Monday, September 10, 2012

Gita Jaya 7 : Jalan Raya, Lalu Lintas dan Angkutan Umum


Dalam pembangunan kota Jakarta sarana jaringan jalan merupakan faktor utama yang memegang peranan penting dan besar pengaruhnya terhadap kegiatan-kegiatan kehidupan di kota ini, baik bersifat kegiatan ekonomi, pemerintahan, kebudayaan, sosial dan sebagainya. Kondisi jalan-jalan dan jembatan sebelum tahun 1966 demikian parahnya, keadaan badan jalan yang sempit serta fasilitas yang sangat kurang memadai sehingga dengan demikian jalan tersebut menjadi berkurang fungsinya.

Kepadatan lalu lintas di Jl. Gadjah Mada sekitar 1950an
sumber: Indonesia Tempo dulu

Sebagai kriteria dalam rangka perbaikan maupun normalisasi jaringan jalan-jalan di DKI Jakarta dibedakan sesuai dengan fungsinya yaitu jalan ekonomi, jalan lingkungan dan jalan desa. Pembagian jalan-jalan menurut Pemerintah Pusat seperti jalan Negara, jalan Propinsi dan jalan Kabupaten tidak dikenal di DKI Jakarta. Dengan demikian pembiayaan pemeliharaan jalan yang seharusnya menjadi tugas Pemerintah Pusat, dalam praktek tidak selalu bisa dilaksanakan. Namun demikian Pemerintah DKI Jakarta telah merintis mengajukan sebagian dari jalan-jalan utamanya agar ditetapkan sebagai jalan Negara.

Saya sadar akan kekurangan jumlah panjang jalan yang ada serta perlunya diadakan normalisasi jaringan jalan untuk memenuhi kebutuhan atas kelancaran lalu lintas yang makin meningkat ini. Melalui program Pelita I dan Pelita II saya mengadakan peningkatan, normalisasi serta penambahan jaringan jalan baru diseluruh DKI Jakarta. Usaha peningkatan jalan dan penambahan jaringan jalan-jalan baru di DKI Jakarta kebijaksanakan melalui program-program yang dibiayai oleh APBD DKI Jakarta sendiri termasuk program Perbaikan Kampung (MHT) dan program Bantuan Inpres serta program sektoral Pemerintah Pusat (APBN).

Kalau kita memperhatikan perkembangan jalan-jalan raya di Jakarta sebagaimana saya ungkapkan, dimuka serta memperhatikan pula permasalahan peledakan penduduk, adalah wajar pula bila saya masih harus menghadapi persoalan-persoalan lalu lintas dan angkutan umum. Kondisi ekonomi yang lebih membaik sejak lima tahun belakangan ini memberi pengaruh pada gairah hidup, memberi gairah masyarakat untuk lebih maju lagi, ini berarti makin meningkat pula tuntutan mereka.

Khusus dalam hubungan perlalu-lintasan dalam tahun-tahun terakhir ini dapat diikuti data-data pertambahan kendaraan bermotor sebagai berikut :
Pertambahan Kendaraan Bermotor 1970-1976

Dengan kenaikan kendaraan rata-rata ± 16,74% tersebut tidak seimbang dengan penambahan jalan-jalan raya yang hanya 4% setahun. Dari angka-angka tersebut dapat dibayangkan adanya permasalahan-permasalahan lalu lintas yang besar. Bahkan dapat dilihat pula dari data-data kepadatan lalu lintas pada jalan-jalan tertentu yang sudah di luar kapasitas kemampuannya.

Akhirnya, saya terpaksa harus mengambil kebijaksanaan untuk (Menentukan beberapa jalur jalan dengan sistim satu lintasan (oneway traffic), selain itu pengendalian secara umum diatur dengan traffic lights. Pada masa selanjutnya yaitu tahun 1977 telah dapat saya mulai penggunaan komputer untuk pengaturan lalu lintas di Jakarta. Namun demikian kebijaksanaan yang saya tempuh terakhir ini baru merupakan pemecahan sementara. Selain itu usaha saya untuk menyusun penyempurnaan pola lalu lintas yang lebih baik yang sekaligus juga berkaitan dengan sistim angkutan umumnya, telah selesai pola itu saya siapkan dengan bantuan ahli-ahli (consultant) dari Jerman.

Sampai kepada persoalan angkutan umum, kiranya tidak berbeda dengan masalah-masalah lainnya yang saya hadapi. Pada saat ini penduduk Jakarta yang memerlukan angkutan, untuk kepentingan sosial, kerja dan kegiatan lainnya adalah 2.200.000 penduduk. Dari jumlah tersebut diperkirakan 400.000 penduduk sudah dapat mengatasi dengan kendaraan-kendaraan pribadi dan kendaraan-kendaraan tak bermotor, sehingga yang 1.800.000 lainnya memerlukan alat angkutan umum yang harus disediakan.

Pola angkutan umum yang ditetapkan mendasarkan pada sistim angkutan umum pokok dengan kereta api dan bus. Sedang jenis angkutan lain yang merupakan alat pelengkap dari sistim angkutan umum itu antara lain taxi dan oplet. Kendaraan-kendaraan kecil bermotor roda tiga hanya merupakan alat pemecahan sementara, sampai dapat terwujudnya pola angkutan yang sempurna ditetapkan.(33)
Helicak di Jakarta, 1976
sumber: Indonesia Tempo Dulu

Penyusunan pola tersebut disesuaikan pula dengan rencana jaringan jalan raya dan sistim lalu lintas di masa mendatang. Perbandingan penggunaan angkutan dengan kereta api dan bus adalah 60 : 40. Perlu saya tambahkan, pada saat ini diperlukan minimal 4.000 bus, sedangkan yang tersedia baru 2.000 bus. Sedangkan angkutan kereta api belum dapat berfungsi secara efektip karena belum dapat disinkronkannya jaringan rel kereta api dengan jaringan jalan raya, terutama titik-titik pertemuan lintasan. Keadaan ini disebabkan karena kekurang mampuan keuangan Pemerintah untuk membuat jalan-jalan yang menggantung (fly-pass) ataupun membuat sistim perkereta apian dibawah tanah.
Istora Bung Karno, Semanggi, dan Double Decker, sekitar pertengahan 1960-1970an.
sumber: Indonesia Tempo dulu

(33) Khusus mengenai versi saya tentang Pola Angkutan Umum lihat Pola Angkutan Umum di DKI Jakarta (sedang dalam editing) tahun 1977;

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Fisik Kota" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

No comments:

Post a Comment