Sampul Gita Jaya |
Saya ingat, sepatutnya saya meninggalkan tulisan yang berarti tentang pengalaman tugas saya, tentang apa-apa saja yang sudah saya kerjakan selama jadi Gubernur Jakarta. Hendaknya pengganti saya segera bisa tahu apa-apa yang sudah dan apa-apa yang sebaiknya dikerjakan. Tidak seperti sewaktu saya permulaan diangkat jadi Gubernur. Waktu itu, tak ada bacaan yang bisa saya temukan untuk panduan saya. Dan memang tidak pernah ada sebelumnya juga.
Maka saya pesankan kepada Bapak Sekda itu untuk menyusun sebuah catatan, catatan panjang, terlalu keren kalau disebut memoar. Tentulah saya yang nantinya bertanggung jawab atasnya. Saya yang menandatanganinya, dan saya yang menyuguhkannya. Pak Djumadjitin cepat paham mengenai maksud saya. Memang di zaman Belanda juga tokoh-tokoh pemerintahan meninggalkan memorie van overdracht mereka. Itu lazim saja, kata Pak Djumadjitin.
Tapi saya pesankan, agar kita menuliskannya dengan cukup terang, jelas dan bisa dibaca, atau enak dibaca oleh orang lain. "Harus ilmiah?" tanya salah seorang lewat Pak Djumadjitin. "Harus gamblang. Harus bisa menjawab hal-hal yang biasa dipertanyakan orang kepada saya. Harus cukup terperinci. Buatlah yang bisa dibaca oleh kalangan banyak. Saya tidak mau itu jadi dokumen mati hiasan lemari. Gayanya, teknik penyajiannya harus populer, enak dibaca dan yang penting: harus dimengerti orang. Buatlah yang membikin orang kepingin membacanya. Terserah. Saya percaya, kalian akan bisa membuatnya."
Lalu Pak Djumadjitin menyusun staf untuk mengerjakan pesan saya itu. Beliau kerahkan semua Kepala Direktorat, Inspektorat, Biro dan Dinas. Sedikitnya mereka harus mengumpulkan data-datanya, dan menyusunnya pula, sekalipun nantinya semua itu disusun kembali dan diedit oleh yang bisa, atas petunjuk saya. Saudara Soetjipto Wirosardjono yang terpilih untuk mengepalai penyusunan catatan itu dengan diawasi dan diarahkan oleh Sekda dan para asistennya.
Tadinya dalam hal ini saya cuma mau bicara dengan Pak Djumadjitin. Tapi tak urung saya sering diwawancarai untuk ini. Nyatanya rampunglah pekerjaan itu. Lahirlah Gita Jaya. Patut saya mengucapkan terima kasih kepada mereka semua yang telah ikut menyumbangkan tenaga dan pikiran mengenai ini. Catatan itu saya anggap penting. Gita Jaya disuguhkan pada tahun 1977, tahun habisnya tugas saya.
Bahwasanya diterakan di dalamnya kata-kata yang bagus yang isinya memang jadi isi hati saya, sebuah sajak (atau sajak-sajakan, begitulah barangkali tepatnya dikatakan), senanglah saya.
"Megah dan indah wajah kota Jakarta!
Mewarisi sejarah bendera pusaka
Kau t'lah berjasa dalam perjuangan bangsa
Sejak zaman Pangeran Jayakarta
Kau tetap s'bagai pintu gerbang Indonesia
Kubina s'bagai kota budaya."
Begitulah kata-kata yang saya pertanggungjawabkan, yang diangkat dari Lembaran Daerah DKI Jakarta tahun 1969, tiga tahun setelah pelantikan saya sebagai Gubernur, mencerminkan tekad saya waktu itu.
(Ali Sadikin, Bang Ali, demi Jakarta,1966-1977 : memoar. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992. hlm.450-455)
No comments:
Post a Comment