Sunday, September 16, 2012

Gita Jaya 4 : Hubungan Kerja dengan Instansi Vertikal


Sebagai penguasa tunggal, saya beranggapan semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Jakarta adalah tanggung jawab saya, langsung atau tak langsung. Apalagi rakyat lazimnya tidak dapat diharapkan mengerti perincian pemisahan tugas, mana yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan mana yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Mereka menganggap dan mengharapkan semua kegiatan di Jakarta adalah tanggung jawab Gubernur. Karena itu kewajiban untuk mengkoordinir Jawatan Vertikal saya anggap penting artinya.

Untuk mewujudkan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan Instansi-in stansi Vertikal di Daerah, saya mengembangkan beberapa cara pendekatan. Prinsipnya ada empat pendekatan pokok yang selalu saya laksanakan manakala menghadapi masalah hubungan dan koordinasi Jawatan Vertikal.

Pendekatan-pendekatan itu ialah (29):
- Pendekatan administratif dan Perundang-undangan (legal and administrative approach). Artinya pengaturan hubungan kerja dan koordinasi itu diusahakan agar dapat diikat dan dituangkan dalam bentuk keputusan instansi yang lebih tinggi (Presiden, Menteri), demi mempertegas wewenang koordinasi serta memerinci mekanisme hubungan kerja yang dikehendaki (Ipeda, PUTL, Kesehatan dan lain sebagainya).

- Pendekatan strukturil (structural approach). Artinya mengusahakan penetapan untuk meletakkan lingkup kegiatan suatu instansi secara strukturil di bawah Gubernur selaku alat Pemerintah Pusat (Agraria, PMD, Politik, Pariwisata dan lain sebagainya).

- Pendekatan koperatif (cooperative approach). Artinya mengadakan persetujuan kerjasama yang memuat kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan Instansi Vertikal dalam melaksanakan tugasnya di daerah (seperti dengan pengaturan lalu lintas kota, koordinasi pekerjaan galian, transmigrasi, imigrasi dan lain sebagainya).

- Pendekatan sosial psikologis (social and psychological approach). Artinya pendekatan yang menitik beratkan pada penciptaan iklim yang baik bagi hubungan antara manusia, yang terlibat dalam pelaksanaan tugas-tugas pelayanan baik oleh Instansi Vertikal maupun Dinas-dinas daerah dan unsur masyarakat (Kejaksanaan, Pengadilan, unsur-unsur ABRI).

Kebijaksanaan saya dalam mewujudkan kerjasama dan koordinasi seperti tersebut diatas, ternyata juga sejalan dengan ketentuan dimaksud pada pasal 80 Undang-undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam rangka usaha menyempurnakan dan menetapkan hubungan kerjasama dan koordinasi dengan Instansi Vertikal, khususnya mengenai kebijaksanaan pelimpahan wewenang dekonsentrasi dari Pusat (Departemen-departemen) kepada Instansi Vertikal di daerah,(30) saya berpendapat bahwa: Wakil Pusat di daerah yang pertama-tama adalah Gubernur selaku Penguasa Tunggal.(31) Disamping itu pada Gubernur terletak kemanunggalan dan pemusatan kekuasaan serta kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan di daerah (32) atau dengan kata lain Gubernur adalah alat Pemerintah Pusat secara keseluruhan baik Departemen Dalam Negeri maupun Departemen-Departemen lainnya.

Oleh karena itu pelimpahan wewenang dekonsentrasi dari Pusat (Departemen-Departemen) kepada instansi vertikal di daerah sebaiknya dilaksanakan melalui jalur kekuasaan Gubernur sebagai Penguasa Tunggal. Contoh yang positif telah dilaksanakan oleh Departemen Dalam Negeri dalam rangka pelimpahan wewenang dekonsentrasi agraria kepada Kepala Direktorat Agraria melalui Gubernur (33)

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Surat Keputusan Presiden No.44 dan No.45 Tahun 1974, ditingkat wilayah (Propinsi) sebagai instansi pelaksana (Vertikal) ditetapkan adanya Kantor-Kantor Wilayah Direktorat Jenderal dan Kantor-Kantor Perwakilan Departemen. Dengan demikian, praktis setiap Departemen ataupun Direktorat Jenderal akan memiliki Kantor Wilayah di tingkat wilayah (Propinsi) sebagai perangkat pelaksana vertikal dengan tugas dan kewenangan yang dilimpahkan oleh Direktorat Jenderal yang bersangkutan. Pelaksanaan pembentukan Kantor-kantor Wilayah ini sudah barang tentu sebaiknya memperhatikan fungsi Dinas-dinas Daerah yang sudah ada, sehingga dapat dicegah timbulnya saling tindih maupun kesimpang siuran dengan tugas dan wewenang mengenai urusanurusan yang sudah diserahkan pada Daerah dalam rangka otonomi. Sebaiknya urusan-urusan Pusat yang dapat diselenggarakan oleh Daerah sebagai tugas pembantuan saya pikir perlu diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk dilaksanakan oleh Dinas Daerah yang bersangkutan tanpa membentuk Kantor Wilayah tersendiri. Cara ini telah dilaksanakan oleh Departemen PUTL yang telah menggariskan, bahwa Departemen tersebut di DKI Jakarta tidak bermaksud membentuk Kantor Wilayah, tetapi pelaksanaan tugas dan wewenangnya cukup dititipkan dalam bentuk perbantuan kepada Daerah melalui Dinas Pekerjaan Umum. Sikap dan kebijaksanaan yang telah diambil oleh Departemen tersebut sangat dihargai karena dapat mendorong ke arah peningkatan rasa tanggung jawab atau pendewasaan Daerah.

Selain itu saya berpendapat, bahwa pelimpahan wewenang dengan cara dekonsentrasi itu dapat pula ditempuh dengan melalui Gubernur atau menunjuk Kepala Dinas Daerah disamping tugas-tugas yang telah ada dapat pula bertindak sebagai Kepala Kantor Wilayah. Dengan catatan pembinaan teknis tetap berhubungan dengan Departemen-departemen yang bersangkutan. Dengan cara-cara tersebut, saya yakin akan dapat dicapai daya guna serta hasil guna dalam pelaksanaannya. Bahkan akan menggampangkan terciptanya sinkronisasi dengan kegiatan-kegiatan pemerintahan yang telah diserahkan kepada Daerah dalam bentuk kewenangan Otonomi.

(29) Ali Sadikin "Pola Tata Pemerintahan Pemerintah DKI Jakarta" Kertas Kerja Gubernur KDKI Jakarta pada MAKSI-III di Bandung Nopember 1967. Jakarta, BKS-AKSI, 1967.

(30) Lihat Keppres No.44 Tahun 1974 tanggal 26 Agustus 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen dan Susunan Organisasi Departemen. Pasal 25.

(31) Lihat Pasal 80 Undang-undang No.5 Tahun 1974 tanggal 31 Juli 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

(32) Lihat Pidato Menteri Dalam Negeri "Pokok-pokok Briefing Menteri Dalam Negeri" pada pembukaan Rapat Kerja Walikota, Kepala Daerah seluruh Indonesia dan Musyawarah Antar Kotamadya seluruh Indonesia ke-V di Surabaya tanggal 20-25 Januari 1975.

(33) Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.88/1972 tanggal 24 Juni 1972 tentang Pembentukan Direktorat Agraria DKI Jakarta.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

No comments:

Post a Comment