Sunday, September 9, 2012

Gita Jaya 7 : Jalan dan Jembatan


Barangkali bagi masyarakat Jakarta, cermin yang paling tepat untuk menilai Jakarta, pemerintahan dan administrasinya adalah melalui gambaran yang diperlihatkan oleh keadaan jalan dan jembatan yang ada. Waktu itu, tahun 1966 pada umumnya jalan-jalan masih sangat sempit dan sangat rusak karena rendahnya kwalitas dan kurangnya pemeliharaan. Disamping itu panjang jalan yang ada tidak lagi dapat menampung lalu lintas kendaraan. Panjang jalan hanya dapat meliputi kurang lebih 800 Km. Sedangkan jumlah kendaraan pada tahun itu telah mencapai dari 157.619 buah. Meskipun pada jam-jam sibuk, hanya separoh dari kendaraan tersebut memenuhi jalan-jalan yang ada, tetapi untuk 200 kendaraan per kilometer jalan, merupakan kepadatan yang sangat tinggi. Dapat diduga kecepatan rata-rata yang dapat ditempuh oleh kendaraan kota hanya mencapai 20 Km per-jam saja. Kemacetan lalu lintas terjadi dimana-mana, sehingga sangat mengganggu kehidupan lalu lintas kota.

Sementara itu sangat saya rasakan kebutuhan gerak perekonomian secara lebih lancar untuk dapat menghidupi penduduk kota yang terasa makin padat. Tuntutan ini menjadi makin meningkat, terutama karena pembangunan ekonomi kota yang mulai berkembang dalam 10 tahun terakhir ini. Penyempuranaan dan pembuatan jaringan jalan perlu segera dilakukan untuk membantu lancarnya lalu-lintas angkutan kota, dan akhirnya membantu pula lancarnya perekonomian kota. Yang menjadi masalah adalah bahwa buatan jalan ini nyatanya sangat mahal, terlebih lagi karena letak geografis Jakarta yang hanya beberapa meter diatas permukaan laut, membawa hambatan-hambatan teknis yang sangat mempengaruhi harga pembuatan jalan.

Air tanah yang sangat tinggi serta bahaya banjir yang selalu melanda Jakarta, telah banyak merusak jalan-jalan yang dibuat menurut pembakuan yang biasa. Karena itu harus dibuat jalan-jalan yang mempunyai kwalitas yang khusus: yang tahan terhadap gangguan air tanah dan banjir. Akhirnya harga jalan menjadi sangat tinggi, sehingga menyerap sangat banyak dana dari anggaran yang terbatas. Sehubungan dengan masalah-masalah. yang demikian itu maka penanggulangannya harus dilakukan secara cermat. Saya berpendapat prioritas penanganan masalah pembuatan dan perbaikan jalan menjadi bahagian yang sangat pentingnya dalam pelayanan perkotaan.

Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan keuangan, saya telah berketepatan -untuk melancarkan program-program jalan dan jembatan sejak periode Pola Rehabilitasi tiga tahun. Program-program ini meliputi pemeliharaan jalan dan jembatan yang telah ada, sehingga keadaannya menjadi baik dan daya gunanya tidak berkurang akibat kerusakan-kerusakan konstruksinya. Pada beberapa jalan-jalan raya utama, telah dilakukan rehabilitasi dan perbaikan pada konstruksi jalan, dan jembatan sehingga dapat mempertahankan ataupun menaikan daya guna sesuai dengan persyaratan yang dikehendaki. Disamping program-program perbaikan pembangunan jalan-jalan baru dalam rangka perluasan kota dan pembukaan lingkungan pemukiman yang baru sesuai dengan Rencana Induk 1965 - 1985 mulai saya kembangkan. Dengan selesainya program rehabilitasi tiga tahun itu, berarti masa-masa yang sangat berat telah dapat dilalui. Meskipun sampai dewasa ini masih tetap terdapat kekurangan-kekurangan namun hasil perbaikan sarana jalan ini pengaruhnya terhadap masyarakat cukup besar.

Dalam rangka perbaikan maupun normalisasi jaringan jalan-jalan pada periode PELITA jalan di Jakarta dibedakan menurut fungsinya. Yaitu, jalan ekohomi, jalan lingkungan dan jalan desa. Pembagian jalan-jalan menurut Pemerintah Pusat seperti: jalan Negara, jalan Propinsi dan jalan Kabupaten, belum digunakan di Jakarta. Hal ini antara lain karena pembiayaan pemeliharaannya yang semestinya menjadi tugas Pemerintah Pusat juga belum dilaksanakan sepenuhnya. Dengan kekurangan panjang jalan yang ada, melalui program PELITA I dan II ini saya melanjutkan secara intensip program peningkatan, normalisasi serta penambahan jaringan jalan baru diseluruh DKI Jakarta.

Usaha-usaha tersebut diatas dilaksanakan melalui program-program yang dibiayai oleh APBD DKI sendiri termasuk program MHT, program bantuan Inpres tingkat I (untuk jalan ekonomi), Inpres Tingkat II (untuk jalan-jalan ekonomi desa) serta program sektoral Pusat (APBN). Dalam masalah pembangunan jalan ini ada satu kebijasanakan pokok yang saya tempuh. Setiap pelebaran jalan yang dilaksanakan pembebasan tanahnya tidak diberikan ganti rugi. Kebijaksanaan seperti ini terpaksa saya tempuh mengingat tingginya harga tanah di Jakarta. Namun demikian dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan sumbangan dan atau fasilitas bila perlu. Atau setidak-tidaknya diusahakan penampungan bagi mereka yang terbongkar habis, baik tanah maupun bangunannya oleh pelebaran/pembuatan jalan tersebut.

Dalam pada itu bagi daerah baru seperti Tebet, Tomang, Rawamangun dimana jalan lingkungan telah ada tetapi belum beraspal, kepada penduduknya dikenakan pajak khusus (Baat Belasting). Hasil pajak ini digunakan untuk penambahan biaya pembangunan sarana jalan mereka (31). Pada daerah otorita/real estate, pembangunan jalan-jalan dilingkungan dibebankan seluruhnya kepada Badan-badan Otorita itu. Dapat ditambahkan pula bahwa dalam menanggulangi masalah perbaikan dan pembuatan jalan, khususnya proyek-proyek jalan lingkungan, saya menempuh kebijaksanaan pembebasan secara adil.

Hanya 40% dari pembiayaan pembuatan jalan tersebut merupakan beban Daerah. Sedang sisanya menjadi tanggung jawab masyarakat setempat.

Sampai dengan Pelita II tahun ke tiga telah diselesaikan rehabilitasi pembangunan jalan ekonomi sepanjang 405 Km, jalan lingkungan sepanjang 818 Km yang keseluruhannya bernilai sebesar Rp. 76.710.961.472,-.

Penggunaan sistim terakhir ini ternyata merangsang tumbuhnya industri konstruksi dalam negeri, dan bersifat padat karya. Oleh karena itu jelas bahwa pilihan sistim ini juga sejalan dengan kebiiaksanaan Nasional dalam memperluas lapangan kerja.(32) Dari pengalaman 11 tahun bergulat dengan masalah itu, saya berkesimpulan bahwa hanya dengan pembuatan jalan dan pelebaran jalan tidak akan memecahkan lalu-lintas, bila tidak dibarengi dengan pengendalian tentang jenis dan jumlah kendaraan. Tanpa penyelesaian secara menyeluruh baik melalui kebijaksanaan Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan sistim angkutan umum serta lalu lintas maupun perluasan jaringan jalan tidak mempunyai arti bagi pemecahan masalah angkutan dan lalu lintas.

(31) Lihat Peraturan Daerah No.1 Tahun 1972 tanggal 8 Maret 1972 tentang Penetapan dan Pemungutan Pajak Khusus Penggantian Biaya dan PunglJtan Tambahan untuk pekerjaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(32) Untuk laporan terperinci tentang hasil perbaikan jalan dan jembatan ini lihat laporan Bulanan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) DKI Jakarta, April 1977.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Fisik Kota" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

No comments:

Post a Comment