Tuesday, September 11, 2012

Gita Jaya 7 : Tata Pengairan dan Air Limbah


Tinggi tanah Jakarta yang hanya rata-rata 7 meter diatas permukaan laut, sangat menyulitkan bagi Pemerintah dalam menanggulangi masalah-masalah yang ada hubungannya dengan tata pengairan. Masalahnya terutama terasa pada waktu musim hujan. Pada musim ini kira-kira dua pertiga bagian kota dapat tergenang air. Banjir yang tiap tahunnya melanda Jakarta terutama disebabkan oleh sangat rendahnya daerah-daerah banjir tersebut. Bahkan ada kalanya daerah tersebut hanya terletak 1 meter diatas permukaan air laut. Dari faktor pasang surut saja mengalirnya air dari darat kelaut dapat terganggu karenanya.

Banjir menggenangi lapangan Monas 1974?
sumber: Indonesia Tempo dulu

Banjir di melanda Medan Merdeka 17 Januari 2013
sumber: @just)annaMaria

Masalahnya ialah bagaimana mengusahakan supaya air yang harus dibuang kelaut, baik air hujan maupun air limbah, dapat secepat mungkin mengalir. Keadaan ini dipersulit lagi dengan kondisi prasarana tata pengairan yang buruk, serta kesadaran masyarakat akan pentingnya disiplin lingkungan dalam pencegahan banjir yang sangat kurang.
Sampah domestik di Kali Besar, 1975
Usaha Pemerintah Belanda untuk membebaskan Batavia dari banjir, melalui pengendalian banjir kanal, sekarang telah tidak berarti lagi bagi Jakarta. Program Pengendalian banjir untuk Batavia yang hanya berpenduduk 600.000 sebelum tahun 1945, tidak dapat menyelesaikan masalah banjir di Jakarta kini yang penduduknya hampir sepuluh kali itu.

Kini penanggulangan tata-pengairan tidak mungkin hanya dengan penyempurnaan atau pemeliharaan yang ada. Yang diperlukan dewasa ini ialah pembuatan sistim pengairan baru sama sekali yang mampu melayani pembuangan air kota yang makin padat dan makin luas daerah pelayanannya. Sistim baru semacam ini sangat mahal dan pasti tidak mampu ditanggung oleh Pemerintah Daerah saja. Penanganannya pun makan waktu dan karenanya harus dalam program jangka panjang.

Selama 25 tahun terakhir ini saluran-saluran kurang mendapat perawatan dan perbaikan semestinya. Masalah ini saya atasi pada Pola Rehabilitasi Tiga Tahun.

Secara jangka pendek yang saya lakukan untuk menanggulangi ancaman banjir meliputi pengerukan muara-muara sungai, normalisasi sungai dan saluran, pembuatan waduk penampungan air dan pemasangan instalasi-instalasi pompa pembuangan air.

Program-program ini lebih banyak menyelesaikan masalah banjir secara setempat. Tetapi sama sekali tidak dapat menyelesaikan masalahnya secara keseluruhan.

Semua usaha itu paling tidak saya harapkan dapat menggugah perhatian masyarakat terhadap seriusnya masalah ini. Momentum pelaksanaan program perbaikan kampung saya gunakan untuk menggerakan keikutsertaan masyarakat. Pemeliharaan saluran-saluran pembuangan air yang telah saya bangun harus menjadi tanggung jawab mereka pula. Bagi kota sepadat dan semiskin Jakarta, pemeliharaan kwalitas lingkungan hanya bisa dilaksanakan dengan partisipasi masyarakat.
Suasana Jl. Gajah Mada tahun 1952, depan halte busway Olimo.
sumber: Indonesia Tempo dulu

Dalam Pelita I, telah disiapkan Rencana Induk Tata Pengairan yang merupakan rencana penanggulangan banjir secara menyeluruh dan sistim tata pengairan di Jakarta. Rencana ini disiapkan oleh Pemerintah Pusat dibantu oleh Team Konsultan Belanda.(37) Rencana ini pada garis besarnya akan membuat Banjir Kanal kearah barat dan timur melingkari kota sedemikian rupa sehingga sistim "macro drainage" ini dapat melindungi Jakarta dari banjir kiriman dan menanggulangi banjir dalam kota. Program-program yang saya laksanakah dalam Pelita, meskipun masih dalam tingkat micro drainage-nya. tetapi telah saya kaitkan dengan rencana keseluruhan itu.

Perhitungan biaya dari proyek penanggulangan banjir sesuai dengan Rencana Induk ini adalah sebesar Rp. 500,- milyard.(38) Hasil yang dapat dicapai baru meliputi perbaikan dan normalisasi saluran sepanjang 156-336 Km; penurapan saluran sepanjang 16.914 Km, perbaikan pintu air sebanyak 13 buah dan pengerukan sungai seluas 53.263 m2. Biaya diusahakan oleh Pemerintah Pusat keseluruhannya. Sebagai realisasinya, pada Pelita II sampai dengan tahun anggaran 1975/1976, Pemerintah Pusat telah melaksanakan program melalui Proyek Banjir yang meliputi biaya sekitar 4,2 milyard rupiah. Sedangkan pada tahun anggaran 1976-1977 dalam sistim "Macro Drainage", program-program ditujukan pada penyempurnaan waduk-waduk saluran dan banjir kanal. Waduk yang ditangani ialah waduk Setiabudi, Waduk Melati dan Waduk Pluit. Saluran yang digarap adalah pembuatan saluran Cakung, pengerukan Kali Cideng dan penertiban Banjir Kanal dan Pintu Air Karet sampai Jembatan Gantung Tanah Abang. Penertiban Banjir Kanal ini, telah mengakibatkan pemindahan bangunan liar sebanyak kurang lebih 3000 buah pada daerah sepanjang 2,4 Km pada kedua sisi kanal tersebut.

Dari perincian uraian diatas jelas bahwa Jakarta masih akan dihadap masalah banjir dalam tahun mendatang ini, baik menyangkut banjir kiriman maupun banjir setempat. Sehingga dalam jangka pendek, perhatian harus juga tertuju pada penyesuaian kwalitas prasarana fisik kota maupun lingkungannya, agar siap menghadapi bahaya banjir itu.

(37) Lihat Masterplan drainage and flood control of Jakarta oleh Proyek Pengendalian Banjir DKI Jakarta bekerjasama dengan Pemerintah Negeri Belanda (Nedeco) Jakarta, 1973.

(38) Angka ini didasarkan atas perhitungan Direktorat Jenderal Tata Pengairan, Dept. PUTL ; Ibid, hal. 46.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Fisik Kota" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

No comments:

Post a Comment