Saturday, September 15, 2012

Gita Jaya 4 : Pembulatan wilayah / Perubahan Batas wilayah


Rangkaian usaha saya bersama DPRD untuk pemekaran Administratif DKI Jakarta, memperoleh pemecahan terbatas. Pemecahan itu sementara ini dicerminkan oleh kebijaksanaan Pemerintah Pusat untuk "membulatkan" wilayah Jakarta. Perobahan Batas Wilayah DKI Jakarta atau yang lebih dikenal dengan "Pembulatan Wilayah DKI Jakarta", ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1974. Pelaksanaannya diatur dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 151 Tahun 1975. Pada bagian ini saya ingin mengemukakan kebijaksanaan yang digariskan, termasuk langkah-langkah yang dilakukan sebagai tindak lanjut dalam mewujudkan serta mengisi kedua keputusan tersebut diatas.

Keputusan Pemerintah dimaksud merupakan satu kebijaksanaan penyelesaian dalam menangani masalah kebutuhan perluasan Jakarta sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. (18) Untuk memudahkan mengikuti dan memahami kebijaksanaan itu, saya ingin menguraikan secara kronologis kegiatan-kegiatan yang mendahului sampai pada di keluarkannya keputusan tersebut. Dalam pada itu ingin menguraikan cara-cara pendekatan yang saya tempuh selama ini, sehingga memungkinkan terciptanya pengertian dan kerja sama yang baik antara Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Pemerintah DKI Jakarta dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Sebelum keterangan terperinci mengenai masalah Pembulatan Wilayah DKI Jakarta, ada baiknya diketahui, adanya usaha untuk meyakinkan Pemerintah Pusat mengenai maksud yang terkandung dalam petisi DPRD-GR DKI Jakarta tersebut dimuka. Secara garis besar argumentasi diarahkan pada persoalan akibat pertumbuhan penduduk di Jakarta yang pesat sekali, di mana diperlukan pemetahan ydng menyangkut pemekaran wilayah Ibukota Negara. Bersamaan dengan usaha itu, terhadap Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, khususnya kepada daerah-daerah yang berbatasan dengan Jakarta dilakukan pendekatan-pendekatan. Langkah-langkah itu semua bertujuan untuk meratakan jalan menuju terciptanya pengertian akan perlunya kerjasama yang saling menguntungkan bagi kepentingan pembangunan dan pembinaan wilayah di daerah-daerah yang bersangkutan. Dalam rangka itu pula, Pemerintah DKI Jakarta sejak Program Rehabilitasi Pembangunan 3 Tahun sampai sekarang ini telah memberikan bantuan dalam bentuk prasarana sosial dan fisik kepada Pemerintah Kabupaten DATI DUA Tangerang, Bekasi dan Bogor, seperti: gedung Sekolah atau terminal bis, dan lain sebagainya. Bantuan-bantuan itu diarahkan agar kemanfaatannya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat yang bersangkutan. juga pelayanan Barisan Pemadam Kebakaran DKI Jakarta saya tugaskan agar dapat menolong daerah-daerah sekitar Jakarta manakala diperlukan. Selain itu kerja sama penyediaan dan pelayanan air minum saya atur bersama dengan DATI DUA Bogor. Dalam kaitan itu juga telah mulai saya rintis kerja sama dibidang perekonomian antara Pemerintah DKI Jakarta dan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat menuju ke arah peningkatan peranan Jawa Barat sebagai sumber utama bahan makanan, khususnya sayur-mayur bagi Jakarta. Dengan menempuh kedua jalan tersebut, ternyata dapat di kembangkan pengertian dan sikap yang positif baik dari Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat maupun Pemerintah Pusat.

Rangkaian peristiwa yang dapat dan patut dicatat sebagai hasil dorongan langsung atau tidak langsung dari usaha yang dilancarkan Pemerintah DKI seperti yang disebutkan di depan meliputi hal-hal berikut ini. Pernyataan sikap Bapak Presiden Suharto, yang diungkapkan dalam kesan kunjungan kerja beliau di DKI Jakarta pada bulan Oktober 1972, khususnya yang menyangkut pemekaran wilayah Ibukota Negara RI antara lain dikemukakan :

"Kemudian masalah penting yang saya anggap perlu mendapat tanggapan adalah masalah pemekaran dari pada wilayah DKI ini, mengingat akan kebutuhan-kebutuhan dari pada perkembangan DKI sebagai Ibukota Republik Indonesia. Tidak hanya memikirkan untuk 1-2 tahun, satu Repelita, dua Repelita, tapi tentu harus memikirkan puluhan tahun, bahkan dariabad ke abad. itu sudah harus mulai kita pikirkan sekarang agar segala sesuatu yang kita kembangkan mulai sekarang ini tidak akan hilang begitu saja atau akan dirugikan karena ada pembaharuan-pembaharuan dari pada rencana-rencana yang baru. Untuk itu soalnya saya kira memang soal psychologis, saya kira dalam rangka perluasan dari pada daerah itu. Tetapi kalau nanti kita pecahkan bersama diantara daerah satu dengan lainnya diantara daerah Jawa Barat dengan DKI Jakarta, kemudian segala sesuatu kita meninggalkan kepentingan masing-masing, kita memusatkan kepada kepentingan nasional, saya kira tidak ada alasan untuk tidak menanggapi perluasan Daerah Ibukota Jakarta ini yang memang sejak mulai sekarang dipikirkan dengan semasak-masaknya. Jadi masalahnya adalah masalah approach, artinya yang berdekatan satu dengan lain tidak hanya cukup pimpinan, tapi juga kalau perlu sampai kepada rakyat Jawa Barat. Kalau semua kita tingkatkan kepada kepentingan nasional saya kira - saya yakin, bahwa tidak ada kesulitan. Tetapi masalahnya adalah approach yang harus kita lakukan bersama. Mudah-mudahan dalam waktu-waktu yang akan datang ini bisa kita laksanakan dengan sebaik-baiknya."(19)

Dengan adanya petunjuk Bapak Presiden tersebut di atas, maka semakin ditingkatkanlah usaha serta pendekatan psikologis dalam hubungan baik dengan Pemerintah Pusat, serta Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat maupun rakyat di daerah tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya, semakin kami hangatkan masalah pemekaran wilayah DKI Jakarta, dan kemudian berkembanglah prakarsa Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PUTL dengan dibantu oleh Team Ahli Belanda menyusun konsep kebijaksanaan Perencanaan dalam rangka Kawasan Metropolitan yang meliputi daerah Jakarta Bogor, Tanggerang dan Bekasi (Jabotabek). Konsep tersebut ditetapkan dengan bahan pokok yang terdiri dari Rencana Induk DKI Jakarta 1965-1985, Rencana Pembangunan Jawa Barat 1970 serta konsep Rencana Daerah Metropolitan yang disiapkan oleh Direktorat Tata Kota dan Daerah dalam tahun 1965.

Selain itu. secara Nasional, dikalangan perencana-perencana ekonomi di Bappenas berkembang pula konsep perencanaan regional dimana Wilayah Tanah Air dibagi dalam Pusat-pusat Pengembangan Indonesia. Dalam konsep itu Jakarta ditetapkan sebagai salah satu Pusat Pengembangan Utama, di samping Medan, Surabaya dan Ujung Pandang.(20) Dalam satu aspek, saya menganggap pola ini pada hakekatnya merupakan kebijaksanaan Nasional Pengembangan Perkotaan yang bertujuan menciptakan keseimbangan perkembangan kota dan daerah sekitarnya.

Rangkaian perkembangan kebijaksanaan ditingkat Nasional itu akhirnya dicerminkan pada Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1974 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 151 Tahun 1975 tentang Perobahan Batas Wilayah DKI Jakarta. Lalu diikuti pula dengan sikap konstruktip dari Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat terhadap Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1974. Sikap itu diungkapkan dalam keterangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat serta pernyataan pendapat masing-masing Komisi dalam Sidang Gabungan DPRD Tingkat I Jawa Barat pada tanggal 26 Agustus 1975. Dokumen tersebut di atas ditampung oleh Team Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1974 Jawa Barat dan diserahkan kepada rekannya Team Pelaksanaan DKI Jakarta. Penyelesaian masalah pemekaran wilayah DKI Jakarta yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1974 pada hakekatnya merupakan kebijaksanaan strategis menuju terciptanya hubungan kerjasama DKI Jakarta dan Jawa Barat dimasa-masa mendatang secara lebih terarah. Soal-soal yang selama ini dapat mengganggu kelancaran kerjasama di kedua daerah yang bersangkutan, diharapkan segera dapat diatasi atau diselesaikan secara eksplisit. Kebijaksanaan Pemerintah dimaksud dapat menjangkau penyelesaian 6 (enam) persoalan rumit seperti di bawah ini :

- Masalah enclave Pesing Wilayah Jakarta Barat.
- Masalah Kependudukan dan pengamatan pantai Marunda Cilincing, sekitar Wilayah Jakarta Utara.
- Masalah Lapangan Terbang Internasional Cengkareng Wilayah Jakarta Barat.
- Masalah Lapangan Terbang Internasional Halim Perdanakusumah, Wilayah Jakarta Timur.
- Banjir Kanal yang akan dibangun di sebelah Timur DKI Jakarta.
- Masalah jalan lingkar luar (outer ring road}.

Adanya bagian wilayah Jawa Barat yang masuk menjorok ke wilayah DKI Jakarta, memimbulkan problema-problema administratip. Wilayah tersebut merupakan enclave di dalam suatu wilayah lain. Masalah ini terasa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan sehari-hari. Misalnya soal penyediaan prasarana (air minum, listrik, telepon, jalan-jalan, saluran pembuangan air dan sebagainya) yang jalur-jalurnya terpaksa menerobos kewilayah enclave tersebut sulit dipecahkan. Ditinjau dari pembinaan wilayah, adanya enclave itu sangat tidak menguntungkan. Karena dalam kenyataan sarana-sarana kota maupun pelayanan masyarakat akan lebih berhasil guna, bila ditangani oleh. satu juridliksi Pemerintah Daerah. Dalam hal ini yang lebih masuk akal adalah Pemerintah DKI Jakarta.

Sebagai ilustrasi, penduduk pantai Marunda secara administratif, tinggal di wilayah Kabupaten DATI DUA Bekasi (Kecamatan Cilincing), tetapi dalam kegiatan sehari-hari tercatat sebagai penduduk DKI Jakarta, karena mata pencaharian, pergaulan sosial dan budaya mereka adalah di Jakarta. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan perlu segera ditertibkan.

Hasil penyelidikan dari Ralph & Person dan Laporan Cengkareng International Airport Authority,(21) yang kedua-duanya ditugaskan oleh Bappenas, menunjukkan bahwa wilayah yang akan digunakan untuk keperluan Pelabuhan Udara akan berada sebagian di Jakarta dan bagian lain di Jawa Barat. Hal ini kelak akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan, dalam pelaksanaan pembangunan, pengamanan serta pengawasan. Oleh karena itu wilayah tersebut harus berada dalam satu wilayah pemerintahan. Dalam hal ini keseluruhan kawasan Lapangan Udara Internasional di Cengkareng diletakan dalam Jawa Barat.

Masalah teknis yang dihadapi Lapangan Udara Halim Perdanakusumah adalah tentang jalur-jalur pengaman dan rambu-rambu pendaratan serta corridor ke Airport tersebut yang termasuk dalam wilayah Kabupaten DATI DUA Bekasi. Sedangkan landasannya sendiri masuk wilayah pembinaan DKI Jakarta. Dengan demikian Penguasa Pelabuhan Udara International yang baru itu kelak bisa terpaksa berurusan dengan dua Penguasa Wilayah. Suatu hal yang dapat menyulitkan pengelola Pelabuhan Udara tersebut. Oleh karena itu, bahagian-bahagian yang merupakan kelengkapan wilayah itu, harus dimasukkan dalam wilayah hukum salah satu daerah saja.

Dalam menanggulangi masalah banjir di DKI Jakarta berdasarkan penelitian ahli-ahli Pemerintah Pusat (PUTL) dan Consultant Belanda (Nedeco) telah ditetapkan trace di sebelah timur Jakarta untuk keperluan saluran banjir kanal, yang merupakan bagian dari perencanaan pengairan menyeluruh.(22) Menurut rencana trace tersebut sebagian melalui wilayah Kabupaten DATI DUA Bekasi. Hal itu akan menimbulkan masalah pengamanan teknis dari saluran tersebut dikemudian hari, bila trace tersebut telah selesai digarap. Oleh karena itu akan lebih baik apabila sebagian wilayah Bekasi dimaksud masuk ke wilayah DKI Jakarta. Demikian juga dalam penentuan trace jalan lingkar (out ring road) ternyata sebagian dari jalur tersebut masuk ke Wilayah Jawa Barat. Sehingga kalau jalan lingkar luar tersebut telah siap, maka akan terdapat lagi masalah enclave. Oleh karena itu seluruh jalur jalan dimaksud perlu dimasukkan dalam wilayah kekuasaan hukum DKI Jakarta.

Peta DKI sebelum dan sesudah pemekaran. Sumber : Gita Jaya, p.64


Atas dasar pemecahan secara ad-hoc masalah-masalah di atas, maka Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1974 ditetapkan, bahwa DKI Jakarta mendapatkan tambahan wilayah 16 (enam belas) Desa. Diantaranya 6 (enam) Desa secara penuh dan 4 (empat) Desa secara sebagian-sebagian dari Kabupaten DATI DUA Bekasi, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, dengan pengurangan 1 (satu) Kelurahan Benda, Kecamatan Cengkareng DKI Jakarta dimasukkan ke dalam Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat. Selanjutnya ditetapkan, bahwa batas baru sebagai akibat terpindahnya satu Desa secara sebagian (tidak penuh) akan ditetapkan dilapangan dan dipetakan dengan skala 1:1.000. Di samping itu, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1974, sekaligus mendorong penyelesaian batas seluruh wilayah DKI yang berbatasan dengan Jawa Barat seperti diatur dalam Keputusan Presiden RI No.125 Tahun 1950, yang selama ini belum pernah dilakukan penetapan dilapangari secara pasti.

Setelah mengadakan penelitian lapangan dan pengawasan secara seksama, kemudian Menteri Dalam Negeri menetapkan batas-batas baru secara pasti.(23) Berdasarkan itu masuklah wilayah-wilayah: Desa Porisgaga bagian timur, Desa Kreo bagian Utara, Desa Pondok Betung bagian Timur, dan Rempoa bagian Timur, dari wilayah Kabupaten DATI DUA Tangerang, serta Desa Jatiwaringin bagian Utara, Desa Segara Makmur bagian Barat, Desa Pusaka Rakyat bagian Barat, Desa Medan Satria bagian Utara, Desa Pusaka Rakyat bagian Barat dan Desa Bayangkari bagian Utara dari wilayah Kabupaten DATI DUA Bekasi ke dalam wilayah DKI Jakarta. Pada tanggal 24 Juli 1975 di Departemen Dalam Negeri telah ditanda tangani Berita Acara penyerahan wilayah masing-masing oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri.

Untuk kelancaran pemerintahan serta pembinaan wilayah, Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta masing-masing wajib mengatur kembali pembagian wilayah Desa atau Kecamatan dalam wilayah yang mengalami perobahan batas tersebut. Secara bersama-sama harus pula menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut bidang kepegawaian, keuangan, materiil dan lain-lain yang timbul sebagai akibat penetapan batas secara pasti tersebut. Penyelesaian masalah ini telah saya selesaikan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung mulai tanggal dikeluarkannya keputusan tersebut.

(18) Lihat Petisi DPRD-GR DKI Jakarta kepada Pemerintah Pusat dan DPR-GR tanggal 14 Agustus 1968. Keseimpulan III. Op.cit. Bab III (26).

(19) Sambutan tanpa teks Presiden Soeharto di ruang sidang DPRD DKI Jakarta, setelah mengadakan kunjungan resmi ke DKI Jakarta tanggal 19-Juni 1972.

(20) Untuk konsep perencanaan regional secara lebih terperinci lihat Repelita II Buku III Bab 20 hal. 67 dan Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1974 tanggal 28 Desember 1974 tentang Perubahan Batas Wilayah Daerah Khusus Ibukota 6 Jakarta.

(21) Lihat The Ralph M. Parsons. Jakarta Internasional Airport Authority Study: Final Report (Study report) Vol. I. Jakarta, 1971.

(22) Lihat Masterplan for Drainage and Flood Control fo Jakarta, yang disusun bersarna oleh: Proyek Pengendalian Banjir Ibukota Jakarta dengan Pemerintah Negeri Belanda (Nedeco). 73

(23) Lihat Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 151/1975 tanggal 7 Juli 1975 tentang Perubahan Batas Baru antara Wilayah DKI Jakarta dan wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

sumber:
Ali Sadikin. "Pengembangan Administrasi dan Pengelolaan Pemerintahan" dalam Gita jaya : catatan gubernur kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966-1977. Jakarta : Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1977.)

No comments:

Post a Comment