dan ABRI. Untuk membina kerjasama yang baik diperlukan komunikasi yang aktif dan efektif. Hal itu bisa terlaksana jika terdapat saluran yang tertib dan teratur dalam bentuk lembaga musyawarah, dan berdasarkan pertimbangan pada Instruksi Presiden No. 05 Tahun 1967, tentang Bentuk Kerjasama dan Tatakerja Aparatur Pemerintah Daerah, dibentuklah Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA). [15] Jadi MUSPIDA adalah alat pengikat strukturil, di mana digantungkan harapan untuk terciptanya koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar aparatur pelaksana di Daerah. Meskipun demikian adanya MUSPIDA ini tidak mengurangi tugas kewajiban dan wewenang Gubernur Kepala Daerah sebagai Penguasa Tunggal di Daerah, tetapi justru membantu pengamanan pelaksanaan program dan kebijaksanaan Pemerintah. Pendirian ini sesuai dengan azas managemen pemerintahan, bahwa walaupun usaha pengintegrasian mutlak perlu, tetapi tidak boleh menghilangkan adanya spesialisasi dan diferensiasi.
Berpegang pada prinsip itu, kemudian diadakan pembagian tanggung jawab dan pekerjaan. Masalah politik, budaya, ekonomi, keuangan serta pembangunan menjadi wewenang Gubernur Kepala Daerah. Sedang masalah pertahanan dan keamanan diurus oleh para Panglima Angkatan Tingkat Daerah. Dalam hubungan ini, sesuai dengan tingkat kemantapan yang dicapai pada Pemerintah Sipil, kelak saya fikir Pimpinan MUSPIDA seyogyanya berada di tangan Gubernur Kepala Daerah.
catatan:
[9] Ali Sadikin. Pola Tata Pemerintahan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Paper Gubernur Ali Sadikin sebagai Ketua BKS-AKSI pada Musyawarah Antar Kota Seluruh Indonesia (MAKSI) II di Bandung tanggal 10-15 Nopember 1967 Jakarta, BKS-AKSI 1969.
[10] Lihat S.K. Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanggal 22 Juni 1966 No. 8.6/6/52/66 tentang Struktur Organisasi Sekretariat Pem. DKI Jakarta, dan tanggal 11 Nopember 1972 No. lb. 12/1/10/72 tentang Penyempurnaan Susunan Organisasi Sekretariat Daerah Pem. DKI Jakarta.
[11] Surat Keputusan Gubernur tanggal 8 Januari 1974 No. D.La.1/1/1/1974 tentang Penggabungan sebagian Kelurahan Kapuk dan Kamal ke dalam wilayah Kota Jakarta Utara.
[12] Lihat Surat Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1974, tanggal 18 Maret 1974 tentang Pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
[13] Surat Keputusan Presiden No. 107 Tahun 1967 tentang Pembubaran Komando Operasi Tertinggi Indonesia (KOTI), maka Musyawarah Pimpinan Daerah ini dibentuk sesuai dengan Instruksi Presiden No. 05 tahun 1967 tgl 26 Juli 1967 tentang Bentuk Kerjasama dan Tata Kerja Aparatur Pemerintah di Daerah. Musyawarah Pimpinan Daerah ini terdiri dari Panglima Daerah Militer (Angkatan Darat), Pang lima Daerah Angkatan Laut (Angkatan Laut), Kepala Daerah Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Pang lima Komando Daer-ah Angkatan Udara (Angkatan Udara), Jaksa Tinggi dan Gubernur Kepala Daerah.
[14] Ibid. Pasal2 ayat (1)
[15] Ibid. Pasal 3.
Sumber: Ali Sadikin. "Azas-azas Kepemimpinan Dalam Pengelolaan Pemerintahan di DKI Jakarta" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment