Saturday, September 8, 2012

Gita Jaya 7 : Dasar Kebijaksanaan Penanggulangan Pengembangan Fisik


Pada saat menerima tanggung jawab sebagai Gubernur Jakarta, saya dihadapkan pada tugas mengatur dan memberikan pelayanan dalam penanggulangan pengembangan fisik kota, tanpa mendapatkan pedoman pengaturan dan landasan pokok bagi pengembangan kota. Sampai dengan Pelita I Pemerintah Nasional belum cukup merumuskan kebijaksanaan yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan perkotaan.(4) Padahal untuk dapat mengatasi masalah pengembangan fisik kota perlu adanya landasan perencanaan yang dapat dipakai sebagai pedoman bagi pemerintah maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu saya pandang perlu untuk segera mengkaji kembali rencana pengembangan kota Jakarta yang telah disiapkan oleh pendahulu saya, untuk saya tetapkan menjadi Rencana Induk Jakarta.(5) Langkah ini merupakan salah satu prioritas utama dalam siasat dasar pemerintahan saya. Rencana Induk pada hakekatnya mengatur penggunaan tanah, meliputi kegunaan untuk rumah tinggal; tempat kerja perkantoran, perindustrian, tempat-tempat rekreasi, jalur-jalur komunikasi dan lain sebagainya.

Rencana Induk juga memproyeksikan rencana perwujudannya secara tiga dimensi yang diatur menurut kepadatan di setiap wilayah atau bagian kota. Dengan berpedoman pada Rencana Induk tersebut dapatlah kemudian disusun prioritas masalah yang harus ditanggulangi dengan segara. Lebih lanjut Rencana Induk merupakan dasar pula bagi penyiapan rencana detail yang merupakan pedoman pelaksanaan dari berbagai unsur pelengkap kota.

Saya sadari sepenuhnya bahwa perkembangan dan permasalahan Jakarta sangat dipengaruhi juga oleh perkembangan-perkembangan dan masalah yang timbul di wilayah di luar Jakarta. Sehingga pengaturan bersama dalam menyerasikan pembangunannya saya pandang sangat perlu dilakukan. Secara konsepsionil penggarapan secara regional tersebut belum dapat diwujudkan secara berarti sampai masa jabatan saya yang kedua. Walaupun rintisan ke arah itu telah saya lakukan sejak tahun 1970. Saya bersyukur bahwa akhirnya pada pertengahan tahun 1975 terwujud juga pengaturan kerjasama perencanaan antara Jakarta dengan Jawa Barat, yang dikenal dengan Jabotabek, untuk pengembangan wilayah yang meliputi kawasan Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Saya merasa gembira juga bahwa kebijaksanaan regionalisasi wilayah yang dimulai pada Pelita II adalah sejalan dengan patokan dasar yang diperkirakan dalam penyusunan Rencana Induk Jakarta 1965-1985. Dalam penyusunan wilayah pembangunan ekonomi di Indonesia, pembatasan-pembatasan Jakarta sebagai Pusat Pembangunan Ekonomi Utama, sekaligus sebagai SubPengembangan Wilayah Pembangunan lebih menjelaskan peran Jakarta dalam lingkup nasional.(6)

Kerjasama pengembangan Jabotabek, diharapkan akan banyak membantu mengurangi tekanan kepadatan penduduk di Jakarta. Dalam pada itu, pada saatnya nanti saya mengharapkan pula pengembangan itu dapat mengurangi tekanan lebih lanjut akan kebutuhan pelayanan prasarana kota di Jakarta. Masalah penting yang h9rus mendapat perhatian khusus, adalah terjaminnya kelancaran mekanisme antara Jakarta sebagai "kota induk" dengan pusat-pusat pembangunan baru itu sebagai "kota anak" dalam sistim Kota Metropolitan. Perhatian tidak hanya pada sistim transportasi yang lancar dan efektif, tetapi juga harus terjamin keseimbangan kegiatan-kegiatan antara Kota Induk dengan Kota Anak. Untuk itu, hal-hal yang menyangkut lapangan kerja, perumahan dan prasarana kota, harus disediakan dengan seksama pada Kota Anak, sehingga betul-betul dapat mengimbangi daya tarik Kota Induk.

Kecenderungan perkembangan Jakarta, yang sangat dipengaruhi oleh urbanisasi yang kuat, sangat saya sadari sepenuhnya. Pertambahan penduduk yang pesat akan mendorong perkembanganekstensif kota. Wilayah yang terbangun akan meluas karena perkembangan ini relatip mudah dilaksanakan dan sifatnya yang sederhana. Tetapi bagi saya, perkembangan ini menyulitkan. Karena biaya penyediaan prasarana kota akan sangat mahal, akibat luasnya daerah pelayanan. Akhirnya secara tak langsung biaya ini harus ditanggung juga oleh masyarakat. Kemampuan keuangan kota akan lebih banyak lagi terserap untuk memenuhi kebututian pembangunan prasarana. Sedang masalah lain makin terasa terhimpit urgensinya.

Bentuk perkembangan lain yang mengutamakan usaha untuk menaikkan intensitas penggunaan setiap jengkal tanah di kota, berhubung nilai tanah selalu meningkat dan persediaannya makin terbatas, disebut "Perkembangan intensif";(7). Perkembangan Intensip ini saya pandang lebih effisien dalam penyediaan prasarana kota, meskipun memerlukan biaya yang lebih tinggi dan membutuhkan teknologi yang maju. Memang, perkembangan kota yang meluas dan melebar dengan kepadatan rendah, banyak diduga lebih sesuai dengan naluri kehidupan manusia Indonesia dewasa ini. Tetapi untuk kota sepadat Jakarta, pendekatan itu akan terlalu mahal untuk dapat terpenuhi secara keseluruhan. Kedua kecenderungan di atas kemudian saya kembangkan, baik perkembangan ekstensil maupun intensif secara seksama, sehingga membentuk pola kota yang effisien dari segi penyediaan prasarana kota, tetapi juga memberi kehidupan yang cukup humanis bagi masyarakat. Sesungguhnyalah penentuan pilihan pendekatan perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh pertimbangan subyektif, apabila ditilik dari kemampuan pembiayaan dan kwalitas pemukiman yang dikehendaki.

(4) Baru pada tahun 1975, Menteri Dalam Negeri menuangkan secara eksplisit, Kebijaksanaan Departemen Dalam Negeri di bidang Pembinaan Perkotaan. Jakarta, Departemen Dalam Negeri, 1975.
(5) Jakarta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong; Surat Keputusan No. 9/DPRD-GR/P/1967 tanggal 3 Mei 1967 (Lembaran Daerah No. 38/1967) tentang Pengesahan Rencana Induk (Master Plan) DKI Jakarta 1965-1985.
(6) Repelita " 1974/1975 - 1978/1979 buku ke III Bab 19/20.
(7) Lihat : Ali Sadikin. Masalah Penguasaan Tanah (Kota) untuk Pembangunan. Kertas Kerja dalam rangka Lokakatya II Kebijaksanaan Tanah Perkotaan di Bandung. 12 - 14 Juni 1975. Hal. 26.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Fisik Kota" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

No comments:

Post a Comment